Kesehatan

Remaja dalam Ancaman Seks Bebas

Remaja dalam Ancaman Seks Bebas
Remaja dalam ancaman seks bebas dan arti penting pendidikan seks. (Foto: Ilustrasi/shutterstock.com)

NUSANTARANEWS.CO – Sebuah kabar mengejutkan datang dari media massa nasional pada Maret 2018 lalu. Kabar tersebut mengungkapkan adanya sebuah petisi penolakan terhadap perluasan KUHP 284. Bahkan petisi ini telah mendapat dukungan 70 ribu netizen, dan dimungkinkan akan terus bertambah. Perluasan KUHP Pasal 284 agar mereka yang terlibat dalam perzinaan walau keduanya belum diikat dengan pernikahan bisa diproses secara hukum. Alasan penolakan tersebut adalah dengan perluasan cakupan pasal 284 KUHP dinilai bisa melanggar hak privasi setiap warga, di samping dinilai rentan menimbulkan ketidakadilan gender terutama bagi wanita.

Ini adalah puncak gunung es fenomena perzinaan di kalangan muda mudi, yang memberi gambaran akan mengguritanya penyakit sosial yang satu ini. BKKBN pada sekitar tahun 2008–2009 melansir penelitian bahwa 63% remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan badan alias zina. Penelitian ini melibatkan remaja antara rentang usia 14–24 tahun dengan mengambil sampel di 33 provinsi. Bahkan ketika gembar–gembornya pendidikan karakter di kurikulum 2013, kembali dunia pendidikan Indonesia tercoreng.

Sebuah tulisan di lini media massa pada tanggal 24 Oktober 2013 dengan judul ‘Zina, Jadi Budaya Remaja’ mengisahkan adanya praktek perzinaan oleh siswa–siswa sebuah sekolah menengah pertama di DKI Jakarta. Mirisnya lagi, aksi bejat itu dilakukan pada saat pelaksanaan ibadah sholat Jumat. Sejumlah siswa mengabadikan aksi bejat temannya itu dalam bentuk video. Masih banyak lagi fenomena yang serupa terjadi di negeri ini. Artinya bahwa Indonesia itu sudah darurat seks bebas alias zina.

Mengurai Persoalan

Fenomena perzinaan adalah pelampiasan keliru dari naluri melestarikan keturunan atau naluri seksual. Salah satu penampakan dari naluri ini ialah menyukai lawan jenisnya. Oleh karena itu secara naluri, keberadaan perempuan berpotensi bisa membangkitkan gejolak syahwat pada diri laki–laki. Begitu pula sebaliknya, keberadaan laki–laki itu berpotensi bisa membangkitkan gejolak syahwat pada diri perempuan.

Baca Juga:  Relawan Rabu Biru Untuk Indonesia dan Caleg Arfito Raih Simpati Warga Kayu Putih, Jakarta Timur

Sangat tidak bijaksana apabila justru yang dilakukan adalah dengan mengekang keberadaan naluri seksual pada diri manusia. Pokok persoalan dari terjadinya penyimpangan seksual adalah keberadaan naluri itu sendiri. Demikian pola pikir mereka. Alih–alih menyelesaikan masalah, justru penyimpangan seksual termasuk zina, yang secara kuantitas mengalami peningkatan.

Sebagian pihak ada yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk menyalurkan naluri seksualnya. Atas nama hak asasi, kebebasan seksual digaungkan. Menurut pola pikir mereka, yang sebagian diilhami dari teorinya Sigmund Freud, bahwa hasrat seksual banyak mempengaruhi perilaku seseorang. Tentu mencegah ketegangan dan guna mencapai kepuasaan menjadi tujuannya untuk memberi kebebasan dalam orientasi seksual.

Memberi kebebasan kepada perempuan untuk membuka sebagian auratnya di tempat–tempat umum, adanya penerbitan media–media yang mengumbar syahwat dan sejumlah iklan produk yang kera pkali menampilkan aurat perempuan merupakan sebagaian dari pemberian kebebasan ini.

Manusia memang tidak bisa mengkhianati keberadaan naluri seksual pada dirinya. Hanya saja, yang diperlukan adalah pengaturan secara proporsional dalam penyalurannya, dengan tetap menjaga kemuliaan manusia itu sendiri.

Tiga Lini Penanggulangan Seks Bebas Remaja

Seksual merupakan salah satu naluri yang dimiliki oleh manusia. Naluri ini akan meminta penyaluran ketika ada fakta yang diindera dan fantasi–fantasi yang dihadirkan. Naluri seksual ini akan muncul ketika seseorang melihat, misalnya gambar seorang perempuan yang membuka sebagian auratnya di sebuah majalah. Atau ketika seseorang membayangkan dalam benaknya seorang teman perempuannya. Artinya kemunculan naluri seksual ini dipengaruhi oleh faktor dari luar diri manusia itu sendiri. Ketika kemunculan naluri seksual ini tidak bisa dipenuhi, timbulah kegelisahan dan kegalauan.

Baca Juga:  DBD Meningkat, Khofifah Ajak Warga Waspada

Berdasarkan uraian tersebut, penanggulangan terhadap seks bebas pada remaja harus ada kerjasama antara keluarga, masyarakat dan negara. Dalam konteks ini, keluarga adalah benteng pertama. Selanjutnya masyarakat sebagai benteng kedua. Sedangkan benteng terakhirnya adalah negara.

Di dalam keluarga, seorang anak telah mengidentifikasi adanya perbedaan kelamin antara ayah dan ibunya. Di samping ia juga mengidentifikasi perbedaan sifat keduanya. Anak mengetahui bahwa ibu memiliki kelembutan. Sedangkan ayah memiliki ketegasan dan keberanian. Ibu yang melahirkan dan menyusui. Ayah yang bekerja untuk menafkahi keluarganya. Inilah pengenalan pertama anak terhadap perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Pada tahapan anak sudah bisa diajak berfikir, maka mereka perlu diberikan pengertian tentang jati dirinya sebagai laki-laki atau perempuan, kewajiban untuk tidur yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, kewajiban dan larangan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, ketika anak sudah dewasa, orang tua memberikan pengertian bahwa laki-laki dan perempuan itu diciptakan oleh Allah SWT guna membangun kerjasama dalam mewujudkan masyarakat yang diliputi oleh kesucian dan ketakwaan.

Pernikahan adalah ikatan yang suci dan halal antara laki-laki dan perempuan untuk melestarikan keturunan manusia. Hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan merupakan sebuah penyimpangan yang konsekuensinya berupa dosa.

Sekolah, sebagai pihak yang mewakili masyarakat dalam penjagaan formal terhadap anak, mesti untuk bersinergi dengan keluarga. Pembelajaran di sekolah berkesinambungan dengan pola pendidikan di keluarga. Pola pendidikan di keluarga berkesinambungan dengan pembelajaran di sekolah.

Baca Juga:  Pemkab Pamekasan Dirikan Rumah Sakit Ibu dan Anak: Di Pamekasan Sehatnya Harus Berkualitas

Keluarga dan sekolah bekerjasama menjauhkan media yang dibaca dan dilihat oleh anak dari konten–konten pornografi dan pornoaksi. Pada tingkat remaja, kemudian di sekolah diajarkan tentang sistem reproduksi manusia pada bidang studi biologi. Kerangka pembelajaran materi tersebut adalah pemahaman yang diberikan guru bahwa penyaluran dan penggunaan alat–alat reproduksi manusia itu menjadi halal hanya dalam ikatan pernikahan, bukan yang lain. Guru juga memberikan pemahaman akan dampak buruk, baik di dunia maupun di akherat dari aktifitas penyimpangan seksual, termasuk zina di dalamnya.

Selanjutnya peran negara sebagai pemberi payung hukum adalah membuat regulasi aturan perundang-undangan. Aturan perundangan yang dibuat tentu tidak boleh berseberangan dengan keyakinan mayoritas rakyat negeri ini. Artinya, peraturan perundangan yang dibuat dapat memberikan sanksi yang tegas dan keras kepada pelaku–pelaku penyimpangan seksual, baik pelaku itu pernah dan atau sedang diikat pernikahan, maupun pelakunya tidak berada dalam ikatan pernikahan.

Di samping itu, negara melakukan penertiban terhadap semua media massa baik cetak maupun elektronik yang menampilkan aurat yang diumbar, termasuk konten tulisan–tulisan cabul dan penyebaran paham–paham serta pemikiran yang merusak keluhuran pergaulan antara laki–laki dan perempuan.

Penanggulangan seks bebas atau zina di kalangan remaja ini akan tuntas ketika negara mau mengambil aturan Islam. Jika bukan sekarang, kapan lagi, negeri ini sudah darurat seks bebas atau zina. Janganlah kita menunggu nasi telah menjadi bubur.

Oleh: Ainul Mizan, S.Pd, Guru SDIT Insantama Malang

Catatan: Opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis seperti tertera, dan tidak menjadi bagian dari tanggung jawab redaksi nusantaranews.co

Related Posts

1 of 3,053