Seekor Kucing Berluka – Cerpen Senja Embara

Kamuflase Kucing Ajaib/ Foto via London Media

Kamuflase Kucing Ajaib/ Foto via London Media

NUSANTARANEWS.CO – Setidaknya aku patut bersyukur karena berakhir di sini. Sebuah tempat yang sepanjang hari beraroma C6H5OH atau bisa kita sebut karbol. Beruntungnya, aku mendapatkan tempat dekat jendela sehingga bisa leluasa melihat rutinitas di jalan raya. Aku mengatakan beruntung karena ini bukanlah pilihan.

Kau tahu, aku kerap tidak menempati kursiku dalam perjalanan kereta api hanya karena ingin sekadar duduk dekat dengan jendela. Lalu aku beranjak setelah diusir oleh orang yang seharusnya berada di tempatku. Dan aku akan mencari tempat lain untuk di usir lagi dan lagi.

Tetapi, ini berbeda. Aku tidak bisa pindah tempat seenaknya di sini. Kecuali aku bisa berjalan dari ranjang satu ke ranjang lain, lalu kembali ke tempatku sebelum manusia-manusia putih itu datang.

Mereka memang baik. Bahkan kelewat baik untuk seseorang yang tak pernah saling kenal sebelumnya. Namun aku tidak ingin berlama-lama dengan mereka. Kalau perlu, tidak berurusan dengan mereka selamanya.

Bertahun-tahun mendatang, aku pasti benar-benar bosan dengan senyum-senyum mereka. Padahal, ini masih hari ke delapan. Dan, aku telah mendapat pesan yang menohok dari seekor kucing di hari ke dua.

Kucing itu berjalan di ujung jalan. Dari sudut pemandangan yang bisa kutangkap dari sini setiap hari. Tubuhnya mengerikan. Maksudku, cukup parah untuk luka-lukanya. Sebagian kulit di punggungnya terkelupas. Sebagian bulunya juga masih basah oleh darah. Dan dia masih terus berjalan meski pincang. Mungkin dia baru tertabrak sepeda motor.

Setidaknya, kucing itu tidak lebih baik dari posisiku. Mungkin beberapa tulangnya juga patah. Kuakui, aku iri padanya. Hidup di bawah bebasnya langit dan satu-satunya administrasi yang berlaku adalah hukum rimba. Di sisi lain, aku berani bertaruh jika aku berada di posisinya, aku tak akan mampu hidup lebih dari semalam.

Bagaimana tidak, keadaannya yang demikian tidak memberikan libur untuknya. Dia masih harus mencari makan sendiri dan membiarkan lukanya sembuh dengan sendirinya pula. Kecuali jika kau cukup baik hati untuk mengadopsinya atau sekadar memberinya makan dan kalau perlu, kau bisa membujuk tikus-tikus untuk menyerahkan diri. Mudah bukan?

Kira-kira semudah seseorang mengucapkan bahwa hidup adalah pilihan. Memang iya, hidup adalah pilihan. Tetapi tidak berlaku mutlak. Kita tentu tidak bisa memilih untuk terlahir sebagai kucing atau tikus, secara harfiah maksudnya. Juga tidak bisa memilih siapa orang tua kita dan tentunya tak seorang pun mau memilih untuk menjalani posisiku. Jika ada, berarti ada kelainan di otaknya.

Di sini, posisiku tidak lebih baik dari burung-burung yang terkurung. Mereka masih bisa menjalankan hobinya meski dalam sangkar sementara aku harus libur panjang.  Mungkin sangat panjang atau bahkan harus pensiun dari dunia sepak bola. Ini tidak terlalu buruk. Masih banyak orang-orang di luar sana yang kondisinya tak bisa diceritakan, sebagian malah kehilangan nyawa pada kasus yang sama di jalan raya.

Terlepas dari bagaimana keadaanku, adalah fakta bahwa kondisi kucing itu lebih buruk dariku. Ya, kucing berluka itu terlihat lagi. Warna hitamnya tak mampu menyembunyikan luka yang didera. Dan dia masih mencoba berjalan. Itu hebat.

Mungkin sebagian dari kita yang menjumpai seseorang dari hitungan minggu, bulan ataupun tahun dengan kondisinya yang nyaris sama, akan kita anggap biasa saja. Suatu misal jika kita menjumpai si A dengan berat badannya 45 kilo, lalu kita menjumpainya di tahun depan dengan berat badan yang sama. Biasa saja bukan? Padahal, kita tak pernah tahu bagaimana setiap detik yang menyedihkan itu dijalani. Detik-detik yang melaju berbeda antara detik di lapangan hijau dan detik di kursi penonton.

Tentu kita tak perlu menunjukkan betapa kuatnya kita dalam menjalani detik-detik yang menyedihkan itu. Dan rasanya, tak perlu juga untuk menunjukkan betapa rapuhnya kita dengan menuliskan narasi kesengsaraan di media sosial untuk menarik simpati. Percayalah, setiap kepala mempunyai beban tersendiri. Sebagian malah sudah muak dengan masalahnya sendiri sampai-sampai tak sempat peduli untuk masalah orang lain. Setidaknya, ada sebuah proses yang berlangsung seumur hidup. Pendewasaan.

Di luar sedang gerimis sementara aku hanya berbaring sambil menatap jendela kaca. Mengamati dari keajuhan. Aku tak tahu betapa perihnya luka menganga yang harus ditanggung si kucing ketika tersiram asamnya gerimis. Juga bagaimana dia bertahan di dinginnya malam dan bagaimana dia mendapatkan makan. Yang jelas, kucing itu tengah berjuang untuk hidupnya. Perjuangan dengan arti sesungguhnya. Dan pastinya, orang-orang putih yang telah berbaik hati padaku sedari hari pertama di sini, belum tentu mau berbaik hati pada kucing itu.

Untuk kucing berluka, maafkan aku. Aku memang payah karena hanya sanggup berkata, “Semoga kau segera baik-baik saja.” []

Senja Embara

*Senja Embara nama lain dari Sulthonul Arifin. Kelahiran Kediri, 14 Januari 1992. Karya-karya si pecandu aksara termaktub dalam antologi cerpen bersama dan tersiar di media online. Mukim di Tulungagung dan tercatat sebagai mahasiswa aktif prodi PAI Pascasarjana IAIN Tulungagung

Exit mobile version