Raja Guntur – Cerpen Jeli Manalu

Ilustrasi Aku masih cinta - Lukisan karya Richard Burlet/Sumber Arts, Artists, Artwork

Ilustrasi Aku masih cinta - Lukisan karya Richard Burlet/Sumber Arts, Artists, Artwork

NUSANTARANEWS.CO – Di kamar Guntur bertumpuk botol air mineral, botol minuman berkarbonasi, berkafein, bungkus-bungkus makanan serta puntung rokok berserakan. Ada gambar sarang laba-laba. Ada poster Coldplay—‘in my place’ dengan hasil fotokopian yang ia warnai sesuka-suka. Dan juga tikus yang berbagi jatah indomie. Dan juga potongan-potongan roti yang dipuja-puji para semut.

Ketika bercermin lalu berjumpa kerutan di ujung pelipis, ia tersenyum. Ia seolah kehilangan rasa cemas saat mendapati celananya yang bukan karet itu menjadi molor. Ia semakin kurus, kusam, amis. Kulit hidungnya tak lagi berminyak-minyak. Sebentar lagi, ajal pasti menjemput, batinnya, sambil mengarahkan dua bola mata ke serangga yang dikunyah-kunyah oleh cicak.

Toh tak ada yang peduli. Seperti kekasihnya yang hilang, begitulah pula ia ingin hilang. Hubungannya dengan wanita itu tak sampai ke mana-mana. Tak ada tempat untuk itu. Restu untuknya terjadi apabila ia membawa gadis ayu berkerudung yang diperanakkan keturunan Melayu tulen. Tak boleh ada campur-campurnya. Pokoknya harus asli.

“Gun, tadi Bapak jumpa dengan Cik Asmuri. Dia tanya kau.”

Guntur hanya ber-oh. Ia bergumul dengan pancing lalu menarik cangkul.

“Gun! Kau tak tanya, untuk apa Cik Asmuri cari kau?”

“Aku sudah tau.”

“Lalu?”

“Bapak sama mak aja yang pergi. Aku mau mancing”

“Mereka ngundang kau, Gun! Ka-u! Lagi pula mak kau tak ‘kan bisa juga pergi. Sakitnya kambuh.”

Guntur tak menghiraukan Bapaknya. Ia mencangkul-cangkul tanah lembab, dan wajahnya bersinar ketika mendapati cacing besar meliuk-liuk.

“Gun!” Raja Sudir, Bapaknya itu mendapatinya ke tanah becek, “si Mai, Maimunah, kau ingat dia?”

Guntur menghentikan cangkulnya, “Aku sudah tau. Tak usah Bapak jodoh-jodohkan aku dengan dia. Anak Bapak ni, sudah dewasa. Pandailah lagi awak cari betine[1].”

“Kau itu keturunan raja! Nama depanmu ada Raja-nya. Raja Guntur! Mau kauletak di mana muka Bapak kau ni, hah?”

“Yang raja itu ‘kan datuk[2] dari datuk-nya Bapak, bukannya Bapak, apalagi aku.”

“Pokoknya, kau tak ‘kan sama perempuan lain-lain. Kau harus bisa mengambil hati si Maimunah. Buat dia terkesan dengan kau. Lagi pula, dia, baik sudah punya usaha sendiri, tetap juga suka dengan kau. Kau tak mau membalas cinta gadis itu?”

“Aku tak suka dengan dia. Aku sudah naksir dengan In…”

“Naksir In? In yang mana?” Raja Sudir sedikit kikuk dan terkejut mendengar sebutan In. Mungkin ia ada kenal dengan seseorang berawalan nama In, “pokoknya, kau harus dengan Maimunah. Tak ingat kau, Bapak kau ni, banyak hutang sama Cik Asmuri sekeluarga?”

Guntur ingat. Selagi kecil, rumahnya pernah terbakar oleh ulahnya sendiri. Ia menumpahkan sejerigen minyak tanah dari warung hingga ke dapur. Ia menonton siaran televisi. Sinetron tepatnya. Pemeran antagonisnya menyiramkan minyak tanah ke rumah pemeran protagonis lalu muncullah bunga-bunga api. Ia terkesima. Ia samakanlah itu dengan kembang api di hari raya. Lalu ia memantik api.

Cik Asmuri-lah yang memberi pertolongan selama bertahun-tahun untuk Guntur sekeluarga. Hingga akhirnya dibangunkan rumah, dan diberi pinjaman untuk membuat kolam beternak nila, lele, dan patin. Sampai SD, SMP, SMA, dirinya dan Maimunah selalu bersekolah di sekolah yang sama. Setelahnya, Maimunah berkuliah di Jakarta, jurusan tata busana. Sedang dirinya tak lulus di bidang yang ia sukai. Jadilah ia tak berkuliah dan hanya mengelola kolam ikan, dan sesekali pergi memancing ke sungai-sungai di Indragiri.

Setahun kemudian, ia tergila-gila pada perempuan molek bersuara merdu yang berasal dari kota lain. Wanita itu, pertama kali ia jumpai di undangan perkawinan mantannya. Ia bilang ke bujang-bujang itu kalau dirinya telah cinta mati kepada Intan. Artinya, ia membuat batas agar orang-orang tidak terlalu dekat lagi dengan Intan. Bahkan ia telah mengucap kalimat penting tanpa putus sebagaimana diucapkan calon mempelai pria di KUA yang disaksikan oleh Danau Raja yang pendiam, dan dua pohon beringin tua.

Ia mengapitkan jepit rambut kupu-kupu di poni sebelah kanan wanitanya, kemudian berkata sesuka hati.

“Sungguhkah kau menerima nikahku?”

“Sungguh, Say.”

“Dan menemaniku hingga maut yang memisahkan?”

“Iya, Say.”

Lalu Guntur meletakkan bibirnya di atas bibir Intan. Sambil berpegangan tangan, mereka berseru, “Danau Raja!!! Apakah pernikahan kami sudah sah? Katakannn! Kami pasangan serasi, bukan?”

Sewaktu hujan mulai turun, mereka percaya hujan. Sewaktu angin sudah dingin, mereka tahu harus ke mana. Hujan di atas genteng. Angin bersemilir pada daun-daun. Dan kumbang, dan bunga lalu malam yang memabukkan.

Namun hawa-nya itu hilang sejak pertama kali ia bawa ke hadapan keluarga. Intan-nya pergi tanpa sepenglihatan Guntur. Entah kapan. Entah ketika ia sedang berada di bagian mana di rumah itu. Entah sewaktu berdebat bersama bapaknya. Entah sewaktu ia tinggal Intan-nya bersama bapaknya ketika tiba-tiba diteriaki mak yang menderita diabetes agar menggantikannya menyiang ikan-ikan.

***

Selepas terik ketika kehabisan persediaan akan benda-benda itu, ia membuka pintu dan sekonyong-konyong menendang botol kaca persis mengenai muka penuh bedak dingin seorang pemulung.

Ia terdiam namun dingin pada sesosok yang tengah mendesis-desis serta menggosok-gosok jidat yang mungkin mengalami lebam ringan itu.

“Biar saya ambil sampah-sampah itu, Bang.”

Guntur tak menjawab. Ia hanya menatap sekilas manusia di hadapannya tanpa perasaan apa-apa. Lalu ia jongkok sambil berdahak-dahak di samping pot yang tidak ditanami apa-apa.

Orang berpakaian jelek serta bau basi ini kemudian menyapu kamarnya. Terdengar bunyi, kres-kres-kres, mungkin kreng-kreng-kreng, sak-sak-sak, mungkin juga sruk-sruk-sruk atau barangkali bukan begitu. Bisa jadi hanya makian kasar yang tak lagi mempan di telinga Guntur. Misal; dasar tolol! Dasar pencundang. Matilah kau, karena kau tak akan mati, bodohhhh…

Guntur terbatuk-batuk. Si perempuan berhenti sebentar, dan mengambil air untuk menyiram debu-debu. Kemudian wanita itu menyapu lagi sambil memunguti sampah plastik, karton-karton, dan apa saja.

Sewaktu wanita itu memanggul goni dan menatap lama ke arah Guntur yang tampak tertunduk mencengkeram-cengkeram dada, pikiran Guntur seakan mulai membuka. Jaringan otaknya bagai cakrawala disilet petir. Atau mungkin seperti senja yang digunting Seno Gumira Ajidarma. Mungkin juga bukan. Tapi sesuatu telah terjadi.

Guntur mulai siuman dari hasrat ingin mati yang ia kira sangat indah, namun ternyata masih lebih indah lagi hidupnya yang hancur-hancuran itu. Mati pun sakit juga. Dimakan cacing, dan gemuklah belatung dalam lendir daging yang sedang bersetubuh dengan tanah.

Dengarlah kata-kata menyakitkan namun berlimpah cinta ini, “mungkin Abang kena TBC. Pergilah berobat. TBC tak membawamu ke kematian yang lebih awal. Tak ada keindahan tentang kematian yang hanya disebabkan oleh TBC. Justru, TBC membuatmu sengsara dalam waktu yang tak pernah dapat kaupahami. Jadi jangan terlalu bahagia,” kata pemulung itu, ketus, lalu pergi.

Untuk menyembuhkan penyakitnya itu, memang tak perlu lagi ia mengeluarkan biaya. Obat tinggal ambil di Puskesmas menggunakan BPJS. Hanya saja, menjelang enam bulan masa pengobatan, perlu dana lebih untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. Dan itu harus ia lakukan di Pekanbaru. Tentu butuh uang lebih, walau sekadar memberi rokok kepada dua supir truk yang mungkin mau mengangkutnya ke kota. Juga membeli sekilo beras atau sekantong rambutan binjai agar tak segan menompang tidur di rumah saudari jauh yang telah berumah tangga.

Guntur stres dan marah. Tak mungkin ia mencari tempat pengutangan lagi. Minggu lalu, ia baru meminjam dua ratus lima puluh ribu rupiah dari pacar temannya, dan temannya itulah yang menjamin. Ponsel buatan China-nya hilang diambil setan dan ia akan menggantinya. Yang Guntur ingat sewaktu terbaring di kasur, ia menggenggam benda itu di atas kulit perut tanpa baju. Setelahnya ia mendengkur. Lalu tak tahu lagi.

Tetapi seusai membeli ponsel bekas yang tak seperti hand phone China-nya yang lenyap itu, ia malah tak memiliki keinginan walau sekedar bertelepon atau menuliskan pesan pendek. Seleranya terhadap kata-kata, sirna. Mungkin huruf-huruf, gambar-gambar, angka, tanda baca, simbol matematika sudah berada di luar kepalanya. Tanpa layar pengumuman. Tanpa bisa di-undo (Ctrl+Z), di-redo (Ctrl +Y) atau di-cut (Ctrl+X) lalu di-paste-kan (Ctrl+V). Ya begitulah. Barangkali begitu.

Ia pisahkan tubuh ponsel dengan baterai. Lalu baterai ia lempar sembarangan ke arah yang tak bisa ia duga. Berharap tak bertemu. Dan semoga tak bertemu. Guntur kemudian menutup pintunya, lalu tidur, lalu pulas, lalu entah.

Hujan baru turun. Ia tak perlu cemas. Selanjutnya bunyi memukul-mukul di tanah. Ada sandal menggesek tanah. Ia bangkit dan mengintip dari lubang pintu. Hanya pemulung. Pemulung itu lagi? Untuk apa hujan mengirimnya? Lagi pula, semenjak hilang ponsel China-nya, dan barang-barang sekomplek yang juga kerap hilang, di mana timbul dugaan karena kelewat bebasnya para pengumpul rongsokan keluar-masuk perumahan, di mulut gang sudah dibuat papan peringatan berwarna darah meleleh, “PEMULUNG DILARANG MASUK.” Lalu dengan cara apa mereka lolos?

Guntur mengintip lagi. Melalui lubang yang samar itu, matanya menangkap sesosok bocah hitam, menggigil. Air mengalir dari baju-bajunya. Guntur tahu itu.  Guntur juga tahu kalau hatinya masih menyisakan secuil kebaikan. Ke mana bapak anak itu? Tega sekali. Hanya lelaki kurang ajar yang membiarkan anak-istri melakukan pekerjaan yang diucap hina-dina, pikirnya.

Ia buka pintu. Ia buka pagar.

“Masuklah,” kata-kata seolah kembali kepada Guntur. Mungkin hujanlah yang menekan CTRL + Y. Sesuatu telah kembali seperti sebelum-sebelumnya.

“Terima kasih.”

“Ganti baju anak kau,” kata Guntur kepada perempuan dengan muka penuh bedak dingin yang mulai berlepasan.

Baju itu menjadi sangat besar. Baju itu menyeret di lantai semen. Baju lelaki berukuran 175 senti dipakaikan kepada balita berusia kurang lebih 3 tahun. Bayangkanlah.

Sementara ibu si anak mengganti pakaiannya pula, Guntur menyeduh teh tarik pakai susu kental manis. Ia antarkan minuman itu. Ia hendak ke belakang lagi entah untuk apa. Lalu ponselnya berbunyi, ia tak jadi ke belakang.

“Halo, ha-a …,” ponsel yang baru menempel di telinga, kini, berada dalam serangan kepanikan antara halo yang menggantung di sini, halo seseorang yang mati penasaran di sana serta mata yang tak percaya. Hand phone yang diambil setan itu telah kembali. Intan-lah yang mengembalikannya. Entah untuk apa dulu ia mengambilnya.

“Halo!”

Ia tak sadar sedang berteriak.

“Siapa?” Guntur bicara dengan jantung berdebar-debar, sambil menangkap mata yang ada di depan matanya. Lalu hanya bunyi tut-tut-tut.

Guntur kemudian menangkap mata sang anak di cermin. Guntur juga menemukan mata itu di mata perempuan yang sudah wangi, tak berbedak dingin, dan hanya menggunakan kaus milik Guntur yang justru memperlihatkan ujung bokongnya.

“In? In-tan?”

“Aku, Say.”

“Kau?”

Guntur hampir memeluk Intan. Ia sudah sangat ingin melepas segenap rindu yang terendap lama. Naluri lelakinya berkata, ingin sekali aku melakukannya kembali, denganmu. Aku masih cinta…

“Kau masih cinta aku, Say?” bibir intan bergetar.

“Ya, memangnya kenapa? Kau masih cantik. Apa salahnya?”

“Kau masih cinta, jika kukatakan yang sebenarnya?”

“Ya-a …?”

“Waktu itu, aku telah menjual tubuhku kepada bapakmu.”

___________
Catatan:
1. Perempuan
2. Kakek
_________________
*Jeli Manalu, lahir di Padangsidempuan pada 2 oktober 1983 dan saat ini berdomisili di Rengat-Riau. Aktif menulis cerpen sejak 2016. Cerpen-cerpennya tersiar di beberapa media lokal dan portal online. Penulis bisa dihubungi di nomor 081371760196 dan Email: jeli.manalu@yahoo.com

__________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: selendang14@gmail.com.

Exit mobile version