Hukum

Ratusan Anggota KPPS Meninggal Dunia, Komisioner KPU Diminta Ikuti Proses Hukum

Aktivis HAM Natalius Pigai dan Praktisi Kesehatan Dhinda Nasrul dalam sebuah diskusi bertajuk Tumbal Demokrasi, di Balik Tragedi Kematian 555 Orang di Cemara Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2019). (Foto: Romandhon/NUSANTARANEWS.CO)
Aktivis HAM Natalius Pigai dan Praktisi Kesehatan Dhinda Nasrul dalam sebuah diskusi bertajuk Tumbal Demokrasi, di Balik Tragedi Kematian 555 Orang di Cemara Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (12/5/2019). (Foto: Romandhon/NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ratusan anggota KPPS meninggal dunia pada Pemilu 2019, usulan Komisioner KPU mundur pun mencuat untuk mengikuti proses hukum.

Penyelenggara pemilu tampaknya bakal menghadapi persoalan serius terkait wafatnya ratusan anggota KPPS pada Pemilu 2019. Pasalnya, tak dapat dipungkiri, berakhirnya ratusan nyawa anggota KPPS boleh dibilang akibat kelalaian KPU.

Pegiatn HAM, Natalius Pigai mengatakan, demokrasi sejatinya memiliki nilai kemanusiaan. Dan juga, demokrasi tidak pernah mencabut nyawa manusia.

“Jika pemilu menjadi etalase kematian 550 jiwa, maka Indonesia menjadi negara demokrasi prominet pertama di dunia yang menghadapi anomali demokrasi,” kata Pigai, Jakarta, Minggu (12/5/2019).

Diketahui, KPU mencatat anggota KPPS yang meninggal dunia berjumlah 440 orang. Sementara Bawaslu mencatat ada 92 orang panitia pengawas pemilu yang meninggal dan Polri mencatat ada 22 anggotanya yang tewas.

Akibatnya, usulan untuk membekukan sementara KPU pun menyeruak ke permukaan.

“Dibekukan dulu KPU biar mereka mengikuti proses hukum karena kelalaian yang mengakibatkan anggotanya (KPPS) meninggal dunia,” kata Pigai dalam sebuah diskusi bertajuk Tumbal Demokrasi, di Balik Tragedi Kematian 555 Orang di Cemara Hotel, Jakarta Pusat.

Baca Juga:  Lecehkan Media Grassroot, Wilson Lalengke Laporkan Kapolres Pringsewu ke Divisi Propam Polri

Lebih lanjut dia menuturkan, ada baiknya Komisioner KPU mundur untuk kemudian menghadapi proses hukum akibat kelalaian tersebut. Setidaknya, usai pengumuman hasil Pemilu 2019.

“Mundur saja dan cabut wewenangnya sementara, biar Komisioner KPU menjalankan proses hukum,” tegasnya.

Tak hanya lalai, Komisioner KPU juga dianggap telah salah sejak awal perekrutan anggota KPPS di berbagai daerah.

“Dari berbagai fakta di lapangan, seperti tidak adanya proses perekrutan yang baik di dalam memilih teman-teman KPPS yang berjuang dalam pemilu ini. Padahal, KPU sadar bahwa pemilu kali ini akan sangat berat,” kata Praktisi Kesehatan, Dhinda Nasrul dalam kesempatan sama.

“Kelihatan dari temuan-temuan kami yanng menurut kami tidak memenuhi syrat-syarat. Misalnya terdapat ibu Dewi usia 30 tahun asal Jember, ibu Sri Utami, ibu Sri dan Ibu Adriani asal Lombok mereka adalah petugas KPPS yang sedang hamil dan mengalami keguguran dalam 20 hari terakhir semenjak kita pemilu gitu. Jadi dalam tugasnya mengawal pemilu ini mereka mengalami keguguran. Padahal kalau misalanya masuk ke syarat sehat ini membahayakan kalau misalnya mereka sampai keguguran,” terangnya.

Baca Juga:  Mantan Guru PMP-Kn SMP Negeri Sapat Desak Kepsek Pelaku Pungli Dicopot dari Jabatannya

“Kemudian ada ibu Amalia asal Aceh, beliau hamil 8 bulan dan meninggal dunia. Itu hal-hal yang bisa dilihat. Belum lagi teman-teman yang dinyatakan diagnosis yang membingungkan itu. Ada bunuh diri, misalnya di Blitar di waktu pemilu ini. Itu hal-hal yang harus dipertanyakan, kok tidak ada laporan rinciannya. Jumlahnya banyak 500 kok tidak ada laporan satu lembar PDf saja, lengkap siapa saja. Ini kan KPU satu data pusat lengkap semua, kenapa tidak ada laporannya,” sambung Dhinda.

(eda/adn/ach)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,051