Sastra dan Memori Kolektif Kita
Oleh: Muakhor Zakaria, pengamat sastra, dosen di perguruan tinggi La Tansa Mashiro, Rangkasbitung, Banten
Persoalan sejarah militerisme Indonesia di seputar tahun 1965 tak terlepas dari konteks politik pada jamannya, yang berhubungan dengan lembaga-lembaga intelijen sebagai kekuasaan dalam kekuasaan, negara dalam negara, yang bergerak di luar kontrol administrasi yang resmi.
Dalam buku Dokumen CIA (Melacak Penggulingan Soekarno) yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, Jakarta (2002) Joesoef Isak selaku mantan Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA), menyatakan dalam kata pengantarnya bahwa kekuatan intelijen di abad 20 ini telah berkembang menjadi globalisme intelijen yang terus berjalan sebagai realitas mata-rantai interaksi, koordinasi dan koneksitas induk-semang dan para abdinya.
Sedangkan di Indonesia selaku abdi-abdi lokal mereka, hendaknya jangan dianggap enteng, sebab paradigma perang dingin yang digembar-gemborkan Amerika sebagai “sudah berakhir” itu pada kenyataannya terus berjalan dan esensinya tetap valid hingga saat ini.
Deklarasi yang telah ditandatangani Presiden Amerika dan Rusia sebagai simbol berakhirnya perang dingin sebenarnya hanyalah satu dari perangkat keras perang dingin yang telah dikurangi, sedangkan perangkat-lunaknya, software-nya, state of mind-nya atau wawasan paradigmanya tetap utuh dan terus berjalan dan berpraktek hingga detik ini.
Realitas itu terefleksi sepenuhnya di pentas politik Indonesia hingga hari ini, karena segenap permesinan, aparat hingga ke sel-sel paradigma Orde Baru sebagai pengemban dan pelaksana paradigma perang dingin masih utuh kukuh dan berfungsi dalam seluruh strata kehidupan nasional kita.
Sejarah militer kita yang pernah dikendalikan Presiden Soekarno, terutama saat penumpasan RMS, PRRI-Permesta dan beberapa gerakan separatis yang bersenjata, perlu secara jujur diakui bahwa untuk mempertahankan stabilitas negara sarta mempererat kesatuan dan persatuan, memang dibutuhkan kekuatan militer.
Namun kemudian, karena pembawaan paternalisnya, Soekarno kurang menghiraukan keadaan di lapangan militer bahwa mereka – yang merasa telah berjasa itu – secara diam-diam menggalang kekuatan canggih untuk berambisi merebut kekuasaan, dan pada masanya memang tidak mau dikendalikan oleh kekuatan sipil.
Sejak berdirinya kemerdekaan RI, bila memperhatikan komentar-komentar Simatupang maupun Nasution, terbukti bahwa kedua tokoh militer itu terang-terangan merasa kesal dan jengkel kepada partai-partai politik, juga kepada laskar-laskar bersenjata dari unsur Islam, nasionalis maupun komunis. Orang-orang militer itu merasa sangat berjasa dalam mengamankan RI, sementara sikap sentimennya kepada para politisi sipil terus berkembang hingga menganggapnya sebagai pengacau-pengacau belaka.
Pada tanggal 17 Oktober 1952 gejalanya semakin menampak, terutama sewaktu para anggota dewan mempersoalkan sosok Nasution. Setelah itu meriam-meriam telah dimoncongkan ke arah Istana Negara, lalu setelah penyelesaian konfrontasi Irian Barat dan Malaysia, tentulah mereka merasa sangat berjasa hingga menuntut imbalan berlebihan kepada Presiden Soekarno.
Pada tahun-tahun itu terbukti ketika Joesoef Isak selaku Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika banyak mengadakan kunjungan ke beberapa negara, ia sempat memantau kesejahteraan para atase militer di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) begitu makmur serba kecukupan, sedangkan para pegawai-pegawai KBRI non-militer sangat minim tingkat kesejahteraan hidupnya. Dengan itu terhimpunlah pembuktian bahwa rupanya di kalangan atase militer telah mendapat jaminan untuk memperoleh jalur tersendiri dalam soal pendanaan.
Pada perkembangan selanjutnya – yang mestinya dianalisis secara cermat oleh Presiden Soekarno – ternyata kekuatan yang semula dikira progresif dan pro-rakyat itu, tahu-tahu menggalang komitmen kerjasama yang akhirnya menjelma menjadi gudang lawannya. Doktrin “tri upaya cakti” yang mereka agendakan sebetulnya adalah ancang-ancang strategis untuk melawan pemerintahan Soekarno.
Dalam hal ini Soekarno kurang mengantisipasi kekuatan faksi-faksi militer yang merongrong, bahkan individu-individu yang lihai dan cerdik, yang terus-menerus mengintai kursi kekuasaan. Ternyata sikap paternalisnya Soekarno yang menganggap bahwa semua militer adalah anak-anak buahnya, kurang sanggup memilah-milah kekuatan progresif di kalangan mereka yang mau diajak kerjasama dalam menyuarakan aspirasi serta menyelenggarakan kemakmuran dan keadilan bagi segenap rakyat.
Kalau saja Soekarno berhasil membangun militer yang progresif dan pro-rakyat, maka sampai sekarang tak perlu masyarakat Indonesia menjadi apatis terhadap militer, berikut slogan-slogan yang diciptakan oleh mereka. Tapi karena disebabkan kelengahan tersebut, para militer kita – khususnya semasa Orde Baru Soeharto – selaku aparat-aparat yang notabene digaji oleh negara dan dibiayai oleh rakyat, justru telah bertindak sebaliknya.
Selama puluhan tahun mereka menyelenggarakan ketidakadilan dan kesewenangan yang apabila kelakuan dan kerjaan mereka tiada lain selain merugikan rakyat, maka tentulah mereka akan berhadap-hadapan terus dengan kekuatan rakyatnya sendiri.
Tentang persoalan ini dapat tergambar jelas karakteristik militerisme Indonesia dalam novel yang pernah ditulis seorang warga Banten (Pikiran Orang Indonesia), yakni situasi politik dan kekisruhan 1965 serta peristiwa-peristiwa yang terus menyertainya hingga hari ini. Peristiwa penting itu selama ini didiamkan, seakan sulit untuk dibahasakan oleh para sastrawan kita (kecuali Pramoedya).
Kini dengan bahasa yang lugas dan sederhana, kita dipandu untuk memasuki memori kolektif kita semua, suatu perpaduan antara fakta dan fiksi yang disampaikan secara apik, demi tegaknya nilai-nilai kebenaran dan keadilan.