Berita UtamaPolitik

Pimpinan Muhammadiyah Jateng Ingatkan Kebangkitan Neo-PKI Melalui LGBT

NUSANTARANEWS.CO, Kudus – Kendati Partai Komunis Indonesia (PKI) berhasil dihancurkan pasca dipukul mundur beberapa tahun silam, namun sebagai paham (isme), ideologi komunis di Indonesia sejatinya masih terus bergerliya secara masif.

Pendapat yang mengatakan PKI telah mati sesungguhnya tidak benar, sebab sampai saat ini partai berpaham komunis itu sesungguhnya telah merubah wajahnya (Neo-PKI). Mulai dari corak gerakannya sampai pada model kaderisasi yang berjalan senyap.

Hal ini dibenarkan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Rozihan yang menyatakan bahwa gerakan komunisme saat ini, tidak sama dengan dulu. “Bangkitnya PKI saat ini melalui isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Kalau dulu, melalui gerakan bersenjata dan kekerasan,” kata dia saat isi acara di Kudus, Jawa Tengah, Sabtu (29/4/2017).

Dirinya menambahkan bahwa ciri-ciri komunisme yang gampang dipahami, yaitu ateis (tidak mengimani adanya Tuhan), kurang menghargai manusia sebagai individu, dan mengajarkan pertentangan kelas.

Baca Juga:  Atas Instruksi Raja Maroko, Badan Asharif Bayt Mal Al-Quds Meluncurkan Operasi Kemanusiaan di Kota Suci Jerusalem selama Ramadhan

“Selain itu, komunisme menghendaki revolusi terus menerus,” terangnya.

Pada kesempatan berbeda, Wakil Sekjend PBNU Abdul Mun’im DZ pada Mei 2016 silam pernah mengatakan, jika PKI tidak boleh muncul lagi di Indonesia. Menurutnya, PKI masih ada sampai sekarang meskipun secara kuantitas relatif minor.

Mun’im membantah kalangan yang latah menyebut PKI sudah tidak eksis di Indonesia pasca dipukul mundur. Pendapat yang mengatakan PKI telah mati tidak dibenarkan Mu’im.

“Perlu diketahui oleh publik bahwa PKI masih tetap ada sampai sekarang sekalipun kecil secara kuantitasnya. Tapi kita harus waspada dan tidak boleh mengabaikannya. PKI akan tetap berbahaya, walaupun organisasi sudah dilarang pemerintah sesuai dengan TAP MPR tapi masih harus tetap kita perhatikan dengan serius tahun 65 itu yang paling krusial pemberontakan dilakukan untuk yang kesekian kalinya,” ungkap dia.

Pewarta/Editor: M. Romandhon

Related Posts

1 of 5