Artikel

Tujuh Dosa Sosial Negara

NUSANTARANEWS.CO – Melebihi dugaan semula para ahli, krisis multidimensional yang akan mendera Indonesia bukanlah sembarang krisis yang bisa dihadapi secara tambal sulam dengan pembodohan dan kekuasaan. Krisis ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya, menyerupai situasi zaman peralihan (axial age) dalam gambaran Karen Armstrong (2006). Zaman jahiliyah (kalabendu) yang penuh prahara, pertikaian, kedunguan,  kehancuran tata nilai dan keteladanan.

Sekitar delapan dekade yang lalu, Mohandas K. Gandhi menengarai adanya ancaman yang mematikan dari ‘tujuh dosa sosial’. Ketujuh dosa yang dimaksuti meliputi politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan.

Ketujuh dosa ini sekarang telah menjadi warna dasar dari kehidupan kita. Kehidupan kota (polis) yang mestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai kota korup (citta corrottisima). Atau meminjam istilah Al-Farabi dengan sebutan kota jahiliyah (almudun al-jahiliyyah). Makna desa yang hilang tanpa kita temukan lagi dalam UUD 45 yang merupakan embrio dari kota-kota yang ada sekarang.

Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati serta kultur dasar budaya gotong royong telah hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati negerinya atau temannya. Rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan. Hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam perluasan korupsi.

Sementara itu, ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Pemimpin menggembar gemborkan jauhi harta dan tahta namun sebaliknya yang terjadi malah meraih kekuasan dalam pemerintahan menggunakan korupsi yang tidak tanggung-tanggung dan dilakukan berjamaah. Akhirnya timbul kematian dan pengasingan. Kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.

Kehidupan publik kita merefleksikan nilai-nilai moralitas kita, demikian pula sebaliknya. Sebegitu jauh, kehidupan publik selama ini lebih merefleksikan nilai-nilai buruk, dan kurang mengaktualisasikan nilai-nilai luhur masyarakat yang merupakan tempat peradaban bangsa bangsa didunia. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti keberadaban, responsibilitas, keadilan dan integritas runtuh.

Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru dalam Anthropolitik abad 21 penjabarannya dalam buku Konsep Neogeopolitik Maritim Indonesia Abad 21.

Peribahasa mengatakan, Where there is no vision, the people perish. Visi ini harus mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha national healing perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai spiritual dan etis ke dalam wacana dan kehidupan publik. Tanpa kesanggupan menginjeksikan visi spiritual dan moral ke dalam kehidupan publik, keberlangsungan bangsa ini berada di tabir kehancuran.

Penulis: Mbah Salim
Editor: Romandhon

 

Related Posts