NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam sebuah catatannya baru-baru ini mempertanyakan siapa sesungguhnya pemilik bangsa ini. Menurutnya, di negeri ini, tentu tak satu pihak mana pun berhak menepuk dada sebagai paling berdarah Merah Putih. Mengklaim diri sebagai pewaris dan penjaga utama Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945. Indonesia milik semua untuk semua.
Bagi Haedar, sangat gegabah jika ada orang menyatakan, bahwa Indonesia belum teruji kebinekaannya jika minoritas belum menjadi seorang Presiden. Lebih-lebih ketika ujaran itu diungkapkan dengan nada angkuh, seolah ukuran ke-Indonesiaan ialah kedigdayaan diri dalam singgasana kuasa. Sebuah kesombongan yang dapat menjadi duri tajam di tubuh negeri ini.
“Manakala ada segelintir orang ingin menguasai Indonesia dengan hasrat kuasa berlebih. Ingatlah pesan Bung Karno, ‘Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!’ Jangan ada pihak yang ambisius untuk memiliki Indonesia dengan nafsu chauvisnis,” ungkap Haedar Nasir.
Begitu pula dengan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) Hendrajit mengungkapkan bahwa untuk menggambarkan situasi kekinian bangsa, istilah kelompok minoritas sesungguhnya sudah tak lagi relevan di negeri ini. Dikatakan demikian, karena dalam praktiknya fenomena kelompok minoritas menindas mayoritas semakin menguat.
“Sudah tidak relevan lagi istilah kelompok minoritas, karena sudah menguasai perekonomian dan sekarang menguasai politik dengan uangnya meskipun diperoleh dengan cara merampok,” ujar Hendrajit saat hubungi redaksi Nusantaranews, beberapa waktu lalu.
Dirinya menilai bahwa fenomena kelompok minoritas yang menindas mayoritas dengan kekuatan ekonomi, parahnya justru membeli pula kekuasaan (politik) atau kedaulatan negara. Dirinya menyebut gejala ini sebagai bentuk tirani minoritas.
“Inilah yang disebut tirani minoritas, sayangnya yang mayoritas tidak menyadarinya bahkan saling berantem antar mereka hanya karena dukung mendukung yang minoritas,” terang dia.
Untuk itu, Haedar Nashir mengajak kepada para elit politik dan semua elemen bercermin pada jiwa kenegarawan para pendiri bangsa. “Tatkala Ki Bagus Hadikusumo, menyampaikan gagasan Islam sebagai dasar negara pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Peraiapan Kemerdekaan (BPUPK), Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ini dengan tegas menyatakan bahwa dirinya adalah ‘seorang bangsa Indonesia tulen’ dan ‘sebagai Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka’,” tegasnya.
Editor: Romandhon