Gaya HidupPuisiTerbaru

Sajak Rendra Menggedor Penguasa: Kesaksian Akhir Abad

Sajak Rendra Menggedor Penguasa: Kesaksian Akhir Abad
Sajak Rendra Menggedor Penguasa: Kesaksian Akhir Abad

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sajak Rendra menggedor penguasa: Kesaksian Akhir Abad. Di masa hidupnya Rendra, si Burung Merak selalu lantang menulis sajak untuk membela kebenaran dan melawan ketidakadilan dengan memprotes sistem pemerintahan. Untuk itu redaksi nusantaranews.co tidak akan pernah bosan menampilkan sajak-sajaknya yang begitu menggugah dan melintasi zaman. Kali ini redaksi kembali menampilkan sajaknya “Kesaksian Akhir Abad”.

 

Kesaksian Akhir Abad

 

Ratap tangis menerpa pintu kalbuku.

Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.

O, tikar tafakur !

O, bau sungai tohor yang kotor !

Bagaimana aku akan bisa

membaca keadaan ini?

 

Di atas atap kesepian nalar pikiran

yang digalaukan oleh lampu-lampu kota

yang bertengkar dengan malam,

aku menyerukan namamu:

Wahai, para leluhur Nusantara!

 

O, Sanjaya !

Leluhur dari kebudayaan tanah!

O, Purnawarman!

Leluhur dari kebudayaan air!

Kedua wangsamu telah mampu

mempersekutukan budaya tanah dan air!

 

O, Resi Kuturan ! O, Resi Nirarta !

Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!

Telah kamu ajarkan tatanan hidup

yang aneka dan sejahtera,

yang dijaga oleh dewan hukum adat.

O, bagaimana mesti aku mengerti

bahasa bising dari bangsaku kini ?

 

O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi !

Negarawan yang pintar dan bijaksana !

Baca Juga:  Rahmawati Zainal Peroleh Suara Terbanyak Calon DPR RI Dapil Kaltara

Telah kamu ajarkan aturan permainan

di dalam benturan-benturan keinginan

yang berbagai ragam

di dalam kehidupan:

Ade, bicara, rapang, dan wari.

 

O, lihatlah wajah-wajah berdarah

dan rahim yang diperkosa

muncul dari puing-puing tatanan hidup

yang porak-poranda.

Kejahatan kasat mata

tertawa tanpa pengadilan.

Kekuasaan kekerasan

berak  dan berdahak

di atas bendera kebangsaan.

 

O, anak cucuku di jaman cybernetic !

Bagaimana akan kalian baca

prasasti  dari jaman kami ?

Apakah kami akan mampu

menjadi ilham kesimpulan

ataukah kami justru

menjadi sumber masalah

di dalam kehidupan?

 

Dengan puisi ini aku bersaksi

Bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.

Rakyat yang tanpa hak hukum

bukanlah rakyat merdeka.

Hak hukum yang tidak dilindungi

oleh lembaga pengadilan yang mandiri

adalah hukum yang ditulis di atas air !

 

Bagaimana rakyat bisa merdeka

bila polisi menjadi aparat pemerintah

Dan tidak menjadi aparat hukum

yang melindungi hak warga negara ?

 

Bagaimana rakyat bisa merdeka

bila birokrasi negara

tidak menjadi abdi rakyat,

melainkan menjadi abdi

pemerintah yang berkuasa?

 

Bagaimana rakyat bisa merdeka

bila  hak pilih mereka dipasung

tidak boleh memilih secara langsung

wakil-wakil mereka di dewan perwakilan,

dan juga tidak boleh memilih secara langsung

Baca Juga:  Pilih Jajuk Rendra Kresna di Pileg, Inilah Pilihan Caleg Emak-Emak di Malang

camat mereka, bupati, walikota, gubernur,

dan presiden mereka?

 

Dan partai-partai politik

menganggap rakyat hanya abdi partai

yang dinamakan masa politik partai!

Atau kawula partai!

 

Bagaiman rakyat bisa merdeka bila  pemerintah melecehkan perdagangan antardaerah

dan mengembangkan merkantilisme Daendels

sehingga rela menekan kesejahteraan buruh,

petani, nelayan, guru

dan serdadu berpangkat rendah?

 

Bagaimana rakyat bisa merdeka

bila  propinsi-propinsi sekedar

menjadi tanah jajahan pemerintah pusat?

Tidak boleh mengatur ekonominya sendiri,

tatanan  hidupnya sendiri,

dan juga keamanannya sendiri?

 

Ayam, serigala, macan, ataupun gajah,

semuanya peka pada wilayahnya.

Setiap orang juga ingin berdaulat

di dalam rumahtangganya.

Setiap penduduk ingin berdaulat

di dalam kampungnya.

Dan kehidupan berbangsa

Tidak perlu merusak daulat kedaerahan.

 

Hasrat berbangsa dan naluri rakyat

untuk  menjalin ikatan dayacipta antarsuku,

yang penuh keanekaan kehidupan,

dan memaklumkan

wilayah pergaulan yang lebih luas

untuk merdeka bersama.

 

Tetapi lihatlah selubung kabut saait ini !

Penjajahan tatanan uang,

penjajahan modal,

penjajahan kekeraan senjata,

dan penjajahan oleh partai-partai politik,

masih merajalela di dalam negara !

 

Dengan puisi ini aku bersaksi

bahwa sampai saat puisi ini aku tandatangani

para elit politik yang berkedudukan

ataupun yang masih berjalan,

tidak pernah memperjuangkan

sarana-sarana kemerdekaan rakyat.

Baca Juga:  Mantan Komandan NATO Menyerukan untuk Mengebom Krimea

Mereka hanya rusuh dan gaduh

memperjuangkan kedaulatan

golongan dan partainya sendiri.

Mereka hanya bergulat untuk posisi sendiri.

Mereka tidak peduli kepada posisi hukum,

posisi polisi, ataupun posisi birokrasi.

Dengan picik

mereka  akan mendaur-ulang

malapetaka bangsa dan negara

yang telah terjadi !

 

O, Indonesia ! Ah, Indonesia !

Negara yang kehilangan makna !

Rakyat sudah dirusak tatanan hidupnya.

Berarti sudah dirusak dasar peradabannya.

Dan akibatnyta dirusak pula kemanusiaannya.

Maka sekarang negara tinggal menjadi peta.

Itupun peta yang lusuh

dan  hampir sobek pula.

 

Pendangkalan kehidupan bangsa telah terjadi.

Tata nilai rancu.

Dusta, pencurian, penjarahan,

dan kekerasan halal.

Manusia sekedar semak belukar

yang  gampang dikacau dan dibakar.

Paket-paket pikiran mudah dijajakan.

Penalaran amanah yang salah

mendorong  rakyat terpecah belah.

 

Negara tak mungkin kembali diutuhkan

tanpa  rakyatnya dimanusiakan.

Dan manusia tak mungkin menjadi manusia

Tanpa dihidupkan hatinuraninya.

 

Hatinurani adalah hakim adil

untuk diri kita sendiri.

Hatinurani adalah sendi

dari kesadaran

akan kemerdekaan pribadi.

 

Dengan puisi ini aku bersaksi

bahwa  hatinurani itu meski dibakar

tidak bisa menjadi abu.

Hatinurani senantiasa bisa bersemi

meski  sudah ditebang putus di batang.

Begitulah fitrah manusia

ciptaan  Tuhan Yang maha Esa.

 

31 Desember 1999, Candi Ceto
6 Nop 2001, Balikpapan

(Red)

Related Posts

1 of 3,053