Cerpen

Seorang Pengamen dan Penjual Koran

Seorang pengamen, penjual koran, cerpen, cerpenis indonesia, cerpen indonesia, nusantaranews
ILUSTARSI, seorang pengamen. (Foto: Dok NUSANTARANEWS.CO)

Seorang Pengamen dan Penjual Koran – Sebuah Cerpen

Pagi itu begitu cerahnya bersama matahari yang mulai mengintip dari ufuk timur dan deru kendaraan yang berlalu lalang di bawah lampu merah. Joko yang sudah biasa berjualan Koran setiap hari di tempat itu mundar mandir menghampiri setiap kendaraan yang menunggu lampu hijau, berharap ada yang membeli Koran yang dijulurkannya.

Satu dua orang membeli Koran Joko dalam waktu yang lumayan lama, kurang laku. Namun apa yang dilakukannya bermodalkan semangat dan keihlasan hati untuk bertahan hidup dan membiayai pendidikannya. Joko tidak patah semangat sekalipun setiap hari yang dia jual adalah berita tentang kesulitan pemerintah dalam menangani masalah rakyat. Dia hanya berpikir bahwa dia merupakan bagian dari penentu masa depan bangsa. Jika joko menyerah pada keadaan, maka menyerahlah salah satu generasi bangsa.

Di tengah kesibukannya berjalan menjajal Koran, seorang pengamen yang setiap hari mampir di tempat itu juga datang untuk bernaung di bawah pohon pinggir jalan. Dia sudah biasa duduk di sana sambil menunggu bus sasaran ngamennya lewat.

“Crenggg!!! Bila cinta sudah dibuang. Jangan harap keadilan akan datang. ….” Pengamen itu menyanyikan salah satu lagu Iwan Fals saat duduk menunggu bus.

Joko yang mendengarnya samar-samar sedikit terbawa perasaan dalam keadaan jalan yang hiruk dan macet oleh banyaknya kendaraan yang lewat.

“Mulai macet ya, Pak.” Joko menyapa pengamen itu yang sedang memegang gitar di atas pahanya.

“Iya, e. Di pinggir sini kasih hadangan pake sepedamu aja. Biar mereka gak nyasar lewat pinggir. Mentang-mentang pejabat, iya to? Ini contoh kecil dari ketidakjujuran pemerintah. Kita tidak usah jauh-jauh.” Pengamen itu menimpali dengan wajah tampak sedang meresahkan keadaan.

“Iya, Pak. Harusnya mereka lewat jalan raya,bukan trotoar.” Joko menjawab seraya menganggukkan kepala dan menghela nafas mendengar keluhan pengamen itu.

Setelah itu si pengamen beranjak pergi menuju bus sasarannya yang sudah datang. Joko pun hanya bergumam, barangkali pengamen itu lebih beruntung. Sekali bernyanyi di atas bus bisa saja dapet dua puluh ribu rupiah.
Sedangkan joko yang mondar mandirmenjual Koran di bawah terik matahari hanya mendapat enam sampai sepuluh ribu saja. Untung-untung kalau pulang siang dapat 15.000 sehari. Tapi bagi joko hal itu tidak masalah. Karena mereka sama-sama mencari duit untuk penghidupan.

Beberapa waktu kemudian, setelah pengamen itu pergi, seorang nenek tua yang terlunta memegang tongkat kayunya menghampiri Joko. Sepertinya dia ingin membeli Koran. Wajar, perawakannya orang kaya. Anaknya juga pengusaha.

“Dik. Kok lama gak kelihatan?” Nenek itu menyapa Joko yang sedang berdiri dipinggir jalan, dibawah lampu merah.

“Sekolah, Nek. Nenek mau beli Koran lagi?” Joko balik bertanya dengan wajah tersenyum.

“Iya. Sini, Koran Tribun Jogja.” Nenek itu menjawab sambil menjulurkan uang 2.000 rupiah.

“Terimakasih, Nek.” Joko menjulurkan korannya kepada nenek tua itu dengan rasa syukur di dadanya. Dan nenek itu pun beranjak pergi ke rumahnya, di pinggir jalan.

Matahari semakin terik. Panas, menusuk kulit dalam Joko. Keringatnya mengalir tak terbendung, sementara harapan masih menggebu-gebu. Seakan-akan tak ingin rejeki hari itu terlewatkan.

Keesokan harinya, Joko membaca berita local di Koran. Sambil berjualan. Di dalamnya ada gambar seorang pengamen, matanya terpejam. Seperti orang tidur. Tapi badannya tak bergerak. Kaku. Dalam berita tertulis kecelakaan mobil keluaran terbaru.

Blasss! Joko mati lampu. Gelap. Tak ada matahari. Tak ada suara. Tak ada, kecuali berita pejabat yang terjerat korupsi.

 

Munir A. Sudhena, lahir pada tahun 1994 di Sumenep Madura. Sekarang mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Buku antologi puisinya berjudul “Jiwa yang Terlepas” diterbitkan oleh CV. Ganding Pustaka. Penulis bisa di hubungi lewat E-Mail: [email protected]. FB. Ali Munir.

 

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,079