Politik

4 Alasan Tingkat Keterpilihan Jokowi Takkan Naik Usai Pilih KH Ma’ruf Amin

Ketua MUI Ma'ruf Amin/Foto Hatim/Nusantaranews
Ma’ruf Amin. (Foto dok. nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tanggal 9 Agustus 2018 menjadi sejarah dalam perpolitikan nasional. Terkhusus bagi 9 partai politik yang mendukung Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin sebagai kandidat yang bakal bertarung dalam Pilpres 2019.

Dipilihnya Jokowi-Ma’ruf langsung mendapat perhatian dan sorotan publik. Akan tetapi, pengamat politik dari Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap mengatakan tak ada jaminan tingkat keterpilihan Jokowi bakal naik selepas pengumuman calon wakil presiden tersebut.

Dia menyebut setidaknya ada empat alasan untuk menguatkan argumen tersebut. Pertama, dari level analisis aktor individual, Ma’ruf tidak memiliki jaringan politik dan pekerja politik untuk promosi dan kampanye. Secara kultural Ma’ruf adalah pimpinan ormas NU, tetapi hal itu tidak bisa menjamin aktivis atau pimpinan NU di strata menengah bawah bekerja agar warga NU memberi suara kepada Pasangan Jokowi-Ma’ruf.

“Studi kasus Pilpres 2004 bisa jadi bukti. Megawati (Nasionalis) berpasangan dgn Hasyim Muzadi, bahkan sebagai Ketum PBNU gagal meraih kemenangan. Kalah dengan pasangan SBY-JK yang didukung sedikit dan parpol gurem saat itu. Jika loyalitas politik umat Nahdiyin tinggi kepada organisasi, tentu pasangan Mega-Hasyim menang. Mengapa gagal? Tentu masalahnya ada di komunitas atau segmen pemilih NU,” terang Muchtar, Jakarta, Jumat (10/8/2018).

Baca Juga:  Bupati Nunukan Resmikan Pemanfaatan Sumur Bor

Kedua, kata dia, aktor Ma’ruf Amin seorang berpengetahuan banyak dan luas tentang masalah-masalah keIslaman, bukan masalah-masalah kenegaraan atau pemerintahan.

“Dia bukan aktor politikus, terbiasa mempengaruhi masyarakat secara politik. Sebagai aktor individual Ma’ruf Amin lemah keterampilan atau kompetensi untuk mempengaruhi masyarakat agar berprilaku politik sesuai kehendak Ma’ruf. Kelemahan ini juga diperkuat keterbatasan fisik dan umur Ma’ruf untuk pro aktif promosi dan kampanye di tengah-tengah masyarakat pemilih,” papar dia.

Kemudian, ketiga di kalangan umat Islam politik Ma’ruf Amin bukanlah ulama panutan atau patron, kecuali terbatas di kalangan NU khususnya di Pulau Jawa. Menurutnya, hal ini terbukti beberapa kemauan Ma’ruf terkait isu-isu politik nasional, tidak diikuti umat dimaksud.

“Sebagai contoh terakhir, kasus MUI Sumbar menolak prakarsa Islam Nusantara dukungan berat Ma’ruf. Ia bukan ulama atau figur didukung pimpinan Islam politik untuk menjadi cawapress. Jokowi dalam pidato deklarasi, 9 Agustus hanya klaim kalangan ulama Islam dukung Ma’ruf jadi cawapres,” terang dia.

Baca Juga:  Menangkan Golkar dan Prabowo-Gibran di Jawa Timur, Sarmuji Layak Jadi Menteri

Keempat, dari analisis aktor kelompok, mesin atau kelembagaan parpol dapat membantu kegiatan promosi dan kampanye untuk petolehan suara dari segmen masyarakat pemilih. Ma’ruf disebutnya bukan kader atau pemimpin satupun dari 9 parpol pendukung Jokowi.

“Karena itu, diri Ma’ruf takkan fungsional utk mempromosikan dan mengkampanyekan pasangan Jokowi-Ma’ruf melalui mesin dan kelembagaan parpol,” katanya.

“Jika prediksi saya tentang elektabilitas Jokowi tidak menaik signifikan setelah pilihan Ma’ruf sebagai cawapres ini ditolak, maka perlu ada argumentasi rasional dan meyakinkan tentang potensi dimiliki Ma’ruf sehingga dapat dikatakan; pilihan cawapres Ma’ruf Amin akan meningkatkan elektabilitas Jokowi yang selama ini sudah terpuruk atau terjun bebas?,” pungkasnya. (bya/alya/aya)

Editor: M Yahya Suprabana & Banyu Asqalani

Related Posts

1 of 101