NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Yayasan Hari Puisi (HPI), Maman S Mahayana megatakan bahwa dunia pers atau jurnalistik tidak dapa dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Pers tidak bisa dikesampingkan dalam kehidupan bermasyarakat kita. Bahkan juga dalam sejarahnya, wartawan dan sastrawan itu susah dipisahkan,” kata Maman pada acara press konference menjelang Puncak Perayaan HPI 2018 di Ruang Pusat Dokumen Satra (PDS), Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusa, Rabu (14/11/2018).
Baca Juga:
- Hari Puisi Indonesia 2018 Telah Tiba, Ini 10 Agenda Acaranya
- Hari Puisi Indonesia Sebagai Perekat Kebhinekaan
Maman memaparkan, awal berdirinya surat kabar di Indonesia dalam bahasa latin, itu banyak sekali mereka memanfaatkan sastrawan. “Jadi kalau anda baca surat kabar yang awal, maka setiap hari itu muncul puisi. Setiap hari dan puisi itu ditempatkan di halaman pertama,” katanya.
“Sastra betul-betl dimanfaatkan untuk kepentingan jurnalistik. Jadi berita dan cerita itu berkelindan begitu rupa. Berita bisa jadi puisi, bisa jadi pantun, jadi syair dan seterusnya. Peristiwa-peristiwa kriminal bisa jadi sastra,” imbuhnya.
Ditambahkan Maman, kalau melihat ke belakang lagi ketika surat kabar dalam bahasa latin itu belum dikenal, kita juga sudah melahirkan banyak sekali puisi yang isinya macam-macam, ada tentang pemerintahan, alam, filsafat, etika dan seterusnya. itu yang ditulis dalam bentuk syair. “Jika Anda baca karya Albanjari, Syekh Yusuf dan seterusnya, mereka menulis dalam bentuk syair. Itu puisi,” tegas Kritikus Sastra Indonesia itu.
Jadi sesungguhnya, lanjut Maman, bangsa ini adalah bangsa penyair. Puncaknya terjadi pada yang disebut oleh Sutardji Calzoum Bachri dengan puisi besar. “Puisi besar itu ialah Sumpah Pemuda. Jadi bangsa (negara) ini dilahirlan “lewat puisi”. Di dalam puisi itu juga, hampir tidak ada, kata-kata jorok, kata-kata kasar, kebencian dan sebagainya,” tuturnya.
Kalau kemudian sekarang ini, katanya, ada hoaks-hoaks, ada ujaran kebencian, aneh. “Kita tercerabut dari akar,” ujarnya.
Atas dasar itu, Maman menambahkan, semangat Yayasan Hari Puisi mencoba mengembalikan bahwa sesungguhnya bangsa ini adalah bangsa yang saling menghargai, bangsa yang berbahasa santun, baik dengan berbagai metaforanya dan peran puisi dalam kehidupan. Sehingga tidak perlulah ada kata-kata kebun binatang untuk ngomelin orang, apalagi ada isi toilet dikeluarin.
“Aneh itu lho, karena bangsa kita tidak mengenal itu. Ada metafora. Kalau mau mengatakan orang tidak tahu adat atau ada orang yang culas cukup dengan pagar makan tanaman, orang yang sombong tapi tidak ada isinya, air beriak tanda tak dalam, dan seterusnya,” tegasnya.
Simak:
- Perayaan HPI 2018 Digelar dalam Dua Kemasan Acara
- Puncak Perayaan HPI 2018: Puisi sebagai Renjana dan Sikap Budaya
“Semangat hari puisi mencoba mengembalikan itu semua. Dan itu konteks sekarang menjadi penting karena bertebaran dimana-mana hoaks-hoaks, ujaran kebencian, orang kemudian marah dengan kata-kata yang kasar. Apa tidak ada kata yang lebih halus sehingga orang lain tidak merasa tersinggung,” tambahnya.
Maman juga mengungkapkan, selama lima tahun, enam tahun ke sini, alhamdulillah, usaha untuk mencoba mengangkat kembali puisi di dalam kehidupan keindonesia ini sudah mulai kelihatan. Yang tampak jelas itu adalah Gerakan Penulis Puisi dari berbagai daerah.Kemudian ada juga kesadaran untuk mencoba menyusun sejarah puisi di daerahnya. Seperti yang dilakukan oleh Kendari. Baru kemarin membuat buku Sejarah Puisi Sulawesi Tenggara.
“Dari situ kelihatan betul bahwa puisi memang tidak bisa lepas dari kehidupan bermasyarakat. Dan kemudian kelihatan juga di situ bagaimana tali temali antara puisi, drama, dan seterusnya dengan keseluruhan bermasyarakat di sana,” kata Maman.
Pewarta: Achmad S.
Editor: M. Yahya Suprabana