Politiknya Kaum Sastrawan
Oleh: Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten
Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich, sejenis novel catatan harian yang menggambarkan hari-hari penuh penderitaan di sebuah tahanan ketika rezim Stalin berkuasa. Lebih detil lagi, novel itu menggambarkan kesadaran seorang religius yang hidup di tengah belantara manusia hiper-modern, dengan keniscayaan lahirnya penguasa zalim yang selalu membutuhkan korban dan tumbal. Tetapi, di tengah ancaman dan pukulan bertubi-tubi itu sang sastrawan tak mengenal kata putus asa melainkan goes on fighting, siap menghadapi segala cobaan dan ujian hidup yang menghadang.
Setelah pengakuan panitia nobel sastra tentang kebesaran nama Alexander Solzhenitsyn, terjadilah perdebatan panjang tentang fungsi para sastrawan dalam hubungannya dengan perubahan sosial-politik dunia. Anton Chekov memberikan penjelasan yang sangat prinsipil, bahwa tugas para sastrawan bukanlah menyelesaikan persoalan dunia melalui kekuatan politik karya-karyanya, akan tetapi mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara benar, di mana para pemegang kewenangan harus peka untuk menjawab pertanyaan mendasar yang diajukan sastrawan tersebut.
Kejujuran sastrawan dalam mengajukan pertanyaan, tidak akan menjebaknya dalam reifikasi, eufemisme maupun pendangkalan kata dan bahasa, mengingat kiprah sastrawan yang bergerak secara independen dan lepas dari kepentingan-kepentingan yang akan membatasi ruang gerak dan totalitasnya dalam berkreasi.
Dalam kaitan ini, Noam Chomsky cukup fasih membahasnya, bagaimana permainan kekuasaan selalu memanfaatkan kepentingan politiknya dengan menciptakan pembakuan kata yang dimaknai dan ditafsir secara sepihak, lantas dipropagandakan agar menjadi mindset dan kerangka berpikir di tengah masyarakat yang dikuasainya (Lihat: Liber Amicorum 100 Tahun Bung Karno, Noam Chomsky, Hasta Mitra 2001).
George Orwell menggambarkan pula bagaimana korupsi intelektual dan pendangkalan bahasa masih terus diproses dan dikembangkan. Hingga, muncullah term-term politikus dengan istilah “Newspeak” sebagai taktik penguasa untuk mengubah dan memelintir opini publik, lalu fungsi bahasa menjadi terkaburkan dan tidak memiliki bobot makna. Pada titik ini, di saat pemerintah melakukan kejahatan politik yang disengaja, cukuplah dikatakan sebagai “kebijakan pemerintah yang tidak mengenai sasaran”.
Bahkan, ketika oknum penguasa memerintahkan kaki-tangannya untuk membakar buku Pramoedya atau suatu kantor redaksi harian yang dituduh “ekstrim tengah” atau “organisasi tanpa bentuk” (OTB), mereka akan menyampaikan kepada pers yang mendukungnya, bahwa “bangunan dan buku-buku itu telah dilahap oleh si jago merah”.
Dalam permainan semantik ini, para politisi dan penguasa gemar memanfaatkan term-term yang justru mempunyai arti sebaliknya dari seorang pemimpin yang tulus mengabdi untuk pembangunan dan kesejahteraan umat. Seorang pakar simbol, Ludwig Wittgenstein, setelah 12 tahun mengamati sepak-terjang Hitler bersama kementerian propaganda NAZI yang dibentuknya berkesimpulan, bahwa di kalangan para politisi, bahasa tidak memiliki arti baku seperti yang menjadi kesepakatan umum.
Lebih jelas lagi, filosof dan budayawan Wina ini menjelaskan, “Selama berabad-abad para politisi dan penguasa saling berperang dalam sengketa teori-teori politik, tanpa mereka sadari bahwa ada permainan kata dan semantik yang menjadi pangkal permusuhan antar mereka. Mereka menafsir kata-kata menurut selera sendiri hingga perbincangan paling pokok untuk meningkatkan taraf hidup rakyat, yang sebenarnya simpel dan sederhana, dibuat kabur dan simpang siur.”
Para penulis dan intelektual Rusia cukup peka membaca gejala-gejala permainan semantik penguasa yang telah dibongkar oleh para sastrawannya. Dan selaku penghormatan kepada kaum sastrawan yang berkiprah mengangkat perubahan radikal kepada kemajuan bangsanya, Vladimir Putin pernah menelpon Solzhenitsyn di usianya yang hampir mencapai 90-an tahun, namun masih fasih mengatakan bahwa dunia sastra sanggup membongkar term-term politik yang dikaburkan oleh para politisi dan penguasa. Dunia sastra menegakkan keadilan, menggugat kesewenangan dan menelanjangi pendangkalan pikiran. Dengan cara-caranya yang elegan, serta dengan kekayaan linguistiknya, Tuhan menganugerahi kelebihan tersendiri pada orang-orang aneh ini.
Pada prinsipnya, para sastrawan tidak mau terkecoh oleh term-term yang dibakukan oleh politisi dan penguasa. Justru mengungkap suatu “redefinisi” atau “rethinking” agar masyarakat menyadari kekhilafannya, memahami apa-apa yang dipersulit dan dikaburkan oleh para politisi. Solzhenitsyn bicara dalam konteks humanisme universal, bahwa siapapun yang diperlakukan tidak adil, baik mereka itu berlabel kiri-kanan, Timur-Barat, Yahudi-Palestina, komunis-kapitalis, militer-sipil, bahkan dalam ideologi dan agama apapun, tetap harus dibela dan dibangkitkan martabatnya kepada hak-hak kemanusiaannya yang berdaulat.
Dan sebaliknya, bagi siapapun yang melakukan kesalahan, dari bangsa, kasta dan kepercayaan apapun, tetap harus dibuktikan secara adil bahwa mereka benar-benar bersalah. Dan harus direhabilitasi hak-hak kemanusiaannya jika mereka tidak terbukti melakukan kesalahan. Secara tidak langsung, Solzhenitsyn mengungkap bahwa kebenaran yang absolut berada di tangan Tuhan, dan setiap manusia, sekuasa apapun tidak layak melangkahi hak-hak ketuhanan untuk bertindak secara tidak manusiawi.
Di negeri ini, ketaatan dan kepatuhan buta dari penguasa pribumi yang merupakan abdi-abdi lokal dari kepentingan adikuasa (sebagai induk semang), tengah diungkap oleh para intelektual muda, jurnalis dan budayawan yang turut bertanggungjawab dalam pembangunan budaya dan kedewasaan peradaban Indonesia. Tidak sedikit kaum muda itu yang berjuang turun ke lapangan, bukan sekadar menyentil persoalan kapitalisme, tetapi “menohok” langsung ke muka para birokrat dan penguasa yang mestinya memberi teladan baik dan mumpuni, agar Indonesia tidak lagi terjerembab ke dalam dekadensi dan degradasi moral yang semakin parah lagi.