Cerpen

Kuli Tinta

puisi, kumpulan puisi, puisi indonesia, penyair indonesia, nusantaranews, puisi karya, iqbal manglak
Puisi-puisi Karya Iqbal Manglak. (Foto: Ilustrasi/hindayani.com)

Kuli Tinta

Oleh: Hafis Azhari, penulis novel Perasaan Orang Banten dan Pikiran Orang Indonesia

”Kita hadapi saja apa yang akan terjadi.”

“Tapi Mas dibayar berapa dengan melakukan perlawanan seperti itu?”

“Ini bukan perkara uang, Ris, tapi perkara mental kita, kekuatan kita untuk menghadapi problem hidup.”

“Alaah taik kucing! Persoalan apa yang tak bisa diselesaikan dengan uang, Mas?”

Untuk ke sekian kalinya Rista mengeluh dan menggerutu di hadapan Somad suaminya. Sebagai pemuda yang berkiprah di dunia kewartawanan, Somad memegang prinsip-prinsip yang berseberangan dengan istrinya dalam beberapa hal. Misalnya dalam soal kesederhanaan dan hidup bersahaja. Menurut Somad, pantang baginya untuk bersaing dalam hal-hal yang bersifat kebendaan. Ia berusaha untuk kukuh memegang prinsip-prinsip jatidirinya sebagai wartawan, apapun konsekuensi yang akan dihadapi di kemudian hari.

Kali ini ia harus berurusan dengan aparat-aparat perusahaan Stone Engeneering yang merupakan anak cabang dari PT. Krakatau Stone.  Pasalnya adalah hasil reportase yang dia buat seminggu lalu di harian Banten Bangkit, yang kemudian banyak menyulut pro-kontra di kalangan masyarakat Cilegon dan karyawan PT. Krakatau Stone. Pembuangan limbah dari perusahaan anak cabang itu telah mengaliri sungai Ciwandan yang dikabarkan sudah melampaui ambang batas. Tetapi pihak perusahaan menampik pemberitaan tersebut, bahkan dua orang security berjanji akan melaporkan Somad kepada pihak yang berwajib sebelum ia menyatakan permintaan maaf di seluruh koran-koran Banten.

“Permintaan maaf untuk apa?” Somad bersikukuh di hadapan istrinya.

“Emangnya Mas itu siapa? Apakah Mas itu seorang politisi atau pengusaha besar yang kebal hukum, begitu?”

“Ris, aku sudah melakukan tugasku apa adanya, bahkan aku pun sudah melakukan riset bersama mahasiswa Untirta tentang kebenaran limbah itu.”

“Tapi Mas terlalu kecil untuk berhadap-hadapan dengan mereka, seperti cicak dan buaya.”

“Ya tenang saja, Ris, semua orang tahu aku ini hanya seorang wartawan, tapi biarlah kebenaran menyatakan dirinya sebagai kebenaran.”

***

Kini kehamilan Rista sudah memasuki bulan ketujuh, sementara mertua Somad yang dari Pandeglang mendesak istrinya agar melakukan selamatan “nujuh bulan” di kampungnya berdasarkan adat Sunda. Bagi Somad sendiri, tak peduli apakah akan diadakan dengan adat Sunda, Jawa maupun Batak sekalipun. Meski ia pun mengukur kemampuan finansial yang terbatas untuk penyelenggaraan-penyelenggaraan acara seperti itu. Tapi ia menyadari betapa pentingnya hal-hal seperti itu bagi istrinya, dan terutama bagi mertua dan keluarganya di kampung halaman. Ia tak mau mengadakan konfrontasi lebih jauh, karena ia pun menyadari, di balik kelemahan seorang wanita terkandung banyak kelebihan yang kadangkala sulit untuk diakui oleh banyak pria.

“Jadi kita harus bagaimana, Mas? Berapa dana yang kita miliki untuk acara selamatan itu?”

“Kita hadapi saja, Ris, apa yang akan terjadi.”

“Mas, aku sudah bosan mendengar kata-kata seperti itu. Aku membutuhkan fakta yang riil, yang nyata, apa yang harus kita persiapkan untuk acara di kampung nanti.”

“Tenang saja, Ris, kita jalani saja apa yang ada di hadapan kita.”

“Mas?!”

***

Bisikan-bisikan itu terus menyelimuti hari-hari Somad untuk menghentikan pemberitaan tentang limbah perusahaan itu. Beruntung ia mendapat support dari pemimpin redaksi Banten Bangkit untuk terus melakukan langkah-langkah yang ia tempuh, sambil menjalin kerjasama dengan jurusan Kimia di Untirta. Namun pada malam harinya ketika ia sedang berbaring di samping istrinya, serta-merta sang istri bertanya:

“Mas, berapa tawaran mereka untuk kita?”

“Maksudmu?”

“Berapa yang mereka tawarkan untuk menghentikan pemberitaan itu?”

“Bukan untuk menghentikan pemberitaan, Ris, tapi untuk suatu permintaan maaf.”

Somad terdiam sesaat. Setelah menghela napasnya ia pun menjawab, “Tawaran mereka cukup tinggi, Ris.”

Somad pun menyebutkan jumlah penawaran itu di hadapan istrinya, hingga sang istri menyimpulkan seketika:

“Menurutku, tidak ada salahnya Mas menyatakan maaf.”

“Maaf untuk apa? Kesalahan apa yang aku lakukan selama ini?”

“Jangan sombong Mas, semua manusia tidak luput dari salah dan dosa.”

“Ini bukan perkara kesombongan Ris, tapi kesalahan apa yang aku lakukan terhadap perusahaan itu? Kenapa aku harus minta maaf karena persoalan yang tak jelas letak kesalahannya di mana?”

Suasana hening dan tegang. Tak berapa lama Somad berkata sambil mengepalkan kedua tangannya, “Aku hanya mengungkapkan fakta yang ada di lapangan. Aku hanya menyampaikan kebenaran, biar terasa pahit sekalipun!”

Mereka saling diam terpaku. Somad merogoh kantongnya untuk mengeluarkan dompet. Ia mengeluarkan semua uang yang ada dalam dompet itu, kemudian menaruhnya di atas meja sambil berucap, “Ini ada dana secukupnya untuk selamatan. Tadi pagi aku menerima honor dari kerjasama yang aku lakukan dengan Untirta. Kita harus terbiasa mengadakan acara-acara seperti itu dengan cara-cara yang simpel dan sederhana.”

***

Hari-hari berikutnya Somad mengerjakan tugas-tugasnya untuk meliput kejadian-kejadian di lapangan. Dalam beberapa minggu memang tak ada berita yang paling dominan kecuali santernya berbagai komentar dan tanggapan pembaca mengenai kasus pembuangan limbah itu. Kabarnya masyarakat Ciwandan melayangkan gugatan kepada pihak perusahaan yang dikawal oleh sekelompok LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup.

Somad tetap konsisten untuk meliput fakta-fakta yang ditemukannya di lapangan, meski ia menyadari hari-hari yang semakin mendekati persalinan istrinya hingga memasuki bulan kesembilan. Tawaran pihak perusahaan semakin meninggi agar ia menghentikan laporan-laporan yang disampaikannya dari hasil penelitian di lapangan. Kali ini pihak perusahaan tidak berani menyatakan secara terbuka untuk mengadakan konfrontasi langsung dengan para wartawan. Di samping mereka pun kewalahan menangani gugatan masyarakat setempat yang disokong oleh kekuatan LSM.

Detik-detik terakhir menjelang istrinya melahirkan telah tiba. Somad segera membawa istrinya ke rumah sakit, meski ia belum mempersiapkan dana yang cukup untuk biaya persalinan. Di depan pintu gerbang rumah sakit, tiba-tiba dua orang menghampiri dirinya sambil mengeluarkan cek dengan jumlah uang yang sangat tinggi.

“Uang dari mana ini?” Somad tersentak kaget.

“Tenang saja Pak, kami utusan dari Desa Ciwandan telah memenangkan gugatan di pengadilan. Uang ini dari patungan semua warga Ciwandan yang menerima kompensasi dari perusahaan Stone Engeneering. Sekarang perusahaan itu sedang membangun water treatment agar tidak melakukan pembuangan limbah melalui sungai. Selama beberapa minggu ini, perusahaan itu tutup untuk tidak berproduksi, sampai water treatment itu selesai dibangun.”

Somad mengucapkan terimakasih, sambil bergegas mendampingi persalinan istrinya, lantas menyambut kehadiran sang jabang bayi dengan kata-kata:

“Tenanglah Nak, kita hadapi saja apa yang akan terjadi…”

Related Posts

1 of 3,058