Oleh: Uki Bayu Sedjati & Hari Agustono
Mirip kisah kasih romantis muda-mudi tahun 50-60-an, Junde dan Sri menjalin pertemanan mereka dengan biasa-biasa saja. Tak menggebu seperti yang sering terlihat di film-film karya sineas India, Bollywood. Walaupun sangat jarang pergi bersama lantaran keduanya sibuk dengan tugas rutin masing-masing, toh sempat juga dua kali janji ketemu di Museum Gajah. Di museum yang terletak di jalan Merdeka Barat ini, cukuplah memantapkan tekad mereka untuk menikah.
Tentu saja baik dari pihak Junaedi maupun pihak Sri banyak yang membicarakan bahwa pernikahan mereka dipengaruhi oleh aura Museum Gajah. Ya, legenda bahwa pasangan muda-mudi yang mengikat janji di situ bakal menapaki jenjang perkawinan memang sudah melekat di benak masyarakat. Karena itulah museum yang di halaman depannya ada patung gajah maupun sepasang meriam kuno itu dijuluki museum jodoh. Believe it or not.
Yang jelas dari proses lamaran sampai dengan akad nikah lancar-lancar saja. Keluarga pak Warmo tak mempersoalkan ketika anaknya dilamar oleh seorang pemuda yang belum memiliki pekerjaan tetap.
Sebab ia sendiri pun begitu. Doeloe, ketika memboyong istrinya dari Lebaksiu, Kabupaten Tegal ke Jakarta hanya bermodal niat ingsun alias tekad bulat. Ibaratnya hanya bermodal koper dan baju merambah Ibukota. Awalnya jualan martabak – diajak teman, sedulur sedesa – yang sudah lebih dulu berjualan. Lebaksiu dikenal sebagai sentra pedagang martabak yang tersebar di kota-kota besar di Jawa. Setelah lumayan sukses pak Warmo ganti haluan dengan membuka warung tegal alias Warteg.
Juga, Junde beruntung karena calon mertuanya bukan orangtua yang mengikuti tradisi Jawa yang kolot ataupun kaum yang ikut-ikutan mengunggulkan silsilah darah biru. Realistis, boleh dibilang begitu, sehingga ia pun tak harus mendatangkan orangtuanya dari Jambi karena biayanya pasti besar – di luar jangkauan.
Keberuntungan selanjutnya adalah sekitar satu bulan setelah menikah ia diangkat jadi wartawan tetap di Harian Nusantara. Rupanya pak Muhtar Lunga sudah lama memperhatikan kegigihan wartawan freelance-nya yang satu ini. Ketika kepadanya datang undangan – dicetak di lembaran kertas 1/3 folio, sederhana: menikah Ahmad Junaedi & Sri Mulyani, ia bungah, ”Dia anak berani. Saya yakin dia bakal berhasil.” Maka ia segera memberi rekomendasi agar statusnya ditingkatkan menjadi wartawan penuh.
Ada keberuntungan lain, Junde dan Sri masih boleh tinggal bersama dengan keluarga pak Warmo, bukan hanya sampai 40 hari setelah perkawinan, melainkan 100 hari setelah Sri melahirkan bayi. Jadi gaji hanya untuk keperluan tertentu, sebagian besar bisa ditabung.
Dengan modal itulah Junde dan istrinya meminta ijin untuk mandiri. Mereka mengontrak satu pintu rumah petak di wilayah Kebon Kacang. Ada delapan pintu berjajar berdempetan, milik haji Dulmanan. Antara satu dengan lain petak hanya dibatasi dinding tripleks, yang di cat ataupun ditempeli gambar-gambar kalender, surat kabar dan lain-lain. Jadi memang bukan mustahil di antara penghuni masing-masing petak – yang berlainan keluarga – jika bicara keras bakal didengar tetangganya. Sebetulnya lebih pantas disebut kamar-kamar bukan rumah.
Tapi, apa boleh buat, khalayak ramai umumnya menyebut rumah petak. Lebar masing-masing petak hanya 5 meter x 2,5 meter – memanjang ke belakang. Ada teras seperempat meter, ruang depan 1,5 m, kamar tidur 2 m, dapur 1 meter, tambah kamar mandi dan WC 3/4 meter. Masih untung kalo halaman belakang belum ditumbuhi jajaran rumah petak lain, berarti masih bisa untuk menjemur pakaian.
Tapi di wilayah Kebon Kacang nyaris tak ada lagi halaman. Antara satu dan lain jajaran rumah petak paling banter ada ruang selebar 1,5 meter, bahkan ada yang lebih sempit. Jadi ketika hujan air dari atap bisa menciprat bahkan masuk ke pintu. Sri tak mempermasalahkan kondisi rumah petak kontrakan, karena yakin suaminya bakal terus berjuang menghidupi. Ketika anak satu masih terasa lengang, anak kedua lahir mulai kelonggaran menyusut.
Rumah kontrakan itu tak jauh dari rumah pak Warmo, hanya sekitar 1 kilometer. Jadi jika pak Warmo maupun istrinya ingin menimang cucu pertama mereka, laki-laki, yang atas usulnya diberi nama Jodipati, panggilannya Jodi, cukup naik becak atau bajay. Nama itu memang diambil dari khasanah wayang purwa. Tokoh pujaan pak Warmo yang memiliki karakter tegas, gagah berani, jujur – blak-blak-an, namanya Werkudara alias Bima alias Brotoseno – ksatria Jodipati.
Menginjak tahun ke empat, pasangan suami-istri Juned dan Sri dapat momongan lagi, perempuan. Kakek jabang bayi yang bangga dipanggil mbah Warmo, memberinya nama Sartika. Tentulah simbahnya beroleh nama itu dari sejarah pendidikan yang menabalkan nama tokoh perempuan pendidik asal Jawa Barat, Dewi Sartika.
Tapi juga – ternyata – dipengaruhi oleh seringnya mendengar lagu Kartika yang dinyanyikan dengan penuh penghayatan oleh Bangun Sugito – yang tenar dipanggil Gito Rollies duet dengan Ahmad Albar dari band Godbless…
”Sartika atau Kartika, pak?” Tanya Sri pada bapaknya.
”Ilhamnya sih Dewi Sartika, nah… jadi makin nyata karena suka nyanyiannya Gito itu,” ujar pak Warmo lugu.
”Jadi panggilannya Tika, ya Pak,” sambut Junde.
”Ah, enakan dipanggil Sari. Imut-imut, lucu, nggemesin, mmuuah..,” Bu Warmo merespons sambil menciumi cucu perempuannya.
Dua anak cukup. Seruan Badan Keluarga Berencana waktu itu memang santer dikumandangkan di media massa cetak maupun elektronik: radio dan TV. Sri tipe perempuan yang mandiri, tak pernah mengeluh. Gaji suaminya sebagai wartawan harian Nusantara sebenarnya hanya pas-pasan buat hidup suami-istri. Berarti setelah beroleh anugerah dua anak – boleh dibilang minus. Untunglah Sri menerima jahitan dari ibu-ibu tetangga, terutama menjelang bulan Ramadhan maupun Tahun Baru. Hasilnya lumayan untuk membeli susu buat pertumbuhan Sari dan Jodi.
Ketika Sari menginjak usia satu tahun, sayangnya kakek dan neneknya harus pindah ke daerah Ciputat karena pemukiman penduduk di belakang Hotel Indonesia – sekitar satu kelurahan – di”gusur” habis demi pembangunan. Uang ganti rugi memang diberikan namun warga yang sudah puluhan tahun tinggal di situ jadi terpencar-pencar.
Warung tegal pak Warmo pun harus rata dengan tanah berganti menjadi bangunan megah. Junde dan Sri serta kedua anaknya tak lagi mudah untuk bertandang, sebab jarak antara Kebon Kacang dengan Ciputat tak kurang dari 20 kilometer.
Begitulah bagian dari kehidupan wartawan dari koran idealis. Junde nyaris tak mempersoalkan gaji lantaran perhatian utamanya adalah melakukan tugas jurnalistik dengan sebaik-baiknya, dan cepat.
Menu sarapan paginya, nasi uduk berlauk tempe goreng dan semur jengkol ditemani teh panas tanpa gula. Ini menjadi sarapan rutin yang dilakukan selama bertahun-tahun karena gaji wartawan yang pas-pasan. Setiap pagi, Sri membeli nasi uduk di gang sebelah, masih satu RT, sedangkan Junde setelah mandi, tugasnya memandikan Jodi. Setelah Sari lahir tugas Junde bertambah. Sesekali memandikan anak perempuannya, mencuci popok dan pakaian anak-anak.
Junde mengerjakan tugas itu dengan senang, bahkan bungah. Seringkali ia memandikan anak dan mencuci sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Ia merasa perannya sebagai suami dan bapak rumahtangga sempurna. Dan, kepada sejawat kerjanya di kantor pun diceritakan bahwa tugas rutin pagi hari itu justru memberinya energi berlipat untuk menyelesaikan tugas kantor. (bersambung)