ArtikelEkonomiHankam

3 Kubu Besar yang Diprediksi Bakal Bertempur Secara Non Militer di Bumi Nusantara

Peta gepolitik bangsa Indonesia. (Foto: Istimewa)
Peta gepolitik bangsa Indonesia. (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Melihat gejala bergesernya fokus pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia Timur, di mana Indonesia persis berada di tengah-tengah jalur strategis itu, tepat di persilangan, maka di masa depan tampaknya Indonesia akan menjadi arena pertempuran non militer antara kekuatan negara-negara imperialis utama pada tahun 2020 mendatang.

Lantas siapa saja yang akan terlibat dalam pertempuran non militer di bumi nusantara kelak?

Sejak zaman kuno, pemain lama adalah Negeri Tiongkok. Dengan skema Jalur Sutera Abad 21 (The Silk Road Economic Belt and The 21st-Century Maritime Silk Road), Cina jelas-jelas ingin menguasai Indonesia seutuhnya. Itu pun kalau bisa! Intuk itu, tidak tanggung-tanggung, Negeri Tirai Bambu telah menyiapkan dana tak terbatas, teknologi serta sumber daya manusianya untuk menguasai Indonesia, ptoyek Jurong Limited di Singapura, merupakan salah satu skema perang non militer yang telah disiapkan sejak lama.

Baca juga: Inisiatif Belt and Road Cina Adalah Proyek Geopolitik

Sejak kepemimpinan PM Zhurong Ji dekade 1990-an, Jurong Ltd memang didesain khusus untuk meninvasi Indonesia di bidang energi dan industri baik industrti otomotif, manufaktur, smelter dan industri lainnya. Termasuk kilang minyak dan pembangkit listrik.

Sebagai catatan saja, Sinopec Group telah lama menyiapkan dana sebesar 850 juta dolar AS untuk membangun kilang minyak di Batam dengan kapasitas 16 juta barel. Sempat di-delay pada pemerintahan SBY. Dan sekarang faktanya 80 persen sektor keuangan dikuasai Cina, 80 persen ekonomi nasional juga dikuasai Cina, 74 persen tanah perkebunan dikuasai Cina, dan tercermin pula pada angka rasio gini yang termuat di Paradox Indonesia yang ditulis Prabowo 2016.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Usulkan Meubeler Lokal Untuk Memperkuat Usaha UMKM

Forum Belt and Road for International Cooperation di Beijing 14-15 Mei 2017 menjadi ajang keseriusan Cina membangun Jalur Sutra Abad 21. Jalur kuno bersejarah ini membentang dari Cina, melewati negara-negara Islam, dan berakhir di Barat. Ada kekhawatiran terkait hubungan Cina dan Timur Tengah. Sebab, sejak 2010 Timur Tengah terus dilanda konflik (Arab Spring).

Baca juga: Ghost Fleet dan Pesan Armada Hantu Komunitas Intelijen Terhadap Cina

Namun, eratnya hubungan Cina-Arab Saudi dan Cina-Pakistan perlahan tapi pasti Xi ingin Cina ikut terlibat dalam misi perdamaian di tanah Arab. Sebab, perdamaian merupakan kunci suksesnya Belt and Road di Timur Tengah.

Dedengkot kedua ialah Amerika Serikat yang tidak ingin hegemoni globalnya diganggu gugat. Kepentingan nasional AS adalah menjaga stablitas suplai minyak dan kebutuhan bahan baku bagi pemenuhan kelangsungan industri dalam negerinya.

Jumlah impor minyak AS dari Indonesia sendiri masih misteri karena memang kita tidak pernah tahu berapa volumenya. Namun yang jelas, AS sangat berkepentingan dengan Indonesia karena faktor minyak dan bahan baku tambang lain yang terkandung di bumi ibu pertiwi. Freeport di Papua misalnya, sejak 1967 tidak pernah berhenti mengeruk perut bumi dari bumi Papua. Demikian pula Exxon dan kawan-kawannya yang terus memompa minyak Indonesia tanpa kenal lelah baik di darat maupun di laut. Dan sekaligus menjadikan Indonesia sebagai tempat pemasaran produk-produk pertanian AS dan sekutunya yang tidak terbatas dan diatur melalui tangan WTO.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Baca juga: Pesan Armada Hantu Komunitas Intelijen Terhadap Cina

Ketiga, Belanda dan Uni Eropa. Tampaknya, krisis berkepanjangan telah menyadarkan Uni Eropa untuk bangkit dan bergabung dengan dinamika pertumbuhan ekonomi Asia Timur yang sedang menggeliat. Survei-survei lembaga keuangan dunia telah menunjukkan bahwa Uni Eropa akan disalip oleh negara-negara berkembang seperti Cina, India dan Indonesia dalam dua dekade mendatang.

Konon, Uni Eropa telah menyiapkan dana sebesar 1.000 triliun untuk membangun Great Garuda sebagai pusat keuangan dan perdagangan dunia di Utara Jakarta. Proyek ini dibungkus sebagai sebuah kerjasama Government to Government (G to G).

Masuknya Uni Eropa ke Indonesia membangun proyek raksasa bukan sekadar pertarungan Euro dan Dolar serta transaksi minyak dunia. Tapi lebih pada penguasaan sumber daya alam Indonesia yang terbukti sangat melimpah mulai dari Aceh sampai Papua. Tinggal bagaimana AS dan Uni Eropa membagi kavling daratan Sulaewsi, Kalimantan dan Aceh yang tersisa.

Baca juga: Asia Pimpin Pengelolaan Sumber Daya Strategik Global

Sedangkan posisi Cina tampaknya sudah cukup nyaman dengan menguasai ekonomi dan psara Indonesia. Tinggal bagaimana regulasi pemerintah Indonesia menyikapi investasi, relokasi pabrik dan SDMnya ke tanah air ini.

Baca Juga:  Kondisi Jalan Penghubung Tiga Kecamatan Rusak di Sumenep, Perhatian Pemerintah Diperlukan

Skema Jalur Sutera Abad 21 tinggal membereskan Malaysia dan menaklukkan Indonesia. Dan Cina tampaknya telah menemukan skema yang pas untuk mengusasi Malaysia, meskipun Mahathir Muhammad tampaknya bersikap sedikit keras. Hanya saja, Cina menemui kesulitan besar untuk menaklukkan bangsa Indonesia karena alam bawah sadar bangsa ini memiliki reflek anti Cina. Ini menjadi ganjalan cukup terbesar bagi mulusnya skema Jalur Sutera abad 21 tersebut.

Masalah krusial memang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Indonesia jelas tidak siap menghadapi persaingan pasar bebas dengan negara tetangga. Terbukanya bursa tenaga kerja asing tentu akan merugikan tenaga kerja potensial Indonesia di tanah air yang memang kalah tingkat pendidikannya dengan negara-negara tetangga.

Baca juga: Takdir Geopolitik Meniscayakan Bangsa Indonesia Takkan Pernah Anti Asing

Belum lagi relasi konglomerasi asing yang membanjiri Indonesia, tentu mereka lebih nyaman mempekerjakan orang mereka sendiri di level tertentu. Dan ancaman paling serius tampaknya di sektor pariwisata. Bisa saja sektor ini malah justru dikuasai Malaysia, Singapura dan Thailand.

Dan faktanya bahwa Indonesia tetap dijadikan pasar yang sangat besar dan menguntungkan bagi MEA karena terdiri dari 260 juta jiwa penduduk negeri ini. Bahkan sebagian besar sangat konsumtif dan rakus dengan merek dagang asing. Sekali lagi, Indonesia adalah pasar tunggal MEA!

Editor: Eriec Dieda. (Artikel ini disunting dari makalah bertajuk Menatap Pembangunan Indonesia Abad 21: Sebuah Perspektif)

Related Posts

1 of 3,059