Ekonomi

Rocky Gerung Tegaskan Tak Ada Nasionalisme Dalam HoA Freeport

Rocky Gerung (Foto Dok. Nusantaranews/Adhon)
Rocky Gerung (Foto Dok. Nusantaranews.co/Adhon)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sejak diumumkan penandatanganan perjanjian Head of Agreement (HoA) tentang pengelolaan PT Freeport, pada 12 Juli 2018 lalu hingga detik ini, Minggu, 25 November 2018, belum ada sepeser rupiah pun uang yang dibayarkan PT. Inalum sebagai perwakilan pemerintah kepada Rio Rinto. Mengapa?

Pengamat politik Rocky Gerung menjelaskan karena di dalam HoA itu tidak ada konsekuensi hukum, sebagaimana di dalam perjanjian hukum pidana. Rocky bertanya, “Ada konsekuensi hukum gak Head of Agreement? Kan gak ada,” kata Rocky Gerung saat ditemui di kawasan Menteng, Jumat malam (23/11/2018). “Lalu kenapa tanya negara belum bayar? Karena gak ada konsekuensi hukum,” tegasnya.

Dirinya menjelaskan, Head of Agreement ini acuannya pada hukum internasional. Pada hukum perdata di Indonesia, HoA tidak ada acuannya. “Jadi kalau gagal di tingkat internasional ya pasti dibatalin,” ungkapnya.

Ia kemudian menambahkan, apakah di dalam perjanjian HoA Freeport itu ada ‘nasionalisme’? Dimana pemerintah mempunyai kewenangan menentukan kebijakan absolut? Rocky menegaskan, “Gak ada nasionalisme di situ. Karena dalam perjanjian perdata hanya ada dua pihak. Pihak itu Indonesia dan Rio Tinto,” ujarnya.

Baca Juga:  Bapenda Tulungagung Berikan Apresiasi Pada Wajib Pajak di TAX AWARD 2024

Baca Juga:
Saham Freeport Belum Dibayar Se-Rupiahpun, Rocky Gerung: Hmmm lagi..

Lantas apakah Indonesia dalam kapasitasnya di perjanjian ini bisa disebut sebagai ‘negara’? Rocky mengatakan, “Bukan!”

“Jadi di dalam hukum perjanjian perdata itu tidak ada istilah negara. (Yang ada hanya) part atau pihak. Kebetulan namanya pemerintah Indonesia, tapi ia pihak doang. Jadi kalau di pengadilan? Ya sama sama setara mereka. Bukan negara lebih tinggi. Itu dalam hukum perdata internasional,” terangnya.

Pertanyaanya kemudian, “Kan pemerintah kuat! Kuat dimana?” tanya Rocky. Ia menjelaskan, dalam perjanjian internasional itu pemerintah adalah part (pihak). “Sama dengan teroris (adalah) part. Kalau teroris berunding, ya dia part, bukan negara. Kok teroris bisa setara dengan presiden Amerika? Enggak! Dua duanya part. Pihak gitu! Pihak ini dengan pihak itu,” jelasnya.

Baca Juga:
Guru Besar UI Minta Publik Tak Terjebak Eforia Soal Divestasi Freeport

Nah dalam kasus Freeport yang selama ini digembar gemborkan tentang HoA oleh pemerintah, kata Rocky menjelaskan, “Ya itu, kekacauannya di situ.”

Baca Juga:  Panen Bunga Sedap Malam di Pasuruan, Khofifah Sebut Petani Milenial Jatim Tertinggi di Indonesia

“Orang menganggap Indonesia sebagai negara akan bikin perjanjian dengan Rio Tinto sebagai perusahaan. Gak! Dua duanya hanya sebagai pihak tok. Lain kalau perjanjiannya pidana, itu baru negara bisa berfungsi sebagai kekuasaan. Tapi dalam perjanjian dagang, gak ada. Karena itu pemerintah bisa digugat arbitrase sama seperti perusahaan biasa digugat disitu. Statusnya sama gitu,” ujarnya.

Jadi ia menegaskan tidak ada nasionalisme dalam kasus perjanjian Freeport. “Mana ada orang berbisnis ada nasionalisme. B to G, memang disitu ada B itu business dan G adalah government. tapi government di situ adalah party. Party versus party. Bukan nasionalisme. Gak ada nasionalisme dalam perjanjian. Nasionalisme tidak bisa diperjanjikan,” katt Rocky.

Rocky menegaskan, perjanjian perdata itu setara, namun dalam pidana boleh tidak setara. “Namanya juga perjanjian perdata. Perdata artinya, saya dan maling setara. Saya gak bisa bilang maling sama dia. Saya mau trade dengan dia. Saya dengan presiden setara, perdata, bisnis. B dan G itu istilah, bukan di dalam G ada nasionalisme,” tandasnya.

Baca Juga:  Kapal Cepat Sirubondo-Madura di Rintis, Ekonomi Masyarakat Bisa Naik

Pewarta: Romandhon

Related Posts

1 of 3,050