NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pemerhati ekonomi politik, Salamuddin Daeng mengungkapkan sejumlah masalah datang secara beruntun menjelang dilantiknya Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019-2024.
“Bulan-bulan yang berat, masalah datang beruntun, yakin masih bisa bertahan sampai Oktober? Situasi internasional juga terus memburuk,” kata Salamuddin mengutip keterangannya di Jakarta, Sabtu (31/8/2019).
Situasi internasional, kata dia, terus memburuk ditandai sejumlah masalah. Pertama, perang dagang USA versus China menghajar ekonomi negeri-negeri yang bergantung pada pasar kedua negara adidaya tersebut dan bergantung pada dolar Amerika dan impor Cina.
“Kedua, gelombang pembersihan skandal pajak di Amerika Serikat dan Eropa menyapu para penjahat keuangan dunia. UU ekstradisi Cina segera akan menawa penjahat keuangan di Hongkong, Taiwan dan juga taipan-taipan di wilayah Asia lainnya,” katanya.
Ketiga, ekonomi Singapura memburuk, pertumbuhan ekonomi terendah sejak krisis 2000 membawa negara itu pada krisis ekonomi dan keuangan dalam waktu dekat.
Keempat, harga komoditas makin memburuk, harga batubara anjlok, hanya minyak tetap rendah, harga CPO jatuh, keuangan negara-negara yang bergantung pada migas jebol.
“Utang baru tampak sulit karena kemampuan bayar yang berat. Penerimaan negara berbanding terbalik dengan beban negara atas utang yang telah dibuat,” terangnya.
Selanjutnya, kata Salamuddin, serangkaian peristiwa politik yang dapat dimaknai sebagai implikasi perkembangan politik global berlangsung makin panas. Hal ini ditandai dengan sejumlah peristiwa besar.
Pertama, demonstrasi di Hongkong menolak UU ekstradisi Cina berlangsung sampai dengan hari ini dan belum ada tanda tanda akan berakhir. Demonstrasi telah sanggup menutup bandara dan penerbangan, menutup aktifitas bisnis dan pemerintahan.
Kedua, demonstrasi di Papua bersamaan dengan waktu peringatan Kemerdekaan Indonesia. Demonstrasi telah menghentikan aktivitas ekonomi di pusat kota, menutup bandara dan membakar kantor bupati Monokwari. Demonstrasi mengarah pada tuntutan kemerdekaan Papua.
“Saham perusahaan tambang terbesar di dunia Freeport McMoRan FCX sebuah perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Papua telah jatuh sangat dalam sepanjang setahun terakhir. Keuangan perusahaan belum ada tanda-tanda akan pulih,” ungkapnya.
Pada saat situasi serba tidak menguntungkan, sambungnya, Indonesia dirundung masalah bertubi-tubi.
“Apa yang terjadi dengan Indonesia? Mengapa masalah datang bertubi-tubi. Masalah alam, masalah ekonomi, keuangan, perdagangan, datang menjadi masalah secara beruntun. Tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi dan apa yang bakal terjadi sangat sulit ditebak,” ucapnya.
Berikutnya, setelah masalah defisit neraca eksternal, defisit pendapatan primer, defisit migas, defisit jasa jasa, kembali masalah ekonomi lain datang.
“Pemerintah seperti tidak tahu mau berbuat apa, pemerintah sama dengan rakyat kebanyakan terkaget-kaget dan tak tahu apa yang terjadi,” imbuh Salamuddin.
Pertama, Garuda bermasalah manipulasi laporan keuangan, dari untung kemudian direvisi menjadi rugi triliunan rupiah.
Kedua, Pertamina bermasalah tumpahan minyak Balikpapan digugat Kementerian Lingkungan Hidup 10 triliun. Sebuah tuntutan yang berat datang dari pemerintah sendiri kepada perusahaan negara.
Ketiga, Pertamina bermasalah tumpahan minyak di blok ex British Petroleum (BP) di Karawang hingga Kepulauan Seribu diduga karena penerapan sistem bagi hasil grossppit.
Keempat, PLN bersasalah mati listrik se-Pulau Jawa selama sehari dan belum tahu penyebab secara pasti, apakah teknis, atau penyebab lain seperti kejahatan siber. PLN kembali pada pemadaman bergilir dalam masa mendatang dan pemerintah menyetujui skema konvensasi.
Kelima, Bank Mandiri bermasalah shutdown sistem dan data nasabah kacau, diduga jebol. Belum pulih benar sampai saat ini. Belum jelas laporan hasil investigasi terhadap masalah ini.
Keenam, BPJS bernasalah defisit hingga puluhan triliun dan tidak ada jalan keluarnya. Ketujuh, beberapa BUMN bangkrut yakni PT Pos, PT Jiwasraya, PT Pos Indonesia dan PT Krakatau Steel. “Belum tahu berapa lagi yang akan menyusul dalam bulan ini,” sebut Salamuddin.
Kedelapan, Angkasa Pura II terancam bangkrut akibat sepinya penerbangan dan bangkrutnya maskapai. Ditambah lagi direksinya ditangkap KPK. Belum ada yang bertanggung jawab atas serangkaian masalah di sektor penerbangan.
Menurut dia, kejadian demi kejadian secara beruntun tersebut dapat disimpulkan ada peristiwa serius yang tengah berlangsung.
Ambil contoh misalnya, kata dia, dalam keterangan pasca mati listrik se-Jawa Presiden Jokowi mempertanyakan rencana kontingens. Suatu pertanyaan serius mengenai kemampuan respon negara dan intelijen negara dalam menghadapi situasi darurat yang disebabkan oleh faktor X yang tidak diketahui dan bagaimana membuat langkah menghadapinya.
Padahal, dua bulan lagi Presiden Jokowi akan dilantik sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun berikutnya. Sebuah pelantikan yang diharapkan akan menciptakan image baik tentang politik Indonesia yang makin kondusif bagi masuknya investasi modal untuk berbisnis di Indonesia.
“Namun menjelang detik-detik pelantikan masalah datang bertubi tubi tanpa disangka-sangka. Sementara elite sibuk berebut jabatan, membuat mega proyek baru, untuk menarik utang,” paparnya.
Upaya taipan untuk pesugihan tak berhenti setelah serangkaian kegagalan yang memalukan. Proyek besarnya sekarang adalah pemindahan ibukota negara,” katanya.
Salamuddin menyebutkan serangkaian kegagalan yang memalukan dimaksud.
Pertama, gagal dalam menuntaskan mega proyek 35 ribu megawat yang berakhir dengan blackout sistem PLN sebagai muara dari penyanderaan pembangkit listrik swasta. “Kasus pohon di jaringan sutet merupakan pemicu saja,” katanya.
“Kedua, kegagalan megaproyek kilang Pertamina setelah empat tahun hanya menawarkan proposal ke sana sini, kunker ke luar megeri namun tidak menuai hasil apa-apa, hanya menghabiskan uang Pertamina untuk plesiran,” kata Salamuddin lagi.
Ketiga, kegagalan mega proyek reklamasi senilai 450 triliun rupiah yang mengakibatkan para taipan tersandera utang dan debt collector. “Proyek reklamasi yang gagal telah menyebabkan para taipan berada di ujung tanduk. Kalau tidak ngotot maka sekarat, kalau ngotot maka sia-sia,” tutur peneliti AEPI ini.
Keempat, kegagalan mega proyek super blok Meikarta telah membawa keuangan para taipan sakratul maut, tidak ada jalan keluar atas kegagalan ini. Sementara pemerintah sudah menghabiskan banyak uang untuk mendukung pembangunan infrastrukturnya.
“Pada penghujung 2019 ini banyak masalah keuangan yang dihadapi, baik pemerintah maupun swasta, baik BUMN maupun taipan, baik bank maupun non bank. Masalah terbesar datang dari pelemahan harga komoditas batubara, minyak, CPO, yang menybebabkan penerimaan negara maupun peneriman taipan merosot tajam, Sementara kewajiban kian membengkak dan tak termpuni. Inilah akibat perjanjian pesugihan yang dilakukan oligarki taipan yang akhirnya mengorbankan bangsa, negara dan rakyat,” tuntasnya. (ach/sle)
Editor: Eriec Dieda