Hankam

Proyek NAMRU-2, AFRIMS dan 400 Fasilitas Riset Biokimia AS di Berbagai Belahan Dunia

riset biomedis, riset biokomia, laboratorium biokimia, proyek biokimia, afrims, nusantaranews
ILUSTRASI – Riset biomedis. (orientalreview.org)

NUSANTARANEWS.CO, JakartaNaval Medical Research Unit Two (NAMRU-2) adalah laboratorium riset biomedis milik Angkatan Laut Amerika Serikat. Keberadaan NAMRU-2 di Indonesia boleh dibilang cukup misterius sejak Januari 1974. Namun, pada Oktober 2009, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menutup laboratorium milik AS tersebut. Menurut Menkes, NAMRU-2 tak memberikan manfaat untuk Indonesia, dan justru sebaliknya, membahayakan.

Global Future Institute (GFI) sependapat dengan Siti Fadilah Supari. Menurut GFI, keberadaan NAMRU-2 tidak memberikan manfaat untuk Indonesia. Dan sebaliknya, justru menjadi ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia sebagai perang nir militer melalui bidang kesehatan. Bahkan terungkap pula, bahwa beberapa tahun silam kantor NAMRU-2 di Indonesia menjadi markas terselubung intelijen Angkatan Laut Amerika Serikat untuk pengembangan senjata biologis pemusnah massal.

Lalu apa masalahnya? Ketua Relawan Kesehatan Indonesia Agung Nugroho mengungkapkan peneliti NAMRU-2 bebas bergerak ke seluruh pelosok negeri untuk mengambil sampel virus dari darah orang Indonesia. Dalam hal ini, NAMRU-2 dikatakan bergerak di bidang kesehatan, akan tetapi personelnya dari US Navy. Dirinya menjelaskan, NAMRU-2 ditengarai mengambil sampel virus dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi senjata biolog (biological weapon).

Perjuangan Siti Fadilah Supari menutup NAMRU-2 di Indonesia berlangsung rumit. Banyak penolakan. Termasuk dari Komisi I DPR RI. Waktu itu.

Sekadar informasi, NAMRU-2 secara resmi terdaftar di bawah komando Pusat Riset Medis Angkatan Laut AS (Naval Medical Research Center) yang berlokasi di Silver Spring, Maryland, Amerika Serikat. Setelah di Indonesia ditutup, NAMRU-2 fasilitas NAMRU-2 kemudian dipindahkan ke Hawaii.

Terlepas dari itu, pihak AS sepuluh tahun silam telah melayangkan proposal barunya untuk kelanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia. Namun, hingga kini kabar soal keberlanjutan proyek NAMRU-2 di tanah air surut dari pemberitaan media massa sehingga jarang terdengar publik. Terlebih, Siti Fadilah Supari kini sudah meringkuk di balik jeruji besi dalam kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun 2005. Dan pada tahun 2017, Siti divonis 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Lalu bagaimana kabar proyek NAMRU-2 AS di Indonesia? Global Future Institute (GFI) pada tahun 2012 mengendus sebuah informasi didapat dari lingkaran dalam pemerintahan bahwa Kementerian Luar Negeri RI mempersiapkan sebuah nota kesepakatan baru dengan pihak Amerika Serikat mengenai keberlanjutan proyek NAMRU-2 di Indonesia. Inti dari kesepakatan baru itu ialah mengizinkan kembali proyek NAMRU-2 beroperasi di tanah air.

GFI menyebut, sumber internal Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mendesak Indonesia membuka kembali proyek penelitian NAMRU-2 dengan dalih semakin menyebarnya virus HINI sebagai penyebab flu babi di dunia, sehingga keberlanjutan penelitian NAMRU-2 dalam bidang penyakit menular semakin penting untuk dibuka kembali di Indonesia.

Selain itu, GFI juga mengendus adanya sebuah proyek baru dari Pusat Riset Biomedis AS, yakni AFRIMS (The Armed Forces Research Institute of Medical Services). AFRIMS ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2 dan telah menyebar di sejumlah negara Asia Tenggara seperti Laos, Vietnam, Singapura dan Filipina.

Namun demikian, terkait AFRIMS memang masih memerlukan eksplorasi dan investigasi secara lebih mendalam.

Sekadar tambahan, AS disinyalir memiliki 400 laboratorium serupa di seluruh dunia yang dibiayai oleh Washington.

Diskusi terbatas nusantaranews.co menghasilkan sejumlah pertanyaan besar terkait kasus-kasus wabah infeksi berbahaya yang terdeteksi di Afrika dan Asia Selatan selama ini. Boleh jadi, kasus itu merupakan akibat dari penelitian fasilitas militer AS tersebut, terutama terkait masalah keamanan. Seperti dilaporkan baru-baru ini, ahli mikrobiologi Amerika menemukan sebuah kotak kardus berisi sampel cacar yang telah terlupakan di ruang penyimpanan NIH di tahun 1950-an.

Baca Juga:  Dugaan Pengelabuhan Data Siswa Yang Telah Memiliki Anak, KKPMP Datangi SMAN 01 Kauman

Kasus lain misalnya terkait skandal pengiriman sampel beberapa spora antraks aktif ke Departemen Pertanian AS yang kemudian ternyata telah terkontaminasi secara tidak sengaja dengan H5N1, yang merupakan sampel virus flu burung. Skandal spora antraks ini kemudian menimpa setidaknya 20 negara bagian, serta sebuah pangkalan militer di Korea Selatan, yang mengakibatkan 22 personil memerlukan perawatan medis serius.

Di Ukraina, ada peningkatan wabah penyakit berbahaya. Tapi relatif tidak mendapatkan perhatian media, kecuali perwakilan UNICEF di Ukraina dan beberapa stasiun TV lokal negara tersebut.

Kemudian, di Kota Izmail wilayah Odessa pada musim panas 2016 silam. Di wilayah ini, sebuah wabah infeksi usus misterius telah menimpa anak-anak. Lebih dari 400 anak dirawat di rumah sakit dalam waktu 24 jam. Penyebab wabah tersebut belum teridentifikasi. Pada tahun yang sama, Ukraina kembali ‘diserang’ oleh wabah flu babi aneh, yang menyebabkan SARS – sehingga Uni Eropa menerapkan larangan impor ayam selama enam bulan dari Ukraina.

Sebelum itu juga telah terjadi serangan infeksi flu burung di wilayah Kherson. Dan tahun 2017 muncul epidemi botulisme yang tak dapat dijelaskan – akibat dari memakan ikan yang terkontaminasi, yang menyebabkan kejang otot dan mati lemas. Lembaga medis tidak memiliki antitoksin yang tersedia, sehingga puluhan warga Ukraina meninggal dalam penderitaan yang sangat menyiksa.

Pada bulan Agustus tahun 2005, Kementerian Kesehatan Ukraina dan Departemen Pertahanan AS telah menandatangani sebuah bertajuk Kesepakatan mengenai Kerjasama di Area Pencegahan Perkembangan Teknologi, Patogen dan Keahlian yang Bisa Digunakan dalam Pengembangan Senjata Biologis.

Begitu kesepakatan tersebut dilakukan, sebuah institusi yang dikenal sebagai Laboratorium Referensi Pusat (CRL) dibuka di Odessa, berbasis di Institut Penelitian Anti-Plasma Mechnikov dan mengkhususkan diri dalam studi patogen manusia.

Baca Juga:  Tim Gabungan TNI AL Nunukan Gagalkan Penyelundupan Sabu Seberat 1,8 Kg Dan 500 Butir Ekstasi

Menurut catatan, Departemen Pertahanan AS telah menginvestasikan sekitar US$ 3,5 juta ke dalam proyek tersebut, dengan pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktornya yang lama, Black & Veatch Special Projects Corp, di samping laboratorium diagnostik di Dnipropetrovsk, Lviv, Luhansk, dan Merefa, dekat Kharkov. Menarik untuk dicermati bahwa keamanan telah digenjot di laboratorium di Merefa, yang sekarang menjadi fasilitas Tingkat Keamanan Hayati 3, di mana mereka diberi wewenang untuk bekerja pada strain virus manusia mematikan dan bakteri yang sesuai untuk digunakan sebagai senjata biologis.

Tidak satu pun dari CRL berada di bawah kendali yurisdiksi negara tempat mereka berada, dan pekerjaan mereka sangat tertutup bagi orang luar. Personelnya terutama warga negara AS yang memiliki kekebalan diplomatik. Dengan kata lain, tidak ada perwakilan dari negara tuan rumah yang diizinkan mengakses laboratorium ini, termasuk otoritas kesehatan masyarakat sekalipun.

Jumlah karyawannya antara 50 sampai 250 orang – melebihi jumlah staf yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan semacam ini di fasilitas sipil. Laboratorium tersebut biasanya dipimpin oleh seorang perwira tinggi Angkatan Darat AS yang ahli dalam senjata biologis dan terorisme biologis.

Kasus ini persis seperti fasilitas NAMRU-2 di Indonesia yang tak dapat dikendalikan dan diakses pemerintah, serta karyawannya memiliki kekebalan diplomatik.

Berikutnya, laboratorium serupa juga dibuka di Kiev, Kherson, Vinnytsia, Ternopil, dan Uzhhorod sebelum tahun 2014. Sebanyak US$ 183 juta telah diinvestasikan dalam proyek-proyek ini. Sejak kudeta tahun 2014, kejadian di Ukraina terkait dengan isu-isu ini telah ditahan dengan ketat dari pers, bahkan wartawan dan pers independen Ukraina tidak diizinkan untuk membuat penyelidikan. (ed/edd)

Editor: Eriec Dieda & Alya Karen

Related Posts

1 of 3,049