Hankam

Presiden Jokowi Tegas Soal Kedaulatan Negara, Terorisme Disebut Salah Satu Ancaman Serius

Rapim Kemhan 2020
Presiden Jokowi menghadiri Rapim Kemhan 2020. (Foto: Puspen TNI)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Presiden Jokowi hadir langsung dalam Rapim Kementerian Pertahanan yang digelar di Kompleks Kemhan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (23/1) kemarin. Jokowi menyampaikan sejumlah hal dalam kesempatan yang dihadiri Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Seluruh jajaran TNI dan Polri hadir dalam Rapim yang membahas seputar kedaulatan dan keamanan NKRI.

Presiden menegaskan, kedaulatan negara tidak bisa ditawar atau dinegosiasikan. Dia pun memerintahkan kepada seluruh jajaran TNI dan Polri untuk bekerja keras dalam memperkuat dan menjaga kedaulatan negara.

Tak hanya itu, Jokowi juga mengingatkan pentingnya kemampuan untuk mengatasi ancaman yang kompleks dan berimplikasi terhadap pertahanan negara. Misalnya konflik internal, perang asimetrik, gerilya, perang proxy, perang hybrid yang menggabungkan strategi militer dan non-militer, serta konvensional dan non-konvensional.

“Ke depan tantangan kita semakin berat, tantangan besar pertama adalah semakin luasnya spektrum konflik di berbagai belahan dunia,” kata presiden.

Terorisme boleh disebut sebagai salah satu ancaman paling serius di abad 21. Dewasa ini, gerakan terorisme merambah dunia, tak terkecuali di Indonesia. Sehingga, penanggulangannya harus dilakukan dengan cermat dan serius. Terlebih, secara akademis militer di seluruh dunia juga bertugas menghadapi terorisme.

Baca Juga:  Hut Ke 78, TNI AU Gelar Baksos dan Donor Darah

Menurut pengamat pertahanan, Susaningtyas Kertopati, implikasi pemberantasan atau penanggulangan terorisme oleh militer dan polisi berbeda perspektif hukumnya karena terorisme bisa menjadi kejahatan terhadap negara atau kejahatan terhadap publik.

“Penanganan terorisme di Indonesia selama ini cenderung masih dalam klasifikasi kejahatan terhadap publik sehingga cenderung ditangani Polri semata. Jika terorisme mengancam keselamatan presiden atau pejabat negara lainnya sebagai simbol negara, maka terorisme tersebut menjadi kejahatan terhadap negara dan harus ditanggulangi oleh TNI,” kata Susaningtyas di Jakarta, Jumat (24/1/2020).

Dia berpendapat, apabila jenis senjata dan bom yang digunakan oleh teroris masih tergolong konvensional, maka masuk kewenangan Polri. Tapi, jika senjata dan bom yang digunakan oleh teroris tergolong senjata pemusnah massal (weapon of mass deatruction) seperti senjata nuklir, senjata biologi, senjata kimia dan senjata radiasi, maka yang menangani adalah TNI.

“Selain subyek ancaman teror dan jenis senjata, maka rezim kedaulatan suatu negara juga berimplikasi kepada kewenangan penegakan hukum,” terang dia.

Teror juga erat kaitannya dengan ancaman kedaulatan negara. Sehingga, kata dia, jika kejahatan teror dilakukan di wilayah kedaulatan penuh Indonesia, maka Polri dan TNI bisa bersama-sama menanggulangi.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

“Tetapi jika rezimnya adalah hak berdaulat, maka TNI yang melakukan aksi penanggulangan,” ujar pengamat yang karib disapa Nuning ini.

Dia mengambil contoh, jika kejahatan teror terjadi di kapal yang berlayar di Zone Economic Exclusive (ZEE) Indonesia atau menyerang kilang pengeboran minyak PT Pertamina 15 mil dari pantai, maka teroris harus dilumpuhkan oleh Pasukan Khusus TNI.

“UU Teror di Indonesia juga patut mengakomodasi hukum-hukum internasional yang juga berlaku. Jadi, UU yang sudah ada sudah memberi amanat dan mandat baik kepada Polri dan TNI. Yang lebih penting adalah bagaimana TNI menjabarkan kewenangan sesuai 4 kriteria tersebut ke dalam suatu peraturan yang dapat diterima oleh Polri dan instansi pemerintah lainnya,” jelas Nuning.

Terpenting, lanjut dia, ialah adanya kesadaran kolektif untuk menerima nilai dan norma universal dalam hukum internasional untuk menanggulangi terorisme sehingga tidak ada rebutan kewenangan. Overlapping kewenangan bukan untuk dipertentangkan tetapi seharusnya sebagai modal untuk semakin sinergi.

Overlapping hukum internasional dan hukum trans-nasional harus dilihat dari perspektif kewenangan negara secara individu maupun sebagai secara kolektif untuk penegakan hukum sekaligus penegakan kedaulatan,” imbuh Nuning.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Ia menambahkan, terorisme sebagai kejahatan publik dan sebagai kejahatan negara tidak selalu bertumpu pada definisi International Criminal Court (ICC).

“Amerika Serikat membuat Patriot Act untuk mengkategorikan kejahatan terorisme sebagai terorisme. Bukan tindak pidana biasa sehingga tidak dapat didampingi pembela, dan juga bukan tawanan perang sehingga tidak mendapat hak-hak sebagai tawanan,” papar Nuning lagi.

“Jadi, hukum internasional untuk koneksi hukum internasional dan transnasional menjadi rujukan hukum nasional untuk menanggulangi terorisme berlaku lex specialis derogat lex generalis,” sambung dia.

Selanjutnya, kata dia, di laut sesuai Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 17 tahun 1985 memang hanya memberi kewenangan hukum kepada TNI AL untuk menanggulangi terorisme baik di perairan laut teritorial maupun di perairan zona tambahan, ZEE dan Landas Kontinen bahkan sampai ke laut internasional. Demikian juga kepada TNI AU jika terorisme dilakukan melalui media udara. TNI AU memiliki kewenangan menembak jatuh semua kendaraan udara (pesawat, drone, UAV) yang sudah diklasifikasikan wahana tindak terorisme. (eda)

Related Posts

1 of 3,095