Opini

Telah Berpulang Ulama Panutan, Kiai Haji Maimun Zubair

Wafatnya Mbah Moen Bertepatan Dengan Tanggal Rosulullah Terima Wahyu Pertama. (FOTO: Dok. warta photo)
Wafatnya Mbah Moen Bertepatan Dengan Tanggal Rosulullah Terima Wahyu Pertama. (FOTO: Dok. warta photo)

Telah Berpulang Ulama Panutan, Kiai Haji Maimun Zubair

Kiai Haji Maimun Zubair atau Mbah Moen wafat di Makkah, Arab Saudi, Selasa (6/8/2019) dalam usia 90 tahun. Sejarah hidup tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan pengasuh pondok pesantren Al-Anwar Rembang ini diwarnai dengan kiprahnya di kancah politik, selain tentu saja sebagai ulama panutan.

Wafatnya Mbah Moen tentu menjadi kehilangan besar bagi warga Nahdliyin. Rais Syuriyah PBNU, KH Ahmad Ishomuddin, menyebut sang kiai sebagai sosok yang patut diteladani dengan segala sifat dan sikap kebajikannya. Beliau salah seorang waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi) yang tentu dalam banyak hal pasti meniru Rasulullah SAW. Beliau adalah orang yang zuhud, sabar, penyayang, santun, tegas, banyak bersyukur, rendah hati, bijaksana, dan sebagainya. Banyak akhlak terpuji yang bisa diteladani ada pada beliau, katanya.

Di kalangan para ulama Nahdlatul Ulama, bahtsul masail diniyyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan) merupakan forum untuk berdiskusi, bermusyawarah, dan memutuskan berbagai masalah keagamaan mutakhir dengan merujuk berbagai dalil yang tercantum dalam kitab-kitab klasik.

Dalam forum seperti itu, Pondok Pesantren Al-Anwar (di Desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah) sangat disegani. Bukan saja karena ketangguhan para santrinya dalam penguasaan hukum Islam, tapi juga karena sosok kiai pengasuhnya yang termasyhur sebagai faqih jempolan. Kiai yang dimaksud adalah KH Maimoen Zoebair.

Meski sudah sangat sepuh, 90 tahun, alumnus Ma’had Syaikh Yasin Al-Fadani di Makkah itu masih aktif menebar ilmu dan nasihat kepada umat. Di sela-sela kegiatan mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab tasawuf lainnya kepada pada santri senior setiap ba’da subuh dan ashar, Mbah Maimoen, demikian ia biasa dipanggil, masih menyempatkan diri menghadiri undangan ceramah dari kampung ke kampung, dari masjid ke masjid, dari pesantren ke pesantren.

Dalam berbagai ceramahnya, kearifan Mbah Maimoen selalu tampak. Di sela-sela tausiyahnya tentang ibadah dan muamalah, ia tidak pernah lupa menyuntikkan optimisme kepada umat yang tengah dihantam musibah bertubi-tubi.

Ia memang ulama yang sangat disegani di kalangan NU, kalangan pesantren, dan terutama sekali kalangan kaum muslimin di pesisir utara Jawa. Ceramahnya sarat dengan tinjauan sejarah, dan kaya dengan nuansa fiqih, sehingga membuat betah jamaah pengajian untuk berlama-lama menyimaknya.

Kiai sepuh beranak 15 (tujuh putra, delapan putri) ini memang unik. Tidak seperti kebanyakan kiai, ia juga sering diminta memberi ceramah dan fatwa untuk urusan nonpesantren. Rumahnya di tepi jalur Pantura tak pernah sepi dari tokoh-tokoh nasional, terutama dari kalangan NU dan PPP, yang sowan minta fatwa politik, nasihat, atau sekadar silaturahmi. Ia memang salah seorang sesepuh warga nahdliyin yang bernaung di bawah partai berlambang Ka’bah itu.

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

Belum lagi ribuan mantan santrinya yang secara rutin sowan untuk berbagi cerita mengenai kiprah dakwah masing-masing di kampung halaman. Beberapa di antara mereka berhasil menjadi tokoh di daerah masing-masing, seperti KH Habib Abdullah Zaki bin Syaikh Al-Kaff (Bandung), KH Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), KH Hafidz (Mojokerto), KH Hamzah Ibrahim, KH Khayatul Makki (Mantrianom, Banjarnegara), KH  Zuhrul Anam (Leler, Banyumas), dan masih banyak lagi.

Kiai Gaul

KH Maimoen adalah putra KH Zubair, ulama besar di kawasan Pantura Jawa Tengah dan bagian barat Jawa Timur. Lahir di Dusun Karangmangu, Sarang, pada bulan Oktober 1928, ia anak pertama sulung dari 14 bersaudara. Meski keturunan ulama besar, Maimoen tidak dibesarkan di menara gading yang terpisah dari lingkungannya. Orangtuanya justru mendidiknya agar membaur ke dalam masyarakat.

Dari pergaulan dengan teman-teman sepermainan yang rata-rata santri kampung itulah, ia belajar sebagai kiai yang bergaul luas dan demokratis. Para santri kan sangat heterogen. Kelebihan seseorang diukur berdasarkan penguasaan ilmu yang pasti tidak berkaitan dengan ras, suku, pangkat, atau nasab. Semua sama. Siapa yang tekun, pasti akan mendapat ilmu. Man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan), katanya.

Sejak kecil, setiap hari, usai belajar di madrasah ibtidaiyah di kompleks pesantren, ia diwajibkan mengaji kepada ayahanda di masjid. Jangan heran jika, di usianya yang relatif masih muda, Maimoen telah mewarisi pengetahuan agama ayahandanya. Santri yang pernah belajar kepada ayahandanya dan kini menjadi tokoh nasional, antara lain, KH Sahal Mahfudz, KH Hasyim Muzadi.

Selain mengajarkan ilmu agama, Kiai Zubair juga membekali putranya itu dengan pengetahuan umum, seperti ilmu-ilmu sosial, politik, dan ekonomi – sesuatu yang tak lazim di kalangan pesantren yang saat itu tengah gencar-gencarnya melakukan gerakan non-kooperatif terhadap penjajah Belanda.

Sejak berusia tujuh tahun, Maimoen sudah diperkenalkan dengan dunia buku oleh orangtuanya, terutama buku-buku terbitan Balai Pustaka, Jakarta. Sejak itulah ia mencintai dan menghargai ilmu pengetahuan, tanpa membedakan pengetahuan agama atau pengetahuan umum.

Baca Juga:  Memilih Ketua MA di Era Transisi Kepemimpinan Nasional

Usai menamatkan madrasah (1943), ia melanjutkan pengajiannya ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri (1944-1948). Di sana ia sangat terkesan pada metode mengajar salah seorang gurunya, KH Abdul Karim. Beliau sangat tekun dalam mengajar. Sampai sekarang metode mengajar beliau saya tiru dalam mengajarkan kitab kuning kepada para santri, katanya. Selepas mengaji di Lirboyo, dua tahun berikutnya ia kembali mengaji di rumah.

Pada 1950 ia menunaikan ibadah haji ke Makkah, sekaligus menimba ilmu agama kepada para Haramain, seperti Sayid Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Syaikh Amin Kutbi, Sayid Hasan Masdah, dan Syaikh Yasin Al-Fadani. Pada akhir 1952 ia pulang ke kampung halamannya, lalu mengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, hingga kini.

Selain mengajar dan berdakwah, ia masih sempat menulis kitab taqrirat (penetapan hukum suatu masalah) dan syarah (komentar atas kitab salaf). Kitab yang dibuatkan taqrirat olehnya antara lain Jawharut Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah. Sedangkan kitab yang dibuatkan syarah, Syarah ‘Imriti. Semuanya dicetak dalam jumlah terbatas untuk kalangan Pesantren Al-Anwar.

Sebagaimana kebanyakan para kiai Jawa Timur, Mbah Maimoen juga aktif di Nahdlatul Ulama. Berbagai jabatan pernah diembannya, mulai dari ketua ranting NU Desa Karangmangu (1950), sampai anggota Syuriah PBNU pada periode kepemimpinan KH Ahmad Siddiq Jember (1984-1989).

Rahim Keragaman

Bukan hanya sebagai kiai, ia juga dikenal sebagai politisi yang teguh dengan pendiriannya. Ketika banyak ulama NU hijrah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ia tetap berjuang di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama beberapa ulama NU yang lain seperti (alm) KH Syafi’i Hadzami (Jakarta), KH Alawy Muhammad At-Taroqy (Sampang, Madura), KH Muhammad Hasan Syaiful Islam (Genggong, Probolinggo), KH Fawa’id As’ad Syamsul Arifin (Asembagus, Situbondo), dan KH Thoyfoer MC (Rembang).

Menurut kiai sepuh ini, perbedaan pendapat dalam tubuh NU adalah hal yang biasa, bahkan sudah merupakan ciri khas. Yang terpenting, bagaimana kita menyikapinya secara arif, dan menyadari bahwa beda pendapat adalah sunatullah. Dalam berpolitik, NU telah memilih Khittah 1926, tapi tidak bisa melarang warganya untuk berpolitik. NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana, katanya.

Ia lalu memberi contoh KH Hasyim Asy’ari dan KH Faqih Mas Kumambang adalah dua kiai yang bisa bersatu dalam perbedaan. Ketika Kiai Hasjim, yang saat itu menjabat rais am PBNU, menganjurkan memukul kentongan setiap kali datang waktu shalat, KH Faqih Mas Kumambang, yang saat itu wakil rais am PBNU, berpendapat sebaliknya. Namun, perbedaan itu tidak membuat hubungan mereka menjadi renggang.

Baca Juga:  Skenario Terbaik yang Bisa Diharapkan Indonesia dari Presiden Prabowo

Di lingkungan PPP, Kiai Maimoen juga pernah mengemban berbagai jabatan, mulai dari tingkat ranting hingga tingkat pusat. Jabatan yang hingga kini masih diembannya ialah ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP (MPP PPP), yang bertugas memberikan fatwa kepada Pengurus Harian Pusat PPP (PHP PPP), yang kini masih dipimpin oleh Hamzah Haz. Salah satu fatwa yang terkenal ialah agar Hamzah Haz tampil sebagai wakil presiden periode 2001-2004 lalu.

Kekuasaan tidak bisa baik jika ulama tidak terlibat dalam mewujudkan situasi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang kondusif. Kekuasaan tidak bisa baik tanpa ikut sertanya ulama yang membantu pelaksanaan terwujudnya negara aman dan tenang. Demikian pula sebaliknya, kata Mbah Moen.

Ia meyakini, krisis multidimensi yang kini berkepanjangan di Indonesia bisa diakhiri jika kehidupan beragama dikembangkan terus-menerus, terutama oleh kalangan pesantren. Pondok pesantren adalah kelompok pendidikan yang meluluskan para santri untuk hidup mandiri, tidak menjadi beban penguasa. Mereka memiliki tanggung jawab untuk melakukan pembinaan umat agar hidup berlandaskan ketakwaan. Ketaqwaan merupakan sarana untuk mengatasi berbagai kesulitan hidup, tambahnya.

Menurutnya, tantangan terbesar dalam berdakwah saat ini ialah mengembalikan umat kepada agama, tanpa membedakan-bedakan golongan atau partai. Dengan nada suara yang sejuk, ia menyampaikan nasihat bahwa mayoritas bangsa kita beragama Islam, dan tidak bisa ditekan atau digiring dalam satu partai. Partai boleh berbeda, tapi harus saling menghargai. Dari rahim keragaman inilah akan lahir kekuatan besar untuk mengatasi persoalan bangsa sekarang ini.

Di PPP, Mbah Moen menempati posisi sebagai Ketua Majelis Syariah yang diembannya sejak 2004 hingga wafatnya. Pada 6 Agustus 2019, Sang Kiai karismatik yang amat berpengalaman di ranah politik ini mengembuskan nafas terakhir dengan tenang di Makkah. Jenazah Kiai Haji Maimun Zubair dikebumikan di tanah suci, berdampingan dengan pusara guru-gurunya terdahulu, serta berada satu kompleks dengan makam istri Nabi Muhammad, Siti Khadijah.

Oleh: Aji Setiawan, Mantan Wartawan Majalah AlKisah

Related Posts

1 of 3,050