Esai

Niken dan Lastri, Awal dan Akhir Kisah Cinta Samsuni

Catatan Kecil buat Cerpen “Bawa Aku ke Pantaimu”, karya Maltuf A. Gungsuma
Oleh Selendang Sulaiman

NUSANTARANEWS.CO – “Bawa aku ke pantaimu,” sebuah awal cerita yang baik bagi pembaca di akhir pekan. Kenapa? Sebab kalimat pembuka yang Niken pinta pada tokoh utama – orang pertama dalam cerpen ini – merupakan desakan lembut untuk liburan. Pantai, puncak, dan danau sebagai penorama alam masih menjadi tempat tujuan wisata masyarakat urban pun masih diminati oleh masyarakat di desa-desa. Kendati mall-mall juga tak kalah menarik iming-iming keindahan dan kenyamanannya untuk dikunjungi.

Penulis (Cerpenis) antara sadar dan tidak telah menuliskan iklan kunjungan wisata pantai “Lombang” yang terletak di ujung timur daya kabupaten Sumenep, pulau Madura, di dalam cerita percintaan penuh asmara dan tragedi ini. Argumentasi saya ini hanya sebagai pemantik pikiran saya untuk memasuki tema, alur atau plot, amanat, dan segala hal baku (konvensi) dalam penulisan cerpen. Meski saya sadar, pengetahuan saya tentang tata cara menulis cerpen yang baik tidak mumpuni. Saya hanya penikmat dan pembaca cerpen yang cukup buruk.

Kembali pada “Bawa aku ke pantaimu”. Sebagai pembaca yang cukup buruk, saya mesti mengulang-ulang paragraf pertama untuk memenuhi ekspektasi saya dalam membaca cerpen terbaru Maltuf A. Gungsuma. Pertama, saya terganggu dengan kalimat “jari lentiknya menari”. Kedua, tetap saya kurang nyaman dengan jari lentik yang menari di atas wajan. Ketiga, tidak berubah alias sama saja, saya tidak menemukan citarasa menarik dari kalimat yang aneh dan unik itu. Entah mengapa si Cerpenis memilih metafor jari lentik menari? Bukankah setia orang menggoreng sesuatu itu menggunakan alat penggorang tidak menggunakan jari-jari? Imajinasi saya tidak dapat melihat sosok Niken dengan jari-jemari lentinya menari di atas wajan. Sekalipun dipaksakan yang dapat saya lihat adalah jari-jari niken yang terendam minyak – kepanasan!

Baca Juga:  Malam Penentuan

Percakapan Niken dan Sam (Samsuni) sudah cukup stabil, renyah, tenang, meski tanpa ada tekanan-tekanan ungkapan yang dapat memacu perasaan saya sebagai pembaca. Artinya, perasaan saya hanya dapat menikmati secara biasa-biasa saja. Pendek kata, saya paham tanpa mengekuretkan kening atau tanpa merasakan suatu hentakan ungkapan yang membuat saya diam terperangah. Ini hanya kemanjaan Ekspektasi saya ketika membaca prosa (ekspektasi seorang penggemar film-film drama Eropa-Hollywood – sesekali Korea). Biar jelas, silahkan baca dari paragrah pertama sampai paragraf keempat.

Sebenarnya tidak terlalu buruk sebagai permulaan cerita. Saya pun dapat memuaskan diri setelah mendapat pertanyaan Samsuni yang menekan kehendak Niken pada paragraf kelima.  Namun, kenapa harus ujung-ujung selendang yang melambai terhembus angin pantai Lombang? Ke pantai pakai selendang sepertinya kurang usum!
Mungkin!

Selanjutnya, cerpenis mulai bermain imajinasi dengan sebuah mitos yang sebenarnya hal itu tertuju pada diri orang pertama yaitu Samsuni (baca kisah Samsuni di masa lalunya). Sebab pada akhirnya, mitos yang Samsuni buat-buat itu, ia gugurkan sendiri dengan fakta bahwa, masyarakat pesisir pantai Lombang – tepat di desa Legung, tetangga desa Lombang, yang memang dikenal sebagai manusia pasir. Disebur manusia pasir karena mereka memiliki kebiasaan, mungkin tradisi, tidur beralas pasir di dalam rumahnya.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Apa yang saya maksud, “mitos buatan tertuju pada diri Samsuni” menjadi terang pada paragraf penutup bagian pertama, baca bagaimana Samsuni bergumam.
Pada prinsipnya, cerpen ini sudah dimulai dengan baik sepanjang cerita pada bagian pertama. Alurnya baik dengan membuaka cerita Flash Back pada bagian kedua. Cerpenis sebagai pencerita yang berposisi sebagai orang pertama dalam cerpennya, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Sehingga muncul cerita buatan tentang mitos.  Mitos itu berkait kelindang dengan sosok Lastri.

Lastri bukanlan tokoh figuran dalam cerpen ini. Melainkan sumber mata air dari kisah cinta Samsuni dengan Niken yang ingin berkunjung ke pantai Samsuni, yaitu pantai Lombang. Dimana Lombang adalah masa lalu Samsuni, tempat Lastri meninggal, dan mengekalkan mitos lain yakni, “Tidak Sam, aku tidak akan meninggalkanmu, sebentar lagi akan tumbuh pohon cemara dari bibit yang kita tanam, itu lah aku!” Sampai di sini, saya sebagai pembaca ingat sebuah kisah cinta seorang Mafia bernama Don Michael dalam film The Good Father atau kisah cinta penyair besar Italia, Dante Alieghari yang terkenal dengan karya besarnya, The Divina La Commedia.

Kisah “Bawa Aku ke Pantaimu” hampir mirip dengan kisah cinta dalam Novel Best Seller The Note Book (difilmkan tahun 2014). Bedanya, dalam The Notebook menceritakan kisah cinta antara tokoh A dan B yang saling mencintai di masa muda namun hatus terpisah sebab perbedanaan kelas sosial. Si A (tokoh lelaki) orang kecil dan si B (tokoh perempuan) dari keluarga bangsawan. Setelah mereka berpisah, si B bertemu lelaki lain (tokoh C). Akhirnya, kebahagiaan percintaan tetap menjadi miliki si A dan B. Itulah The Notebook. Jelas dimana letak perbedaannya dengan cerpen karya Maltuf A. Gungsuma bukan. Persamaannya, adalah diceritakan di usia tokoh utama ketika sudah tua, bahkan sudah punya cucu. Sehingga gaya cerita Flash Back  menjadi hidup dan menarik.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Akhirnya, saya sebagai pembaca yang cukup buruk, kembali merasa biasa-biasa saja, sebab pada akhirnya, cerita ditutup dengan acara hiburan keluarga besar Samsuni. Ending yang tiba-tiba seperti ini: Aku diam saja sambil memandangi sebuah pohon cemara yang menggigil, tepat di samping panggung hiburan. Dari daun-daunya yang lebat menetes air kesedihan, deras sekali. Aku pun begitu.

Benar tidak ada yang salah dari penempatan ingatan kekal itu. Itulah bias Cinta abadi antara Samsuni dan Lastri. Seperti sebuah pribahasa “Senyummu kubawa pergi, jejakmu tertinggal disini”. Namun bagaimana bentuk cinta Samsuni pada Niken? Cinta yang dipunuhi dengan romansa dan ungkapan-ungkapan romantis seperti ketika Samsuni memuji jari-jemari lentik Niken yang menari di atas wajan.

Insiden tersembunyi sebenarnya terjadi di samping Niken yang melukis sore itu di pantai Lombang!  Akhirnya, saya ingin sampaikan satu kecurigaan bahwa, cerita ini diinspirasi dari film The Notebook atau mungkin dari novelnya. Kenapa, sebab Niken diposisikan sebagai pelukis. (15 Februari 2016)

Related Posts

1 of 41