NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Usulan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pendidikan agama dihapus di dalam kurikulum sekolah mendapat respon keras dari cendikiawan muslim, Hidayat Nur Wahid. Menurutnya, upaya menghapus kurikulum pendidikan agama termasuk sebagai gerakan politik identitas sekulerisme.
Dimana gerakan politik sekulerisme ini, lanjut dia bertentangan dengan Pancasila dan ketentuan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.
“Usulan agar pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia, adalah juga bagian dari gerakan politik identitas sekularisme. Dan identitas seperti itu tak sesuai dengan Pancasila, dan ketentuan UUD NRI 1945; pasal 29 ayat 1, pasal 31 ayat 3 & 5,” ujar Hidayat Nur Wahid melalui akun twitternya @hnurwahid, dikutip Jum’at (5/7/2019).
Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 menjelaskan ideology negara Indonesia adalah Ketuhanan yang Maha Esa, oleh karena itu segala kegiatan di negara Indonesia harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan itu bersifat mutlak. Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari pengakuan keagamaan. Oleh karena itu setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya yang warganya anggap benar dan berhak mendapatkan pendidikan yang layak, serta hak setiap warga negara untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan nyaman untuk tinggal dan berhak menentukan kewarganegaraan sendiri.
Baca Juga: Pedoman Penilaian dan Penerbitan Buku Pendidikan Agama Disusun Kembali
Sementara dalam pasal 31 ayat 3 menjelaskan Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demikian di pasal 4 juga menjelaskan, Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Sebagai informasi, usulan penghapusan pendidikan agama sebelumnya disampaikan oleh praktisi pendidikan Setyono Djuandi Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, pada Kamis (4/7/2019). Menurut dia pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah. Untuk itu dirinya meminta Presiden Jokowi menghapus kurikulum pendidikan agama.
“Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” kata Darmono dikutip dari Jpnn.com.
Tanpa disadari, lanjutnya, sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan.
Sebagai gantinya, mapel budi pekerti yang diperkuat. Dengan demikian sikap toleransi siswa lebih menonjol dan rasa kebinekaan makin kuat.
“Siswa harus diajarkan kalau mereka itu hidup di tengah keanekaragaman. Namun, keanekaragaman dan nilai-nilai budaya itu yang menyatukan bangsa ini, bukan agama,” tegasnya.
Kalau agama yang dijadikan identitas, lanjut Darmono, justru akan memicu radikalisme. Ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, belum tentu negara tetangga yang seagama bisa menerima.
“Kita harus jaga bangsa ini dari politik identitas (agama). Kalau negara ini hancur, yang rugi kita sendiri. Memangnya kalau kita pindah ke negara lain yang seagama, kita bisa diterima, kan tidak. Makanya rawatlah negara ini dengan nilai-nilai budaya, bukan agama,” tandasnya.
Pewarta: Romandhon