NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM) tengah memfinalkan cetak biru atau blueprint dari konsep kedaulatan pangan hasil ternak. Hal itu dilakukan sebagai kontribusi nyata perguruan tinggi dalam menyambut 100 tahun kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 2045.
Hal itu diungkapkan oleh Dekan Fapet UGM Ali Agus dalam siaran persnya di Kampus Fapet UGM, Rabu (7/6/2017).
“Kita bertekad untuk berkontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara dengan pemikiran dan kajian kritis guna mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. Perlu mendapat perhatian bahwa waktu 28 tahun lagi bukan waktu yang panjang. Karena itu, Fapet UGM siap berkontribusi bagi NKRI melalui penyediaan protein hewani asal ternak. Pangan dapat berasal dari tanaman (nabati) atau berasal dari hewan (hewani), yaitu ternak dan ikan. Untuk perikanan tentu kawan-kawan dari Departemen Perikanan Fakultas Pertanian yang akan membantu memikirkannya,” ujar dia.
Prof Ali menjelaskan, bahwa kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa secara mandiri dalam menentukan kebijakan pangan. Sehingga dapat menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Menurut Prof Ali, upaya menegakkan kedaulatan pangan setidaknya harus memperhatikan 6 elemen penting. Pertama, hak dasar atau hak asasi manusia. Kedua, hak otonomi untuk mengelola pangan sendiri. Ketiga, perdagangan dan harga pangan yang berkeadilan. Keempat, dukungan demi keberlanjutan usaha tani. Kelima, kontrol faktor produksi seperti tanah, air, dan benih serta penyediaan produk pangan yang sehat. Keenam, kehalalan dan ke-thoyib-an.
Jihad kedaulatan pangan
Ia mengatakan, jika keenam hal tersebut dipenuhi maka potensi Indonesia untuk menegakkan kedaulatan pangan terbuka luas.
“Karena itu, sudah saatnya Indonesia mulai melakukan upaya yang sungguh-sungguh atau jihad penegakan kedaulatan pangan. Argumentasinya jelas, Indonesia punya lahan yang sangat subur, ditambah lagi jumlah penduduk yang sangat banyak sebagai salah satu kekuatan Indonesia menghadapi daya saing global saat ini,” terang Prof Ali.
Jihad kedaulatan pangan, jelas Prof Ali, harus diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh dan luar biasa besar untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia untuk berdaulat dalam bidang pangan, sembari memohon rida Tuhan Yang Maha Esa.
“Jadi, jihad kedaulatan pangan harus dimaknai sebagai segala daya dan upaya yang sungguh-sungguh dan sangat serius yang harus dilakukan oleh suatu bangsa untuk mencukupi kebutuhan pangan yang halalan thayiban bagi warga negaranya dalam rangka mencari rida Tuhan Yang Maha Esa,” tambah Prof Ali.
Tingkatkan kesejahteraan
Prof Ali menuturkan, saat ini bangsa Indonesia memiliki tugas besar dalam pembangunannya, yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), serta meningkatkan kesejahteraan sosial dan keadilan dalam memanfaatkan sumber daya alam (SDA).
Sementara itu, ada 5 indikator dasar yang menunjukkan seseorang sejahtera. Yaitu, kenyang perutnya dengan pangan yang baik (halal-thoyib); sehat badannya; cerdas pikirannya dan terampil; terpenuhi kebutuhan rumah tangga (sandang, papan, hiburan dan kebutuhan sekunder atau tersier lainnya); dan terakhir terjaga martabatnya sebagai manusia.
“Dalam bahasa Jawa orang sejahtera itu wareg, waras dan wasis sebagai indikator terpenuhinya kebutuhan dasar. Oleh karena itu, kelembagaan negara yang mengurusi pangan, kesehatan, dan pendidikan adalah lembaga yang paling bertanggung jawab dalam mewujudkan Indonesia sejahtera,” ungkap Prof Ali.
Pendidikan merupakan jembatan emas bagi seseorang untuk menjadi lebih sejahtera. Pendidikan formal, non-formal, dan informal secara berkelanjutan yang mampu meningkatkan kecerdasan, kedewasaan, kearifan, dan ketrampilan peserta didik akan mampu menghantarkan kemajuan dan kejayaan suatu bangsa.
“Regenerasi adalah sebuah keniscayaan. Menyiapkan generasi penerus agar menjadi generasi yang sehat, cerdas, tangguh, dan kesatria demi kelangsungan hidup bangsanya adalah sebuah keharusan,” tandas Prof Ali.
Sinergisitas – Pengembangan UMKM
Senada dengan itu, Ketua Senat Fapet UGM Prof. Dr. Zaenal Bachruddin menambahkan, bahwa upaya mewujudkan kedaulatan pangan secara nasional diperlukan sinergisitas beberapa komponen bangsa, antara lain akademisi, masyarakat termasuk pengusaha dan pemerintah yang diwakili oleh beberapa kementerian, misalnya Kementerian Pertanian, Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan lain sebagainya. Sinergisitas dan mau berbagi antar mereka merupakan suatu keniscayaan.
Ia menuturkan, bahwa hal penting dalam mendukung keberhasilan pengembangan peternakan nasional adalah kesepakatan para pelaku untuk menggunakan data yang akurat dan disepakati, misalnya data populasi ternak dengan melihat keragamannya, data peternak, data ketersediaan lahan, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, dalam mewujudkan kedaulatan pangan juga harus dilakukan dengan penciptaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor peternakan. Sebagai contoh, kata dia, saat ini hampir 60 – 70% peternakan kecil secara nasional hanya memiliki luas lahan peternakan sekitar rata-rata 0,25 – 0,5 hektare (ha) dan jumlah kepemilikian sapi 2-4 ekor unit ternak untuk setiap peternak.
Seharusnya, lanjut dia, skala peternakan kecil perlu diberikan akses untuk memanfaatkan lahan peternakan minimal 1 ha dan sebanyak 10 ekor unit ternak (sapi) untuk setiap peternak. Dengan demikian, terjadi peningkatan kesejahteraan peternak secara signifikan di seluruh Indonesia.
“Apalagi kemudian, para peternak kecil itu diberikan pendampingan intensif dan edukatif, sehingga diharapkan bahkan suatu keharusan bahwa peternak dapat terhimpun pada sebuah bentuk kelembagaan yang sehat sehingga daya saing meningkat, pada akhirnya para peternak dapat juga menghasilkan produk-produk unggulan dan sehat,” papar Zaenal.
Kerjasama kampus
Lebih jauh, Prof. Zaenal mendorong agar kampus seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kampus-kampus lainnya di masing-masing daerah, bekerja sama dengan Fapet di masing-masing kampus untuk membuat program dalam hal penyediaan konsumsi produk ternak utamanya daging segar, sehat, dan teruji kualitasnya.
Hal itu, lanjut dia, bisnis di kampus dapat digunakan sebagai model dan dipastikan akan meningkatkan kesejahteraan peternak di seluruh Indonesia. Sekaligus menjamin kesehatan para insan akademisi di masing-masing kampus yang mengkonsumsi produk fakultas peternakannya.
“Kami berharap, pihak pimpinan universitas (PU) UGM bisa membantu mendukung bahkan memfasilitasi Fapet UGM untuk menyediakan pasokan konsumsi daging yang terjamin kualitasnya,” terang dia.
Ia mengasumsikan, jika setiap minggu kebutuhan daging sapi segar untuk keluarga besar UGM yang berjumlah kurang lebih 60.000 orang (mahasiswa S1, S2 dan S3), karyawan 5041 orang dan dosen 2597 orang dapat mencapai kurang lebih 26 ekor dengan rerata berat sekitar +/- 250 kg/ekor, maka dalam sebulan dibutuhkan 100 ekor sapi dan dalam setahun dibutuhkan 1.200 ekor sapi.
“Ini potensi perekonomian yang kami nilai signifikan mendukung kesejahteraan peternak. Jadi secara bersama dan sinergi dengan menggunakan data yang disepakati dan akurat kita bisa mendukung pengembangan peternakan nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia,” tandas Prof Zaenal. (ed)
Simak:
Indonesia Impor Pangan dari 40 Negara
Romantika Swasembada Pangan di Indonesia
Sibuk Berpolitik, Pemerintah Abai Pada Ketimpangan Ekonomi
Indonesia Memiliki 77 Jenis Pangan Sumber Karbohidrat
Editor: Eriec Dieda