Selamat Tinggal Ibukota Jakarta?
Presiden Joko Widodo memastikan Ibukota negara yang baru akan dipindahkan ke Pulau Kalimantan. Informasi tersebut masih belum di putuskan provinsi mana yang akan dijadikan ibu kota baru pengganti DKI Jakarta apakah Kalimantan Tengah, kalimantan selatan atau Kalimantan Timur?
Rencana pemindahan ibukota ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat dan elit politik.
Macet parah yang menjadi pemandangan rutin, banjir saat musim penghujan dan jumlah pendatang yang terus bertambah serta sempitnya lahan untuk mengembangkan pembangunan ekonomi, dinilai telah membuat Jakarta tak layak lagi jadi ibu kota. Beberapa kota di Kalimantan disebut-sebut menjadi alternatif ibu kota baru.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN) menyebutkan bahwa pemindahkan ibu kota ke luar Jawa dikarenakan Jakarta tidak bisa lagi menanggung beban sebagai pusat pemerintahan, pelayanan publik, dan bisnis. Namun memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah lain pun belum tentu bisa menyelesaikan persoalan itu. Apalagi pemindahan itu jelas memerlukan biaya besar.
Pemindahan Ibu kota baru diperkirakan menyedot anggaran hingga Rp 466 triliun. Biaya tersebut akan digunakan untuk membangun kantor-kantor pemerintahan yang baru, serta ongkos mobilisasi dan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal ratusan ribu pegawai pemerintahan.
Pemindahan Ibu kota merupakan proyek raksasa. Pada prosesnya biaya pembangunan Ibu kota baru pasti memakan biaya jauh lebih besar daripada estimasi yang diperkirakan. Pertanyaannya: mampu dan perlukah pada saat ini negara menyediakan dana sebesar itu? Dari mana sumber dana yang akan digunakan? Apakah akan melibatkan investasi asing lagi sehingga Indonesia semakin terikat dengan negara asing.
Oleh karena itu, pemindahan ibu kota ke daerah yang baru akan memberikan dorongan adanya arah pembangunan yang lebih merata. Namun tidak cukup hanya hasrat sesaat dalam jangka pendek. Sejarah mencatat, beberapa negara berhasil memindahkan ibu kota negara namun tak seindah harapan yang diinginkan. Brasil memindahkan ibu kotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia di era Presiden Juscelino Kubitschek (‘de Oliveira pada 1960. Brasilia dibangun dengan klaim menjadi ibu kota yang setara bagi semua orang. Kenyataannya, selain soal estetika yang tidak bisa menandingi Rio, pembangunan Brasilia justru menciptakan kesenjangan baru. Kota ini hanya ditinggali kalangan atas.
Tak jauh dari Indonesia, Myanmar memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw. Belakangan, Naypyidaw menjadi “kota hantu” karena penduduk ogah bermukim di kota itu. Biaya besar dengan hasil yang tak sesuai dengan harapan juga terjadi ketika pemimpin Pantai Gading membangun ibu kota baru di Yamoussoukro. Hampir semua pemindahan itu dilakukan karena pemimpin negara-negara tersebut ingin meninggalkan warisan pada periode kepemimpinannya.
Walhasil, rencana kebijakan pemindahan ibu kota bukan urusan pindah saja, namun harus mempertimbangkan segala aspek dalam konteks pembangunan nasional. Bahkan beberapa persyaratan yang perlu menjadi pertimbangan mendasar adalah lokasi, konstitusional, stabilitas ekonomi, tahapan teknis detail perencanaan, migrasi penduduk, prioritas pembangunan, sumber dana, dan lainnya.
Ibu kota merupakan tempat di mana pemerintahan suatu negara mengatur segala hal. Tak sekadar menjadi pusat pemerintahan dan politik, ibu kota juga adalah titik bertemunya aktivitas bisnis hingga budaya. Memindahkan ibu kota berarti memindahkan semua aktivitas tersebut. Artinya, pemindahan ibu kota bukanlah hal mudah, perlu perencanaan matang serta eksekusi yang kompleks.
Keputusan apakah ibu kota negara Indonesia akan pindah atau tidak bukan terkait dengan harus segera dilakukan. Karena urgensinya akan mempengaruhi kepastian usaha dan perekonomian di Indonesia. Selain itu juga berpengaruh terhadap kesiapan masyarakat secara sosial, budaya dan politik.
Oleh: Fadhilah Fauziyah, seorang pengajar berdomisili di Mekar Tambun Selatan