NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial atau LP3ES melakukan riset dalam dialog publik bertajuk Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia. Berdasarkan hasil risetnya, LP3ES menyebut saat ini Indonesia sedang mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan.
“Kita mengalami situasi krisis suara kritis kepada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil dari mulai LSM, kampus, media dan mahasiswa telah merapat dengan kekuasaan atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi menghindari ‘stigma’ berpihak kepada kelompok intoleran yang anti Pancasila dan anti demokrasi,” ujar Associate Director, LP3ES Center for Media and Democracy, Wijayanto dikutip dalam keterangan tertulisnya, Jum’at (2/8/2019).
Dirinya menambahkan, situasi tersebut sedikit banyak disebabkan oleh adanya polarisasi politik yang tajam, sehingga membelah Indonesia menjadi dua kubu. Dimana membuat setiap suara yang anti pemerintah segera dikelompokkan ke kubu anti pemerintah.
“Padahal absennya suara kritis adalah kehilangan besar untuk demokrasi yang mebutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontol kekuasaan,” sambungnya.
Baca Juga: Indeks Demokrasi Indonesia Turun di Angka 70,09
Untuk itu, Wijayanto mengatakan bahwa fenomena absennya rakyat sipil yang kritis hingga hilangnya oposisi disebut sebagai masalah serius sekaligus krusial dalam dinamika demokrasi di Indonesia pasca reformasi.
“Masalah demokrasi Indonesia yang terlihat krusial adalah absennya masyarakat sipil yang kritis kepada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masifnya politik uang dalam pemilu,” jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, kabar bohong seperti berita palsu, rendahnya keadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas, hingga kebebasan media, kebebasan berkumpul dan berserikat serta masalah masalah intoleransi terhadap kelompok minoritas turut menjadi pemicu rawannya demokrasi di Indonesia.
Tak hanya itu, kampus kata Wijayanto, perlu mendapat catatan secara khusus karena baru kali ini sejak era reformasi, kampus begitu berlomba-lomba merapat ke kekuasaan. Terlihat dari maraknya praktik kooptasi ikatan alumni kampus.
“Pemberian gelar doctor honoris causa kepada elit politik yang tidak didasarkan kepada kontribusi nyata kepada masayarakat dan ilmu pengetahuan namun lebih karena pertimbangan politik,” kata dia.
Fenomena lainnya adalah absennya gerakan mahasiswa yang membawa gagasan bernas dan berani bersuara kritis kepada kekuasaan. Sementara saat bersamaan, pemerintah dengan kekuasaannya dengan leluasa menentukan rektor terpilih melalui kementerian dikti.
“Pengawasan atau surveilance atas aktivitas dosen baik di media sosial ataupun di dunia nyata merupakan gejala penghalang kebebasan akademik lainnya yang semakin melemahkan suara kritis dari kampus,” tandasnya.
Pewarta: Romandhon