NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Bulan Agustus ini, Association of South East Nations (ASEAN) yang terdiri dari beberapa negara-negara Asia Tenggara tengah memasuki usianya yang ke-50. Di usia setengah abad ini, ASEAN tak dipungkiri telah menjadi organisasi regional kedua tersukses di dunia setelah Uni Eropa. Betapa tidak, bila 1.000 pertemuan telah diselenggarakan setiap tahun untuk memperkuat kerja sama ASEAN di berbagai bidang.
Baru-baru ini para Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN menggelar pertemuan. Pertemuan ini dalam rangka untuk memperbincangkan sekaligus mengawasi implementasi Southeast Asian Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) Treaty. Sebagaimana diketahui SEANWFZ tak lain adalah upaya untuk mendapatkan aksesi Protokol Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara.
Menlu RI Retno Marsudi dalam pertemuan Komisi SEANWFZ di Manila, 3 Agustus 2017 lalu menilai aksesi Protokol Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) oleh negara-negara pemilik senjata nuklir adalah suatu keharusan. Pasalnya sejak 22 tahun Traktat SEANWFZ ditandatangani oleh 10 Negara anggota ASEAN untuk menjadikan kawasan ASEAN bebas senjata nuklir, belum ada negara pemilik senjata nuklir yang melakukan aksesi.
“Aksesi Negara Negara pemilik senjata nuklir terhadap Protokol Traktat SEANWFZ sangat penting untuk memastikan efektivitas Traktat tersebut dan sekaligus memastikan 600 juta penduduk ASEAN terbebas dari ancaman senjata nuklir,” ungkap Retno.
Baca: Selamat Ulang Tahun ASEAN Ke-50
Menuju kawasan bebas nuklir menjadi salah satu agenda yang terus digodok ASEAN di usianya yang ke-50 ini. Dalam sejarahnya, ASEAN merupakan sebuah perhimpunan negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara didirikan tanggal 8 Agustus 1967 di Kota Bangkok, Thailand yang dikenal dengan Deklarasi Bangkok. Dari situlah ASEAN menggeliat.
Keberhasilan ASEAN hari ini tidak dapat dipungkiri berkat kepemimpinan yang kuat Presiden Suharto yang mampu menggandeng Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, Presiden Filipina Ferdinand Marcos dan Raja Thailand Bhumibol Adulyadej – untuk membendung pengaruh Komunisme di kawasan Asia Tenggara di tengah berkecamuknya Perang Dingin (Cold War) antara AS dan US (Uni Soviet) kala itu.
Kerjasama antar negara ASEAN ternyata mampu menjaga stabilitas kawasan dengan baik pada akhir 1960-an dan awal 1970-an – mengimbangi kepentingan strategis AS, US dan China di Asia Tenggara. Sampai berakhirnya Perang Dingin kondisi kawasan Asia Tenggara relatif stabil tidak sampai meletus konflik bersenjata.
Dulu, musuh komunis yang di hadapi ASEAN adalah Vietnam, Kamboja, dan Laos yang kini telah menjadi anggota. Termasuk bergabungnya Myanmar yang mengakhiri puluhan tahun isolasi, yang mengundang reaksi kecaman dari blok Barat. Namun sekali lagi, ASEAN berhasil meletakkan dasar bagi transisi demokratis di Myanmar tanpa kekerasan. Sebuah catatan menarik bila kita mengingat gagasan NASAKOM Bung Karno yang terimplementasi dalam bentuk kerjasama multilateral negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN.
Editor: Romandhon