Puisi

Tiga Bulan yang Mengalir dan Mengawang – Puisi Budhi Setyawan

Tiga Bulan yang Mengalir
   : bertemu dian rusdiana

aku datang dari selubung Agustus
sebagai bulan yang mulai memutih
adalah metafora pencarian diri ke ceruk sepi
pada jawaban di jingga siluet senja

engkau hadir dari selimut September
kemarau yang mengeringkan mata air
hadir imaji yang menyusun harapan
menebal dalam keyakinan waktu

lalu kita bertemu di gerbang Oktober
ditingkah deru ombak laut, seperti desir kita
berlanjut pada kesepakatan berlayar
melintasi samudra usia dengan golak dan diamnya

    Jakarta, 2015

Narasi Keringat

yang terbit dari pori pori tubuh kami bukanlah dongeng
khayalan, namun kisah dari berbagai pertarungan yang
sedemikian rumit dan sengit. ia yang tersuling dari
berbagai petuah, doa dan tarian keseharian yang berputar
di atas poros mimpi. tak mengenal musim dan waktu, ia
terus saja melaju dihela bayang bayang nyaman di arus
sungai kekinian. pencarian yang berulang dan kian
kencang, meresonansi dari gelombang di ruang ruang
yang jauh. selalu saja ada irama lagu yang kian keras
menghentak, seperti menyergap sendi dan otot di
kedalaman parau teriak. kami juga tak tahu apakah ada
yang menulis kisah kami ini, sementara abad terus saja
melaju tak mau kalah dengan putaran mesin mesin itu.
kami juga telah berlari, namun seperti selalu tertinggal
dari hari yang kian tegang melesat, mengerati urat urat
tubuh kami.

yang mengalir dari pori pori tubuh kami bukanlah
hamburan kata biasa, namun sajak yang terus berjalan
meski jalanan masih lengang dan legam. ia yang teguh
dan tekun menempuh nadi perjanjian sejak masih ubun
sepi sampai ke kaki riuh. berbagai majas bergantian
mengisi ruang ucapan yang memuat berbagai beban dan
kesanggupan di rentang pendakian. ia yang kerap luput
dari tatapmu dan sering lepas dari benakmu. karena ia
hanya merupa rintik yang kecil, rintih yang mungil. kau
mungkin tak akan melihat tangannya menggapai gapai
pada kalimat dari dirimu yang makin tawar dan hambar
dari bertahun lalu. lagu lama yang kau nyanyikan makin
menderaskan sajak kami yang luruh, lalu membelah diri
dan kian bertumbuh. sajak kami tak akan pernah bosan
bertanya kapan jalanan di sini akan makin lebar dan
langit segera ranum dan matang, lalu menetaskan terang.

 Jakarta, 2015

Tempias Dingin di Ujung Tahun

percik percik Desember merinai
dari gulungan kalender di ruang tamu
mengirimkan gigil pada meja-kursi
yang telah pasi menunggumu

sebenarnya ingin disembunyikan
segala yang mengalir dan mencipta basah
namun cuaca teramat piawai memainkan
jejak perjumpaan yang tak mau sadrah

maka ada yang terus mengarus dalam kumparan
waktu, dan pelarian tak pernah menemu alamat
sementara angin masih saja mengirim bisikan
ke pori pori doa di dalam bilik kalimat

 Jakarta, 2014

Sublimasi (1)

sublimasi adalah ketika cinta
berubah menjadi hanya tinggal kata

Jakarta, 2015

Mengawang

belajar menulis puisi itu tak jauh beda dengan belajar naik
sepeda: kau mesti langsung mencobanya. kau akan
menghadapi risiko jatuh atau menabrak, tetapi nikmati saja.
nanti ketika akan mulai lancar, rasakan sedikit letup riang
ketika kau hendak menyeimbangkan keadaan sebelum
kayuhan pertama. selanjutnya kayuhlah terus, dan
bayangkan engkau sedang mengendarai sepeda terbang.
rasakan tubuhmu yang melayang, anganmu yang
mengawang. bebaskan diri pada pelesiran tanpa terbeban
ingatan terpikat pada tujuan.

    Jakarta, 2015

*Budhi Setyawan, kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Menyukai musik rock dan jazz. Mengelola komunitas Forum Sastra Bekasi (FSB). Tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Email: [email protected] dan bisa dikunjungi bibliografi karyanya di www.budhisetyawan.wordpress.com

Related Posts

1 of 124