Oleh: Suroto, Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)
NUSANTARANEWS.CO – Pada tanggal 26 Agustus mendatang, Pemerintah dan Parlemen berencana akan melakukan Rapat Kerja untuk membahas draft final RUU Perkoperasian yang selama ini telah digodok di tingkat Panitia Kerja di Parlemen.
Namun, mencermati RUU yang ada ternyata isinya telah banyak melanggar hal-hal prinsip yang penting bagi koperasi.
Contoh hal prinsipnya adalah adanya pemaksaan untuk menjadikan Dewan Koperasi Indonesia ( DEKOPIN ) sebagai wadah tunggal organisasi sebagaimana disebut dalam pasal 130.
Disebut lebih lanjut bahwa koperasi wajib membayar iuran untuk Dekopin secara wajib (pasal 82 huruf h dan pasal 132) selain pendanaan dari sumber dana pemerintah melalui alokasi APBN dan APBD (pasal 133), dan pengembangan dana pembangunan untuk Dekopin.
Jadi, begitu RUU ini nanti disyahkan, maka semua koperasi harus membayar setoran kepada Dekopin yang sebetulnya selama ini juga tidak ada manfaatnya organisasi ini.
Tunggalisasi wadah gerakan koperasi secara langsung bertentangan dengan Konstitusi kita. Sebab pasal 28 D UUD 45 secara tegas memberikan jaminan kebebasan bagi setiap orang untuk berserikat dan berkumpul.
Selain itu, dengan adanya pemaksaan wadah tunggal ini akan memperparah gerakan koperasi karena mengancam bagi kemandirian dan keberlanjutan gerakan koperasi.
Posisi Dekopin sebagai wadah tunggal dan tidak dieksplisitkan di UU saja selama ini sudah membunuh dinamisasi koperasi.
Dekopin ini sudah jadi organisasi yang lebam yang urusanya sebetulnya bukan memikirkan kepentingan gerakan. Lihat saja ketika orang gerakan koperasi di akar rumput melakukan advokasi di Mahkamah Konstitusi untuk uji materi UU No. 17 Tahun 2012 yang telah dibatalkan itu, posisi Dekopin waktu itu malahan membela habis-habisan UU tersebut.
Organisasi gerakan koperasi yang berkembang dengan baik di seluruh dunia itu bersifat alamiah yang ditumbuhkan dari bawah sebagai kebutuhan dan mandiri.
RUU ini sepertinya bukan disusun berdasarkan best practices tapi justru memperkuat model yang selama ini sebetulnya sudah gagal.
Mustinya DEKOPIN itu ya disamakan saja seperti Ormas lainya kalau mau hidup dan bermanfaat bagi anggotanya. Daftar di Kemenkumham dan biayai dirinya sendiri. Ini bukan jaman dulu lagi.
Ajak anggotanya untuk membayar iuran seacara sukarela bukan dipaksa lewat Undang-Undang. Barulah dia akan mampu mengemban tugas ideologisnya untuk membangun demokrasi ekonomi karena memang sunguh,sungguh dibutuhkan anggotanya.
RUU Perkoperasian Ditengarai Jadi Rompi Pengaman Kepentingan Proyek Elitis
Koperasi secara filosofi itu adalah organisasi yang mengatur dirinya sendiri ( self regulated organization). Sebab koperasi itu bekerjanya dilandasi oleh nilai-nilai dan prinsip.
Jadi UU yang benar tidak perlu mengatur-atur sampai mendalam ke urusan rumah tangga mereka. Prinsip dan nilai koperasi serta anggaran dasar koperasinya yang bakk cukup direkognisi dan kemudian dijaga kepentingan publiknya saja.
RUU Perkoperasian yang ada saat ini banyak mengintervensi dan mengatur-atur koperasi sampai ke dalam itu justru merusak jatidiri koperasi itu sendiri. Bahkan saya melihat banyak pasal yang dijadikan sebagai rompi pengaman kepentingan elit untuk menjadikanya sebagai ” proyek”.
Dalam RUU tersebut berpotensi jadikan koperasi sebagai alat pembangunan seperti jaman Orde Baru.
Sebut misalnya menambah birokratisasi dalam proses pendirianya (pasal 11), mengintervensi perencanaan kerja koperasi (pasal 77, 78,79,80) sampai atur-atur alokasi hasil usaha koperasi (pasal 87) yang seharusnya menjadi urusan internal koperasi.
Hal-hal yang krusial seperti misalnya pemberian distingsi seperti pembebasan pajak ( tax free) bagi koperasi malah tidak diatur. Padahal di negara lain termasuk negara tetangga kita Singapura misalnya, koperasi diberikan kebebasan pajak.
Satu koperasi besar yang namanya NTUC Fair Price di Singapura itu saat ini kuasai pasar ritel sampai 74 persen. Tapi dari sejak awal berdiri sampai sekarang diberikan pembebasan pajak ( tax free) karena itu hak moralnya. Sebab koperasi itu dalam sistemnya sudah menjalankan prinsip keadilan pajak itu sendiri karena telah mendiatribusikan pendapatan dan kekayaan kepada masyarakat.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidangnya di Afrika Selatan akhir tahun 2016 mengakui koperasi sebagai gerakan otonom untuk menolong diri sendiri melalui cara kerjasama diantara anggotanya itu sebagai warisan bukan benda (intangible herritage) dunia. Definisi koperasi menurut International Cooperative Aliance ( ICA ) juga tegas menyebut sebagai organisasi otonom.
RUU ini kontradiktif dan berpotensi mengakibatkan ketidakpastian hukum. Sebab nilai otonominya di pasal lain diakui, tapi di batang tubuhnya diintervensi sampai mendalam.
Kita juga dapat belajar dari masa lalu, koperasi itu kehilangan kemandirian dan prakarsanya karena terlalu banyak diintervensi dan diberikan banyak fasilitas.
Sebut misalnya Koperasi Unit Desa (KUD) di masa Orde Baru yang banyak diberikan fasilitas. Tapi begitu reformasi dan semua fasilitas itu dicabut ternyata tidak memiliki kemampuan untuk merespon pasar dan apalagi sebagai organisasi mandiri yang berkelanjutan.
RUU Perkoperasian yang ada juga ditempatkan sebagai lembaga koperasi itu inferior dengan diposisikan sebagai badan hukum kelas dua.
Dalam pasal 122 misalnya disebut koperasi hanya dijadikan sebagai tempat penyaluran laba BUMN dan BUMD. Ini namanya menghina Koperasi. Kalau mau bener sesuai amanat Konstitusi itu harusnya Koperasi disejajarkan menjadi badan hukum BUMN atau BUMD.
Ini namanya penghinaan terhadap Konstitusi yang menyebut bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi itu koperasi. Ini juva diskriminatif. Koperasi itu badan hukum yang diakui oleh negara seperti Perseroan, Yayasan maupun Perkumpulan.
Praktek membuktikan, bahwa koperasi ternyata sukses menjadi badan hukum bagi penyelenggaraan layanan publik. Sebut saja misalnya di Amerika Serikat yang banyak dituduh sebagai negara kapitalis.
Disana, satu koperasi listrik yang bernama National Rural Electricity Co-operative Asociation (NRECA) yang menjadikan pelanggan sebagai pemilik perusahaan listrik mereka sendiri beroperasi di 46 negara bagian Amerika Serikat dan masif ada di desa-desa. Jaringan rumah sakit terbesar di kota Washington yaitu Group Health Co-operative (GHC) ternyata adalah juga koperasi milik warga kota mereka.
Saya melihat paradigma penyusun RUU ini sudah keblinger. Seperti misalnya posisikan koperasi hanya sebagai penerima akses kredit dari perbankkan (Pasal 123). Pelecehan ini namanya.
Masalahnya selama ini kelembagaan keuangan koperasi itu kalah jauh dengan perbankkan swasta dan milik negara karena mereka tidak dijamin melalui lembaga penjaminan, dieliminasi dari UU Bank Indonesia dan UU Perbankkan. Tidak pernah diberikan privelege kebijakan yang sama seperti kebijakan talangan (bail out) ketika hadapi krisis , tidak diberikan dana penempatan pemerintah, subsidi bunga bagi bank, dan lain sebagainya kok.
Kalau diposisikan dan diperankan sama, Koperasi Desjardins Group di Canada misalnya, bisa jadi bank terbaik disana. Bahkan assetnya bisa 4 kali lipat BRI dan dimiliki jutaan anggotanya.
RUU ini sengaja mengkerdilkan koperasi melempar koperasi keluar dari lintas bisnis modern. RUU ini harus dikoreksi secara mendasar. (*)