Wilayah Tak Bernama Tak Ada Dalam Peta
tiba-tiba aku terdampar di sebuah wilayah tak bernama tak ada
dalam peta. sekadar padang yang lapang tanpa pembatas, dan
pohon-pohon buah merimbun, udara meluruh santun, burung-
burung beterbangan menuruni bukit. kebimbangan batin batu-
batu adalah petujuk jalan yang kupunya saat ini, dengan belati
kutorehkan setiap pohon sebagai langkah kembali ke tepi
ini sama sekali bukan wilayah yang pernah ibu dongengkan di tiap
malamku. jika aku berada di sebuah puisi, di sini memang ada
sapardi, dan kata-kata begitu lumut di lidahku semakin lindap
persis sorot mata malam yang pernah mencaplok cita-cita
masa kecilku, dan salak anjing dalam hati menuntun senyap
ke ujung subuh yang lincir seperti belati diurapi sinar fajar
di wilayah yang entah ini, langkahku kehilangan jejaknya. aku seolah
tapi tak seolah dibekap kesunyian yang amat jahanam, bahkan
ketika bayangan perempuan silam melintas aku tak mampu
menyebut nama atau melambaikan kisah-kisah buram. senyumnya
yang pernah kujadikan petunjuk arah menuju rumah pun berlalu
tanpa meninggalkan gemetar cumbu dikatup bibir yang kelu
rasanya aku ingin mengundang ibu ke wilayah ini. sekadar untuk
menjawab pertanyaan: apakah tersesat itu membuat haru begitu
mudah tumbuh seperti benalu di pohon buah. tapi mengapa?
aku rindu dongeng tak masuk akal di tiap malamku. wilayah
tak bernama tak ada dalam peta teramat sempit bagi sejumput
pertanyaanku. tapi percayalah, ibu: belati dalam genggamanku
tak akan kuhunjamkan ke jantungku. sebab di situ ada denyut
yang engkau titipkan sewaktu aku demam setelah rampung
membaca puisi sapardi di koran minggu pada suatu pagi
Pondok Bambu, 2016
Taksa
Kau menuntunku pada jurang kemungkinan
Dan kemungkinan menyeretku dalam sunyi
Puisi. Di situ kurasakan cekau-cakar kuku
Waktu sebagai nyeri yang halus, sebagai
Lembut sentuhan maut yang melangut
Langkahku adalah kegamangan kompas dan
Peta. Kau menuntunku ke inti gelap setelah
Ajal cahaya tiba. Di luar kata-kata, kupasrahkan
Kacau-balau pancaindera pada sunyi puisi
Sebagai kemungkinan yang menemu tafsirnya
Pondok Bambu, 2016
Astrajingga Asmasubrata, kelahiran Cirebon, bekerja sebagai tukang cat duco – melamik – politur di Jakarta Timur, Penggerak Komunitas Malam Puisi Jakarta. Penulis sedang menyelesaikan Buku Sehimpun Puisi Ritus Khayali dan dapat dijumpai di akun Twitter @edoy___
_____________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].