Religiositas dan Filsafat Indonesia
Oleh: Hafis Azhari, penulis novel Perasaan Orang Banten dan Pikiran Orang Indonesia
Seorang seniman beraliran eksistensialisme yang sering menulis cerpen di beberapa harian nasional, seolah mendapatkan pembenarannya ketika berbagai kasus kriminalitas merebak, yang kadang sulit ditelusuri penyebab dan ujung-pangkalnya. Yang satu menyalahkan pihak orang tua, yang satunya menyalahkan pihak anak, sementara yang lainnya menyalahkan zaman maupun kemajuan teknologi. Ketika semuanya saling menyalahkan, terjadilah chaos dan absurditas, dan di situlah sang seniman seolah menemukan kebenarannya.
Ketika pendapat dan ide-ide saling bertabrakan, semua pihak merasa benar sendiri dan saling menyalahkan, di situlah peran Tuhan seakan diabaikan, hingga kalangan akademisi maupun intelektual lantas terprovokasi oleh gagasan sang seniman dengan seberkas kesimpulan bahwa: “Ini zaman edan… dunia sudah mau kiamat…!”
Lalu, di manakah letak keadilan Tuhan, kalau semua sistem dalam tatanan kehidupan ini hanyalah siklus benang kusut semata? Para seniman di atas kemudian berdalil secara rasional-tulen, mengutip ungkapan tokoh Faust dalam novel Wolfgang Goethe, persis seperti ungkapan pakar biologi modern, Jacques Monod, bahwa realitas kehidupan manusia termasuk flora dan fauna, hanyalah salah satu hasil kebetulan semata dari suatu proses kebetulan dan perbenturan serba kebetulan menuju kepada sesuatu yang serba kebetulan. Evolusi setiap jenis makhluk tidak terencana sebelumnya sampai kepada titik akhir sang makhluk muncul di permukaan bumi. Kemudian menghilang kembali ditelan bumi karena faktor-faktor kebetulan belaka.
“Bagaimana mungkin Anda membuat cerita yang berakhir dengan happy ending, pada saat ketidakadilan merebak di negeri ini, keserakahan penguasa, kriminalitas penduduk, bahkan akhir-akhir ini kenakalan anak-anak remaja di hampir seluruh wilayah Indonesia merajalela?”
Barangkali sastrawan muda sekelas Eka Kurniawan yang sangat intens menulis berbagai tragedi yang dialami bangsa ini, memang layak mengemukakan persoalan ini, hingga muncullah pertanyaan esensial yang sangat filosofis: di manakah letak keadilan Tuhan?
Menggugat Keadilan Tuhan
Di zaman kehidupan Nabi Musa, pertanyaan serupa dilontarkan oleh salah seorang muridnya yang menggugat keadilan Tuhan, terutama ketika terjadi suatu peristiwa pembunuhan keji yang tak jelas ujung-pangkalnya. Bahkan apa penyebabnya, masih sulit ditelusuri secara logika murni oleh murid-murid Musa yang sedang berkumpul dalam suatu pertemuan.
“Ya Musa, bagaimana mungkin Anda bersikukuh pada pendapat bahwa Tuhan itu Maha Adil, sedangkan peristiwa yang terjadi di bawah pohon itu sungguh tragis dan memilukan…”
“Peristiwa apakah yang terjadi di bawah pohon itu?” pancing Musa.
“Seorang kakek yang sudah uzur, dituduh mencuri bungkusan berisi emas dan perak oleh seorang pemuda, kemudian pemuda itu dengan tega membunuhnya. Padahal yang mengambil bungkusan itu adalah seorang bocah gembala, yang melenggang dengan harta temuannya, dan barangkali sekarang dia sudah menjadi pemuda yang kaya raya.”
“Dengan peristiwa itu lantas Anda tidak percaya dengan keadilan Tuhan?” tanya Musa.
“Tentu saja Musa, di mana letak keadilan itu ketika yang melakukan kesalahan enak-enakan bergembira ria dengan barang temuannya, sementara seorang kakek tua-renta yang tidak bersalah terbunuh sedemikian sadisnya?”
Seketika Musa menengadah, hingga terlintas jawaban yang merupakan petunjuk bagi persoalan krusial yang dikemukakan sang murid. Saat itu beliau menguraikan satu peristiwa di masa lalu, ketika dua orang perampok (sebut saja Falan dan Filan) berhasil memboyong harta yang melimpah dari seorang hartawan yang kaya-raya. Pada saat pembagian harta tersebut, Falan mengkhianati janji dengan membunuh Filan karena ingin menguasai harta itu sepenuhnya.
Kemudian Musa menjelaskan duduk perkaranya, “Tahukah Anda, seorang bocah gembala yang menemukan bungkusan emas dan perak itu adalah putera dari hartawan yang telah dirampok oleh Falan dan Filan. Sedangkan pemuda yang membunuh kakek tua adalah putera dari Filan yang dulu terbunuh oleh Falan. Lantas kakek tua yang terbunuh di bawah pohon itu tak lain adalah Falan sendiri, yang dulu mengingkari perjanjian dengan membunuh sahabatnya Filan. Dalam rentang puluhan tahun, terbukalah semuanya bahwa nyawa telah dibayar dengan nyawa, dan harta pun telah kembali kepada yang berhak memilikinya.”
Filsafat Logika untuk Bangsa
Sebaiknya kita tak perlu mengembangkan jenis filsafat yang bertentangan dengan ayat-ayat Tuhan yang termaktub dalam Al-Kitab. Bahwa Tuhan Maha Adil, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Melihat perbuatan manusia, Maha Membalas kebaikan dan keburukan amal perbuatan, dan seterusnya. Sastrawan Y.B. Mangunwijaya memberikan amanat, ketika penulis beberapa kali berkunjung setelah transplantasi jantung, bahwa kita tak usah mencari-cari logika yang super rumit hingga berseberangan dengan nafas ketuhanan, serta keyakinan adanya Kekuasaan Absolut yang memanage dan menggenggam segalanya.
“Jangan berikan warisan pemikiran kepada anak-cucu kita, yang bertentangan dengan ayat-ayat Tuhan. Sehebat apapun nilai estetika dalam karya sastra, ia tetap berfungsi selaku pesan-pesan dakwah, yang dapat mengajak kepada kebaikan ataukah keburukan. Dan Anda perlu hati-hati, karena keduanya, baik maupun buruk, tetap akan kembali kepada penulisnya,” demikian pesan terakhir Romo Mangun yang tak mungkin terlupakan oleh saya.
Tidak ada yang sia-sia dalam kehidupan duniawi ini, semuanya sudah terukur dan tertakar dengan baik. Semua makhluk dan ciptaan Tuhan saling terhubung, terkait dan harmonium antara satu dengan yang lainnya. Bahkan tidak ada satu helai daun pun yang jatuh secara kebetulan di kegelapan malam, baik yang kering maupun yang basah. Semuanya mutlak dalam kendali dan pengaturan Tuhan. Bahkan seandainya pun ada gunung meletus, bumi terbelah secara tiba-tiba, atau orang-orang mati terbangun dan berbicara, semuanya tetap dalam koridor manajemen dan genggaman Tuhan.
Kiranya layak menjadi penutup tulisan ini, kita meneladani kesabaran dan keteguhan iman para Nabi dan Rasul, ketika pendiriannya dihempas oleh berbagai kisah tragis memilukan yang dipraktekkan oleh musuh-musuhnya. Nabi Isa begitu sabar dalam menghadapi gangguan yang mengerikan dari orang-orang semacam Herodes atau Pontius Pilatus. Sama halnya Nabi Muhammad ketika diguncang prahara oleh ulah dan kelakuan orang-orang Arab (Qurays).
Pesan yang ingin saya sampaikan kepada rakyat Indonesia, dan kepada diri saya sendiri, bahwa tidak ada kekuatan iman yang jatuh gratis dari langit. Keimanan kita senantiasa diguncang oleh hempasan badai dan prahara. Penglihatan, pendengaran dan hati senantiasa diuji oleh berbagai kabar dan kisah-kisah tragis yang memperteguh keimanan, atau justru melemahkan dan menghancurkan keimanan seseorang.
Memang kita sendirilah yang diberikan kebebasan untuk memilihnya, akan tetap konsisten mensyukuri nikmat Tuhan, ataukah berbalik arah dengan mengingkari-Nya. Apakah kita akan konsisten pada keyakinan bahwa Tuhan Maha Adil dan Maha Menepati janji, ataukah kita mempercayai bahwa realitas kehidupan ini hanyalah siklus benang kusut dari peristiwa-peristiwa chaos dan absurd belaka?
Dan bagi kita yang menyampaikan kabar gembira tentang pertolongan, keadilan dan kasih-sayang Tuhan, bagi kita yang ikhlas menolong agama-agama Tuhan, pasti Dia akan menolong dan memberi kebaikan pada kita semua. Kini sampailah kita pada pertanyaan penting: akan jadi apakah kita dan anak-cucu kita di masadepan nanti?
Jawabannya sederhana, bahwa kita semua akan menjadi apa yang kita pikirkan, bahkan nasib hidup kita pun akan tergantung dari apa-apa yang kita pikirkan. Tuhan berfirman (dalam hadits Qudsi) bahwa, “Aku bekerja sesuai dengan pikiran dan persepsi hamba-hamba-Ku terhadap Aku.”
Tuhan Yang Maha Baik dan Maha Menepati janji, senantiasa memenuhi harapan-harapan hamba yang berbaik sangka kepada-Nya. Karena itu jangan pernah berputus asa dalam menyampaikan kebaikan, meskipun posisi kita sedang berada di tengah gelombang tsunami yang sangat mencekam. Demikian pula nasehat Muhammad, sehaluan dengan statemen Yesus dari Nazaret: “Dan janganlah di antara kalian mati melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Tuhan.” **