Oleh: Elsa Nuriyani*
NUSANTARANEWS.CO – Islam adalah agama sempurna yang menyusun dan mengarahkan setiap persoalan kehidupan, termasuk dalam urusan bisnis dan transaksi keuangan. Dengan tuntunan perkembangan zaman industry keuangan syariah lahir dan tumbuh menjadi sistem keuangan yang alternative-solutif. Industry keuangan syariah dijalankan berdasarkan prinsip dan sistem syariah, dimana operasional dan praktik lembaga keuangan syariah menjadi perangkat yang mendasar dalam lembaga syariah itu sendiri. Adapun fungsi dari lembaga keuangan islam adalah, pertama, mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk deposito dan investasi, kedua, menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dari bank, dan ketiga, menyediakan layanan dalam bentuk layanan perbankan syariah (Nurhisam, 2016).
Sistem keuangan islam secara substansial berbeda dari industry keuangan yang masih menggunakan sistem konvensional. Regulasi terkait kepatuhan syariah menjadi salah satu aspek hukum dalam industry keuangan syariah. Tuntutan meningkatkan kepatuhan syariah dalam lembaga islam merupakan sebuah tantangan yang dihadapi setiap negara yang memiliki keinginan untuk mengembangkan bisnis keuangan berbasis islam (A. Prabowo & Bin Jamal, 2016).
Baca Juga:
- KSEI IsEF SEBI Gelar Dauroh 2: Sprit Dakwah Ekonomi Islam
- Fintech Dorong Pertumbuhan Keuangan Syariah
- Peneliti: Pemerintah Tak Optimalkan Komite Keuangan Syariah
Lembaga keuangan islam saat ini seperti hal nya di Indonesia menggunakan Standar Dewan Syariah untuk mengatur dan memastikan bahwa suatu lembaga keuangan islam sesuai dengan ketentuan dan prinsip hukum islam. Syariah Supervisory Board (SSB) atau Dewan Pengawas Syariah tampaknya lebih diterima oleh badan pengaturan standar internasional, seperti Organisai Akuntansi dan Audit untuk lembaga Keuangan Islam (AAOFI). Sebagaimana Al-shalih mendefinisikan SSB sebagai sekelompok ulama yurisprudensi dan ekonom yang mengarahkan dan mengawasi kegiatan bank untuk memastikan kepatuhan dengan ketentuan syariah.
Di negara-negara seperti Malaysia, Yordania, Kuwait, dan Lebanon, SSB telah diwajibkan oleh regulator institusi sebagai syarat untuk menawarkan layanan syariah. Hal ini menjadi persyaratan sebelum masuk ke lembaga-lembaga internasional tertentu, seperti dalam kasus Asosiasi Internasional Bank Islam.
Selain itu banyaknya lembaga yang menawarkan sarana untuk keuangan islam telah menganggap peran SSB tidak jelas dan dianggap sebagai praktik tata kelola yang buruk. Salah satu masalah yang mempengaruhi kepatuhan syariah terhadap SSB yaitu, di beberapa negara tidak ada dasar hukum untuk mendirikan SSB dalam Lembaga Keuangan Islam. Bahkan ketika ada persyaratan hukum, keputusan mereka dianggap tidak jelas apakah keputusan tersebut mengikat atau hanya sebatas nasihat.
Seperti halnya beberapa dari anggota institutions offering Islamic Financial Services (IIFS) tidak mematuhi kepatuhan SSB kecuali mereka diberi wewenang oleh direktur lembaga keuangan. Adapun kritik utama yang diarahkan kepada IIFS adalah kurangnya transparasi secara umum dalam tata kelola syariah. Al-shabili menguraikan 3 elemen indepedensi SSB :
- Independensi Pekerjaan, supervisor syariah eksternal harus ditunjuk dari staf IIFS dan harus langsung melaporkan kepada SSB
- Kemandirian keuangan, hal ini akn tercapai apabila biaya anggota SSB tidak ditentukan oleh jumlah produk atau suatu kontrak yang disetujui, tetapi sesuai upaya dalam melakukan suatu pekerjaan
- Kemerdekaan dalam hal pemecatan dan pengangkatan, anggota SSB harus ditunjuk oleh otoritas di IIFS, sedangkan auditor syariah internal dapat ditunjuk dan diberhentikan oleh keputusan administrative, tunduk terhadap peraturan SSB.
Isu lain yang harus diatasi adalah apakah anggota SSB dapat menerima fasilitas kredit dari IIFS tempat mereka mengkaji produk. Tidak ada batasan bagi anggota SSB untuk terlibat dalam hubungan semacam itu, terlepas dari ancaman terhadap independensi pengawas Syari’ah. Di Qatar, Bank Sentral (QCB) hanya membatasi anggota SSB dari menerima fasilitas kredit untuk penggunaan komersial, tetapi tidak untuk penggunaan pribadi. Adanya perdebatan bahwa hubungan antara Dewan syariah dan manajemen IIFS dapat melemahkan objektivitas auditnya. IIFS perlu menyatakan perlunya independensi SSB dan kekuatannya untuk mengakses catatan dan informasi yang diperlukan untuk memastikan kepatuhan syariah. Selain itu, harus menyatakan posisi dewan Syariah dalam struktur lembaga dan kebijakan IIFS tentang pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan anggota SSB (Alkhamees, 2013)
Sebagai langkah awal penyelesaian masalah ini adalah menetapkan standar khusus bagi para profesional yang bekerja dalam pengawasan syariah. Sebagai contoh di Negara Sudan, departemen hukum di Islamic Co-Operative Development Bank bergabung dengan SSB dalam proses penataan kontrak serta, Bank Pertanian Sudan, telah menunjuk pengacara, akuntan dan ekonom di SSB mereka. Isu lain terkait pembentukan SSB adalah memastikan keselarasan antar anggota. Sementara beberapa ahli cenderung mengambil pendekatan yang terbatas untuk menyetujui produk baru.
Adapun poin penting dari pembahasan ini adalah untuk menekankan bahwa, untuk sistem keuangan yang sehat dan menjaga kepercayaan investor harus mengakui perlu adanya intervensi dalam mengatur tata kelola syariah di IIFS. Selain itu, pengawasan Syari’ah harus diakui sebagai profesi independen. Seperti pengacara dan akuntan, anggotanya harus bertindak dalam kerangka kerja yang mendefinisikan status hukum, peran serta tanggung jawabnya.
*Elsa Nuriyani, Mahasiswa Akuntansi Syariah, STEI SEBI Depok
Daftar Pustaka
- A. Prabowo, B., & Bin Jamal, J. (2016). Peranan Dewan Pengawas Syariah terhadap Praktik Kepatuhan Syariah dalam Perbankan Syariah di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Lustum, 24(1), 113–129.
- Alkhamees, A. (2013). The impact of Shari ’ ah governance practices on Shari ’ ah compliance in contemporary Islamic finance. Journal of Banking Regulation, 14(2), 134–163.
- Nurhisam, L. (2016). Kepatuhan Syariah ( Sharia Compliance ) dalam Industri Keuangan Syariah. Journal Hukum Ius Quia Lustum, 23(1), 77–96.