Puisi Arif Tunjung Pradana
Perempuan Yang Suka Menidurkan Matanya
Dengan tidur pulas kurasa ia benar-benar hidup. Sedikit biru melingkar di pelupuk matanya, tanda luka yang ia ikat dan kerap luput.
Ada jarak yang benar-benar diam dan tak mau bercerita. Tentang waktu siapa yang harus ia tempuh, tentang rumah siapa yang harus ia gunakan berteduh.
Perempuan itu bangun kemudian tersenyum, senyumnya melengkung; seperti tanda baca yang kerap melengkapi pertanyaannya.
Pertanyaan adalah jendela besi yang pandai mengurung jawaban, mengembalikan peristiwa purba yang patut untuk didoakan.
Perempuan Memang Begitu
Kemudian perempuan itu memahami dan ia merasa terganggu setiap kali air lahir dari sela-sela mata. Ia tidak berhak menuntut tentang apa yang telah dilahirkan oleh matanya. Sebaliknya, mata berhak menuntut alasan mengapa ia harus menciptakan airmata dengan sempurna.
Di laci kamar berwarna merah muda, perempuan itu menyimpan dengan hati-hati setiap kenangan yang tak beraturan; seperti labirin. Pikirnya labirin adalah pintu selamat jalan, dimana ia bisa menyingkirkan bahkan mengusir dengan halus penyebab luka matanya.
Berdialog
Saat kecil matahari sering mengajariku bagaimana cara berdialog dengan kucup bunga di pekarangan. Itu adalah hal yang wajar, karena sejak dulu matahari memang suka bercengkerama dengan semua yang nampak olehnya. Cerewet pikirku.
Halaman Akhir
Kuharap ada bekas yang tertanam, yang merambat, yang tumbuh membumbung dalam dirimu; doa tanpa tanda tanya.
Terluka
Aku baru saja melihatmu terluka pada kepulan asap yang melewati cerobong waktu yang menjulang tinggi yang bayang-bayangnya selalu menghadap ke barat. Lidah api menyisakan arang yang selalu kau sudutkan dengan pertanyaan yang selalu menahan air untuk ia minum.
Dongeng Kanak-kanak
Sewaktu kanak-kanak ibu sering mengantarku kepada lelap dengan kata-kata yang selalu ia sangga dibawah kelopak matanya yang berkaca-kaca.
Di akhir dongengnya ia selalu berkata bahwa “Suatu saat kau akan menidurkanku dengan kata-kata yang membuat matamu berkaca-kaca”
Arif Tunjung Pradana, lahir pada 16 Juli 1997 dan besar di tanah kelahirannya Wonogiri, Jawa Tengah. Mengenyam pendidikan di Universitas Sebelas Maret.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]