NUSANTARANEWS.CO – Sebuah remote bom tersembunyi di saku celanaku. Di kursi nomor 100 dan 99 tertanam sebuah bom yang berdaya ledak tidak seberapa, hanya cukup buat membunuh satu orang. Di Ruang Rapat Negara ini, kedua target pembunuhanku duduk di deretan kursi terbelakang, bersebelahan, tepatnya di dua kursi yang kusebut barusan—berkat pengaturan seorang teman—sedangkan aku duduk di kursi nomor 1.
“Kerugian negara kita meningkat lima puluh persen dari tahun lalu,” ucap Pak Presiden di podium. “Dan, kerugian sebesar lima puluh persen itu berasal dari dalam.”
***
Target pertamaku: Mawar. Ia duduk di kursi nomor 100. Kau tidak akan mengetahui detail dari pemikiran wanita berusia 26 tahun itu. Tapi kau akan dengan sangat mudahnya mencium aroma tengik jika berada di dekatnya.
“Apakah ia bau badan?” tanyamu dalam benak.
Tidak. Badannya bersih dan selalu disentuh parfum mahal. Asal kau tahu, badan itu pun luar biasa bagus bentuknya—aku tidak akan menolak andai diizinkan untuk menjilat atau menyentuhnya.
“Lalu, dari manakah asalnya aroma tengik itu?” tanyamu lagi.
Aroma tengik itu berasal dari pikirannya. Ya, pikirannya!
Target keduaku: Duri. Ia duduk di kursi nomor 99. Ia adalah seorang pria berusia 28 tahun yang (hanya) pandai memberi motivasi dan nasihat. Berkat motivasi-motivasi dari Duri, Mawar jadi begitu bersemangat untuk melakukan kebusukan-kebusukan—tetapi Duri tidak mau ikut berbuat busuk apabila secara langsung. Berkat mengikuti nasihat-nasihat dari Duri, Mawar selalu berhasil melakukan kebusukan-kebusukannya itu dengan begitu mulus, tanpa jejak sama sekali—sehingga aku yang mengetahui kebusukan-kebusukan tersebut taklah bisa melapor pada pihak yang berwenang karena tak mempunyai satu pun bukti yang cukup kuat.
Sayangnya, aku hanya bisa membunuh satu di antara mereka berdua. Kalau kau mau tahu alasannya, akan kujelaskan sesederhana yang kubisa: Pada remote bom ini terdapat dua tombol, yaitu tombol merah—terhubung dengan bom di kursi nomor 99—dan tombol biru—terhubung dengan bom di kursi nomor 100. Cukup dengan menekan salah satu tombol saja, energi baterai remote ini akan habis, sehingga tombol mana pun yang kutekan selanjutnya tak akan bekerja. Mengganti baterai remote ini sungguhlah rumit dan memakan waktu kira-kira … hmmm … paling cepat lima menit. Oleh sebab itulah strategi mengganti-baterai-secepat-mungkin sangatlah tidak tepat karena begitu satu bom meledak—salah satu targetku mati—orang-orang lain di ruangan ini, termasuk targetku yang satu lagi, pasti akan panik dan berlarian keluar tanpa sudi menunggu sampai lima menit.
Kalau kupikir-pikir, sebetulnya bisa saja aku membunuh mereka berdua, secara bersamaan, hanya dengan meledakkan salah satu bom. Tapi bom itu harus kuledakkan di momen yang tepat. Misalnya, aku meledakkan bom di kursi yang diduduki oleh Duri tepat ketika Mawar sedang mencongdongkan tubuhnya ke arah pria berusia 28 tahun itu, mungkin untuk membisikkan sesuatu atau apalah—berlaku pula sebaliknya. Kalaupun orang-yang-mencondongkan-tubuh itu tak turut mati, setidaknya ia pastilah terluka. Tapi momen semacam itu belum tentu tiba, bukan?
Jadi, menurutmu, seandainya momen-yang-kunanti itu tidak akan tiba dan aku hanya bisa membunuh salah satu dari mereka, siapakah yang mesti kubunuh?
Seandainya aku membunuh Mawar, Duri bisa memotivasi orang lain untuk melakukan kebusukan-kebusukan sekaligus memberinya nasihat-nasihat sehingga aksi busuk orang lain itu berjalan dengan begitu mulus. Kalau Duri yang kubunuh, Mawar tetap bisa melanjutkan kebusukan-kebusukannya dengan menjadikan nasihat-nasihat yang pernah Duri lontarkan sebagai pedoman—kuyakin bahwa Mawar taklah pandai memotivasi orang lain untuk melakukan kebusukan-kebusukan, apalagi memberikan orang lain nasihat.
Kalau aku berhasil membunuh salah satu target pembunuhanku, apa aku mesti menunggu kesempatan lain untuk membunuh yang satu lagi, sementara kesempatan lain
itu belum tentu ada? Apalagi, ini adalah kesempatan emas yang paling emas karena aku bisa membunuh tanpa diketahui oleh “pihak yang tak perlu tahu” sehingga aku jauh dari jangkauan penjara.
Ayolah, Otak! Berpikir! Berpikir!
Tiba-tiba ponselku bergetar. Ada sebuah pesan singkat yang masuk, dari seorang teman. Pesan singkat itu berbunyi:
Ada sebuah bom yang ditanam di kursimu. Tapi tenanglah, Kawan, karena bom itu hanya akan meledak kalau kau membaca pesan singkat ini.
*Surya Gemilang lahir di Denpasar, 1998. Kumcer pertamanya berjudul Mengejar Bintang Jatuh (2015). Puisinya Meraba Jejak-jejak Hutan mendapat reward satu puisi terpilih Poetry Prairie Literature Journal #2. Puisinya My Family in Three Parts menjadikannya Poet of the Week di Poetry Super Highway. Karya-karya tulisnya yang lain tergabung dalam beberapa antologi dan sejumlah media massa.
_____________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: selendang14@gmail.com.