NUSANTARANEWS.CO – Tantangan dan dilema studi terorisme. Nah sebelum kita membahas “lima asumsi dasar penyebab terorisme” ada baiknya kita melihat tantangan dan dilemanya terlebih dahulu. Sekarang kita sudah tahu lebih banyak tentang sejarah studi terorisme. Demikian pula dengan disiplin dan pendekatannya. Dan kita juga telah menyebutkan sejumlah nama orang dan lembaga yang meneliti terorisme, dan kontra-terorisme. Tapi tetap saja para akademisi dan para ahli merasa kesulitan untuk mempelajari fenomena ini.
Mari coba kita lihat gambaran seperti apa yang menjadi kesulitan utamanya. Bila kita kembali kepada ulasan tentang masalah “defisini terorisme” maka jelas bahwa hal itu merupakan masalah. Padahal sangat penting untuk menyamakan persepsi dalam memahami terorisme. Jadi masalah definisi memang tetap menjadi salah satu kendala utama yang dihadapi dalam studi terorisme.
Untuk itu perlu dilakukan sebuah studi penelitian komparatif agar kita bisa membandingkan hasil studi yang satu dengan yang lainnya. Di sinilah perlu sebuah definisi yang sama untuk membandingkan hasil penelitian. Jadi jangan kita membandingkan apel dengan jeruk.
Kesulitan utama berikutnya adalah kenyataan bahwa terorisme adalah subjektif dan dipolitisasi. Misalnya studi kontra-terorisme. Di sana kita sangat bergantung pada laporan pemerintah, atau badan-badan yang berhubungan dengan terorisme, di mana tentu saja mereka memiliki agenda politik. Yang pasti visi tentang terorisme pemerintah belum tentu sama dengan kita. Oleh karena itu harus disadari sebagai fakta bahwa ada “agenda politik” di balik itu.
Selanjutnya adalah sebuah kenyataan bahwa fenomena terorisme sangat kompleks dan bisa berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Nah, yang paling menantang, juga menjadi dilema dalam penelitian terorisme dan kontra-terorisme adalah kerahasiaan. Bagaimana menangani kerahasiaan yang mengelilingi terorisme dan kontra-terorisme. Bagaimana belajar tentang para pelaku yang terlibat? Bagaimana memahami motivasi mereka, mengapa mereka melakukan hal-hal itu, bagaimana mereka mengatur hal-hal itu dengan semua kerahasiaan yang mengelilinginya?
Disini aktor-aktornya sebut saja intelijen, atau dinas rahasia dengan para agen-agennya. Di pihak terorispun sama, ada dinas rahasia dan agen-agen juga. Kendalanya adalah bagaimana mewawancarai orang-orang yang diliputi kerahasiaan ini. Bagaimana peluang untuk melakukan sebuah praktek standar dalam penelitian sosial. Apakah mungkin kita mengetuk pintu lalu meminta untuk wawancara kepada seorang teroris? Nah, hal itu sangat sulit dilakukan dalam studi terorisme dan kontra-terorisme.
Atau bisa juga kita melakukan observasi partisipan, kita bergabung dengan aktor tertentu untuk sementara waktu dalam sebuah lembaga kontra-terorisme atau organisasi teroris, karena kita ingin tahu apa yang terjadi di sana. Dan kemungkinan itu sangat kecil, tapi bukan berarti tidak mungkin.
Seandainya kita mendapatkan akses ke file atau individu, kemudian muncul masalah etika. Kita bisa saja mendapat risiko disalahkan karena dianggap banyak mengetahui. Hal itu berlaku bagi pihak teroris maupun kontra-teroris.
Tantangan lainnya adalah terkait dengan masalah kehandalan dan validasi informasi. Jika kita bisa mewawancarai orang-orang ini, kemungkinan besar mereka mencoba untuk menipu. Mereka pasti memberikan versi kebenaran mereka, malah bisa dipastikan mereka mencoba untuk mempengaruhi kita.
Jelas sangat sulit memvalidasi informasi dengan semua unsur yang penuh rahasia. Ini adalah kesulitan terbesar dalam upaya penelitian. Kerahasiaan ini sebagian terkait juga dengan masalah etika. Tapi tidak ada yang mustahil.
Salah satu sarjana yang berhasil mengatasi masalah kerahasiaan adalah Jessica Sterm, seorang sarjana terkemuka dari Harvard yang mencoba untuk menjawab pertanyaan, mengapa seorang militan agama membunuh?
Dan dia menulis sebuah buku berjudul “Terror in the Name of God”. Stern berpikir bahwa satu-satunya cara untuk menjawab pertanyaan mengapa orang-orang ini membunuh adalah berbicara langsung dengan mereka. Jadi dia keliling dunia untuk berbicara dengan para tahanan.
Jelas diperlukan sebuah upaya besar untuk mendapatkan kepercayaan dari para tahanan tersebut, dan juga kepercayaan dari otoritas penjara. Dan harus diakui bahwa itu adalah upaya terbaik yang bisa dilakukan oleh seorang peneliti untuk mencoba memahami motivasi, orang membunuh orang lain atas nama Tuhan.(Agus Setiawan/dari bahan kuliah Studi Terorisme)