Sebelum Kau Panggil Ia Ibu
Langit ikut bersaksi, singkir seluruh awan menghalangi
Kala satu nyawa menggerang, demi pinang dua raga
Tak gentar walau beranda tuhan tidak jauh terpampang
Gamang kembali pulang,
tak berani hadir
Jika hanya karena luka yang mulai ukir
Memanggil azrail untuk sekadar mampir
Hingga terdengar isak tangisan
Tersedu air mata yang sedari tadi tertahan
Hidup biarlah hanya sebatas angan
Annuqayah, 2016
Lantaran Ia Pergi
-almarhum
Burung tak lagi bernyanyi
Mengarak pohon yang tak acuh tuk menari
Hanya sunyi penjara suci
Hanya isak cakrawala menemani, derai membanjiri
Bumi mungkin siap menghaturkan raga
Namun gamam kami pasrah pada mungkar nakir
Mengaraknya dengan tanya penuh tubir
Membuatku tak mau pulang
Hingga jibril datang
Membawa jiwa yang hilang
Annuqayah, 2016
Terlambat Waktuku
Aku terlahir kala agung telah segan bertandang
Pada persemayaman yang dulunya menjadi rebutan
Bunga musim semi, mabukkan kumbang-kumbang
Kini hanya sebatas sarang dendam
Ulah mereka yang begitu serakah
Seakan dunia akan berhenti saat mereka mati
Batang-batang 2015
Sudikah Kiranya
Maaf atas petaka yang kami haturkan
Padahal suka duka kalian tetap datang
Tapi hanya asap hutan yang disuguhkan
Jikalau tebusan dibutuhkan
Janganlah tanah kami kalian tenggelamkan, biar nyawa yang menjadi ganti
Telah pada hina di mata pendahulu
Yang telah terbujur kaku mengangkis negeri dari perbudakan pilu
Berjuang bertaruh nyawa menerjang segudang cita-cita
Telah pada hina di mata pendahulu
Sudikah kiranya…
Batang-batang 2015
Kemarau
Bumi kini telanjang
Entah dosa siapa
Sehingga ia merasa gerah
Retak sekujur, lapuk oleh duka
Entah dosa siapa
“Semoga tuhan membuat langit tersedu dalam isakan”
Annuqayah 2016
Penghujan
Jika kau bertanya
Yang lebih tampan dari pangeran
Yang lebih ranum dari senyum
Ialah bumi dengan jubah hijau kembali
Meredam kutukan mentari pada takdir kami
Walau agung langit harus tersedu-sedu
Demi runtuh dahaga pejuru
Berbahagialah jati, tak harus menggunduli diri
Selamatlah para petani, di sawah, air mata tak lagi mengairi
Dan merdekalah burung-burung, tak bingung mencari panggung
Annuqayah 2016
Telungkup Sajak di Perut Pena I
-Teruntuk Fina Sabela
.
.
.
.
.
Seperti yang kau tatap
Sajakku telah lenyap
Annuqayah 2018
Telungkup Sajak di Perut Pena II
– Teruntuk Fina Sabela
Penakulah pencurinya!
Tak seperti digelanggang-gelanggang lain
Didekapnya diam, menunggu
Deru diri ketar ketir berpuisi
sajak terakhir bergeletakan
tercabik dalam perut pena
Padahal pikiran telah udara
Terurai pada langit siang itu
mengalun pada angin siang itu
pertemuan itu, senyum itu, siang itu
hanya tubuh yang tersisa diujung jarak
Padahal hati telah pekat rindu
Semakin lubuk setiap bertemu
Pangkas batang tak mungkin menghentikan akar
Gemericik rindu berjatuhan dijalan jalan
Moksa seluruh abjad
Mendesing bersama belaian pada pena
Barangkali kau dapat merayunya
Sebagaimana hati kau buka
Bahkan dikala aku tak sadar, hati ini punya cadar
Pintalah sajakku!
Letih hati merintih tanpa kau mengerti, tanpa kau sadari
Annuqayah, 4 juli 2017
Telungkup Sajak di Perut Pena III
– Teruntuk Fina Sabela
Sajak sajak yang tak pernah sampai
Bersemayam dalam pena, terkulai
Kau tidak perlu khawatir hana!
Tirakatku dijantung malam
Tirakatku pada pejam
Menggerus sia sia berkelindan tabu
Menghapus harus pada jalan jalan buntu
Aku sekarang sudah cerdik
Pena tak pernah kuganti
Membiarkan sajak sajak dicuri
Hakikat perut takkan bisa lari
Kelak ia akan penuh
Kelak ia akan luluh
Kelak iapun akan ketir padaku
Aku sekarang sudah cerdik
Pensil mulai ku pacu
Jika pena masih teguh, masih rusuh
Menebar pilu, memendar keluh
Tunggulah!
Kau tak perlu merayunya
Aku tak ingin kau merayu siapapun
Yakinkan saja ragumu sebelum rimbun
Seyakin kilat pada gemuruh
Seyakin cintaku padamu
Annuqayah, 11 juli 2018
Aku Menunggu di Ujung Jarak
Aku menunggu diujung jarak
Termangu, mengarak urat nadi bergelegak
Menumpuk lubuk harap terisak-isak,
Menghimpun segala rindu,
Menanti derai lerai suaramu
Aku menunggu diujung jarak
Berharap kau membunuh alunan hasrat
Membuat rindu tak hanya sekedar menunggu,
Membuat penantian tak hanya sebatas angan,
Membuat senyum tak berhenti pada belum
Angkat dulu ponselmu
Sebelum waktu kembali menculikku
Annuqayah, 12 Juli 2018
Siang Itu
Ada panas yang lebih sejuk dari dingin
Saat lesung pipimu bertamu
Merona senyummu meramu
Ialah panas siang itu
Relung waktu yg meyakinkanku
Jatuh cinta, tanpa ketir pada kata jatuh
Kau tahu? Awan tak benar benar menutupi cakrawala
Ialah panas siang itu
Kala kelebat suka dan murka menyatu pada waktu
Lantaran suguh restu pertemuan itu
Laantaran mengalun terlalu terburu buru
Menyisakan degup rindu paling kalbu
Annuqayah, Juli 2018
Mencintakulah kawan
Remang terdengar gerang gamang seseorang
Terpaku menyatu kaku batu
Gegas aku mendekat
Seraya berucap
Mencintakulah kawan!
Cintaku hujan tak berkesudahan
Benih dibawah batu jarak ini
Tanggal daun yang tak ikut menanggal
Mencintakulah kawan !
Mencintai tak lerai berai meski andai, meski landai
Meski menghilangkan aku dari diriku
Kemudian lirih ia merintih
Membuatku pergi sembari tak henti simpati
Akupun pergi sembari mengamini
Akupun pergi sembari kembali
Annuqayah, 2018
Kau Tak Berhak Ragu
Apa yang membuatmu ragu?
Sehingga teduh matamu kerontang
Padahal tak kautemukan celah padaku
Bagaimana mungkin aku abai?
Cintaku surya, tak mencipta ruang awan
Melainkan bianglala [email protected] kepastian
Deru biru tanpa tubuh
Bagaimana mungkin aku lupa?
Cintaku teduh teguh, tak butuh cinta tuk sekadar mencintaimu
Tak butuh hujan tuk sekadar rindu
Ialah gema paling sukma
Terlantar jantung, nadi terasa
Annuqayah 2018
Riwayat penulis:
Mufid Fs adalah nama pena dari M. Mufid Albarazi. Santri Annuqayah sekaligus mahasiswa INSTIK Annuqayah. saat ini aktif di Organisasi IKSTIDA, IKSABAD, PERSI dan PMII, tinggal PP An-Nuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura