NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menurut Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies (CISS) M. Dahrin La Ode antisipasi persaingan global akan menjadi tantangan TNI terberat. Setidaknya kata dia, hingga 33 tahun akan datang. Tantangan persaingan global, lanjut dia sesungguhnya juga dihadapi oleh semua negara di Dunia tak kecuali Indonesia.
Maka basis terberat persaingan global ialah persaingan pikiran. Persaingan jenis ini disebut juga ‘perang pikiran’ atau the war of witz menurut Brigjen TNI Irawan Soekarno. Konstelasi ini mengajari kita bahwa persaingan global adalah the war of witz.
Dalam hal ini, maka siapapun yang memenangi the war of witz, niscaya dia tampil sebagai pemenang persaingan global. Hal lain yang tak boleh dilupakan, kata Dahrin adalah bahwa instrumen kemenangan the war of witz terletak pada kekuatan militer.
Bagaimana cara mengantisipasi agar Indonesia bisa meraih prestise pemenang dalam the war of witz di era global? Sebelum memberikan jawaban yang mendekati ketepatan, kata Dahrin, marilah lebih dahulu kita perhatikan ancaman dan perubahan strategi pertahanan di Asia Timur dan Asia Pasifik.
Ancaman di Asia Timur khususnya yang sedang dialami Jepang dan Korea Selatan (Korsel) adalah Rudal Taepodong 2 dari Korea Utara (Korut) yang telah ditempatkan di perbatasan kedua negara bersaudara itu.
Rudal Taepodong 2 yang sangat cepat, dapat menjangkau target hingga jarak 4.000-4.300 kilo meter. Karenanya, Taepodong 2 dapat menghantam Kota Seoul 4 menit sejak diluncurkan. Sedangkan Tokyo, Jepang, dapat dihantam antara 10-15 menit sejak diluncurkan.
Namun menurut Amerika Serikat Rudal Korut itu dapat menjangkau target hingga jarak 15.000 kilo meter. Artinya Rudal Korut itu dapat menghantam Guam, wilayah daratan Amerika Serikat, Russia, Indonesia, Australia.
Baik Jepang maupun Korsel telah mempersiapkan antisipasi ancaman Korut melalui cara merubah strategi pertahanan kedua negara Jepang dan Korsel. Perubahan strategi Jepang semula self defense ke collective self defence. Strategi self defense Jepang, dipelihara sejak usai perang dunia ke-II. Tapi kebijakan itu mengalami perubahan sedikit dua tahun yang lalu (2014), karena berubahnya situasi ancaman kawasan, khususnya Asia Timur sangat jauh beda dengan beberapa tahun yang lalu.
Pertama, semenanjung Korea, terutama yang bersumber dari Korut. Sekarang uji coba nuklir Korut hampir setiap bulan meluncurkan misil. Baru-baru ini misil Korut jatuh di dalam ZEE Jepang. Kedua, Cina setiap tahun expand kekuatan militer dan anggaran militer juga kurang transparan.
Menurut Dahrin, kurang transparannya Cina ini, berarti sangat mengkhawatirkan kawasan di Asia Timur, khususnya Jepang. Itu sebabnya strategi collective self defence Jepang ditetapkan. Namun tetap tidak bisa dilakukan untuk menyerang ke luar negeri misalnya ke Timur Tengah, Indonesia, dan Australia.
Strategi Korsel semula model defence ambrella ke extended nuclear detterence. Defence ambrella selama ini disebut dengan aliansi Amerika-Korsel. Itupun jika dilihat perbandingan pergerakan ancaman antara penggunaan waktu kehadiran defence ambrella Amerika Serikat yang akan datang dari Guam dan Okinawa, memerlukan waktu lebih lama dari 4 menit. Pasti telat!
Ini dikarenakan Korsel tidak memiliki legalitas dalam membangun pertahanan dengan persenjataan nuklir seperti yang dilakukan oleh Korut yakni rudal berhulu nuklir sebagaimana yang ditempatkan pada rudal Taepodong 2. Oleh karena itu, Korsel menggunakan model strategi extended nuclear detterence.
Wujudnya bahwa Amerika Serikat telah menempatkan dan mengaktifkan sistem anti rudal bernama Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korsel untuk menangkis serangan Rudal dari Korut. Dengan perubahan model strategi itu, maka Korsel bisa head to head dengan Korut. Cina juga telah merubah strategi yang semula continental defence system ke blue sea defence system untuk mencapai China Imperium melalui taktik ekspansionisme.
Satu diantara indikatornya ialah Peta buatan Cina Nine Dash Line atau Ten Dash Line menurut temuan Australian Strategic Policy Institute (ASPI). Dalam Peta Nine Dash Line” itu juga memasukkan perairan Natuna menjadi bagian wilayah Laut Cina.
Bahkan Cina di bawah Pemerintahan Xi Jinping tidak menghiraukan putusan Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa di Den Haag pada tanggal 12 Juli 2016. Bahwa Cina tidak memiliki dasar hukum mengklaim wilayah perairan Laut Cina Selatan yang diajukan oleh Filipina.
Mahkamah Arbitrase juga menyatakan Cina telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina. Bagi Cina, perairan Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan perairan Natuna adalah miliknya. Meskipun sebenarnya Nine Dash Line pasca putusan Mahkamah Arbitrase itu sudah tidak berlaku lagi.
Pewarta/Editor: Romandhon