NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan sampai kuartal II, ekonomi tumbuh 5,0 persen. Angka ini diketahui lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,18 persen. Sampai akhir tahun 2017, pemerintah berharap ekonomi bisa tumbuh 5,2 persen dan tahun depan Menteri Keuangan berharap bakal tumbuh 5,4 persen.
Artinya, pergerakan ekonomi hanya berkutat di angka 5 persen dengan surplus plus-minus nol koma sekian saja. Pertanyaannya, apakah memang sudah tidak bisa lagi digenjot lebih tinggi, misalnya masuk ke bilangan angka 6 persen atau 6,5 persen.
“Kayaknya memang susah. Ya memang sudah mentok segitu,” ujar direktur program Center for Economic Democracy Studies, Edy Mulyadi dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip redaksi, jakarta, Jumat (15/9).
Edy pesimis tentang kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Dan beberap waktu ke depan, kata dia, pertumbuhannya tidak terdengar menggembirakan, apalagi terkait dengan jumlah utang yang semakin menjerat.
Menurutnya, tim ekonomi yang dikomandani Menko Perekonomian Darmin Nasution nyatanya memang tidak cukup tangguh. Wataknya yang konservatif sudah terbukti dengan berbagai kebijakan ekonomi yang dilahirkan.
“Sama sekali tidak ada terobosan. Meski kemudian ada kabar angin bila penulis dan seniman pun segera akan dikenakan pajak. Sejak dahulu pun sebetulnya pajak bagi penulis sudah dilakukan seperti langsung melalui media cetak di mana tulisan para penulis freelance, kolomnis atau kontributor artikel lepas yang dimuat pada media yang bersangkutan,” papar Edy.
Edy membandingkan, pada masa tahun 1980-an, nilai pajak untuk tulisan yang dikenakan pada penulis di media cetak bisa berbeda. Misalnya, di Koran Sinar Harapan ketika itu sebesar 17 persen. Sedangkan di Harian Prioritas hanya 15 persen. Lain lagi ceritanya untuk pajak penulis di Suara Merdeka (Semarang), Pikiran Rakyat Bandung, dan Jawa Pos (Surabaya), Suara Indonesia Baru (Medan), Lampung Post (Lampung) maupun Banjarnasin Post, lebih variatif antara 10 persen sampai 12 persen.
“Lha, kalau sekarang bagaimana, kondisi media cetak makin lesu-atau bahkan cenderung ambruk-tidak seperti saat booming dahulu di mana tiras penerbitan yang paling kecil bisa mencapai 10.000 eksemplar lebih. Jika sungguh penulis dan seniman di Indonesia akan dikenakan penghasilan oleh pemerintah, agaknya hasrat ini seperti isyarat dari kepanikan aparat pemerintah untuk menutup kekurangan dana APBN Indonesia yang diperkirakan bakal jebol,” terang Edy.
Para pengamat ekonomi Indonesia melihat pasangan Darmin-Sri Mulyani sudah mentok untuk mendongkrak ekonomi Indonesia agar bisa tumbuh di kisaran 5 persen plus nol koma sekian. Alasannya macam-macam. Mulai dari situasi global yang belum pulih, sampai berbagai kendala di dalam negeri, termasuk rakyat Indonesia maunya gratisan. Tidak mau bayar pajak.
“Rasa tidak puas dengan pertumbuhan ekonomi kita yang cuma berkisar di angka 5 persen, jelas beda jauh jika dibanding semasa SBY Preisden. Kondisi ekonomi ketika itu sempat nangkring di angka 6 persen. Artinya, kalau tim ekonomi sekarang puas dengan 5 persen, jelas kinerja yang loyo, kalau tidak bisa disebut sontoloyo,” ucapnya.
Ia mengingatkan, jika para penulis dan seniman dikenakan pajak itu sama halnya pemerintah bertindak main hantam tanpa berpikir komprehensif. Pasalnya, di Indonesia umumnya seniman belum banyak yang terbilang masuk dalam kategori berkecukupan.
“Rata-rata seniman di Indonesia sama memprihatinkan jika tidak bisa dikatakan semakin memburuk sekarang, di mana dunia tulis menulis semakin sulit dan tidak populer menjadi pilihan profesi pekerjaan. Demikian juga bagi para seninan,” kata Edy lagi.
Terakhir, Edy mengingat lagi kisah sastrawan Hamsad Rangkuti yang merana di usia tuanya sekarang baru saja menghentak akal sehat banyak orang, khususnya seniman atau sastrawan di Ibukota, Jakarta. “Lalu bagaimana caranya memajaki mereka yang tidak mempunyai penghasilan yang jelas ini?,” tanya Edy. (ed)
(Editor: Eriec Dieda)