NUSANTARANEWS.CO – Pada awal bulan Mei, di kawasan Kuningan, Jakarta, LPPKB (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara) kembali menyelenggarakan diskusi terbatas dengan tema “Pembakuan Pemahaman Pancasila Sebagai Dasar Negara, Ideologi Nasional dan Pandangan Hidup Masyarakat.” Ketua LPPKB, Soeprapto mengatakan bahwa kajian kali ini temanya memang sangat mendasar bagi kehidupan kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terutama menyangkut hal ihwal yang menjadi kepedulian kita bersama mengenai tata dan pola kehidupan bersama.
Adapun fokus masalah yang akan kita bahas dalam diskusi terbatas kali ini adalah “Upaya Standarisasi atau Pembakuan Pancasila sebagai Dasar Negara, Ideologi Nasional, dan Pandangan Hidup Masyarakat, kata mantan Kepala BP7 ini.
Lalu mengapa Pancasila perlu pembakuan? Apakah Pancasila ini belum baku? Dari sisi mana pembakuan ini ditinjau? Bukankah Pancasila telah ditetapkan dengan berbagai ketentuan yang tertera dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan?
Bukankah sejak tahun 1960 sampai 2003 telah terdapat berbagai ketetapan MPRS dan MPR yang menetapkan berbagai kedudukan, peran dan fungsi Pancasila bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?
Apakah masih perlu diadakan pembakuan atau standarisasi Pancasila?
Pertanyaan dan pernyataan tersebut pantas dan sah untuk dikemukakan. Akan tetapi kalau kita merenung sejenak dengan tenang, mengadakan introspeksi, retrospeksi dan kontemplasi, ternyata masih begitu banyak hal ihwal tentang Pancasila yang perlu dikaji untuk dijadikan pendapat dan kesimpulan yang baku, agar generasi setelah kita ini tidak perlu lagi mempersoalkan yang telah standar dan baku tersebut, ujar Soeparapto.
Begitu beragamnya rumusan Pancasila, misal nomor urut Pancasila, itu perlu diucapkan dalam penyampaian Pancasila, atau tidak? dan masih banyak hal yang perlu disepakati bersama untuk dijadikan hal ihwal baku mengenai Pancasila. Memang telah terdapat Peraturan Presiden yang mengatur hal tersebut, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat ke-aneka ragaman pendapat. Hal yang dikemukakan di atas merupakan hal ihwal yang relatif sederhana, tambahnya.
Selama puluhan tahun mengkaji Pancasila, Soeprapto mengatakan bahwa terdapat hal ihwal yang lebih mendasar, misal mengenai pengertian dan paham Pancasila sebagai Dasar Negara, sebagai Ideologi Nasional, sebagai Pandangan Hidup, sebagai Ligatur dan Falsafah Bangsa, yang masih perlu terbentuknya satu bahasa. Apalagi lagi kalau kita memasuki wilayah implementasi Pancasila masih belum terdapat satu kata sepakat, terangnya.
Ada sebuah buku yang bertajuk “Pancasila” berjudul “Pedoman Umum Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Bernegara” – tanpa mengurangi penghargaan, karya tersebut tampaknya perlu dikaji lagi agar memudahkan upaya kita dalam membakukan dan menentukan standar ke-Pancasila-an dimaksud.
Untuk itu, kata Soprapto, apa yang kita maksud dengan standar dan standarisasi? Merujuk kamus Webster’s Third New International Dictionary terbitan tahun 1959: Standard is something that is established by authority, costum, or general consent as a model or example to be followed, ketentuan ini dapat diterjemahkan secara bebas sebagai berikut:
Standar adalah hal ihwal yang ditentukan oleh instansi yang berwenang sebagai model atau acuan sebagai contoh yang harus diikuti. Standar memiliki kata sinonim seperti cretarion, gauge, yardstick. Selanjjutnya standardizalition bermakna the act, process, or resulting on standardizing, yang dapat diterjemahkan secara bebas adalah tindakan atau proses yang menghasilkan sesuatu standar.
Dengan demikian standarisasi yang ingin dihasilkan adalah terbentuknya suatu kesepakatan yang diakui sah mengenai hal ihwal yang berkaitan dengan ke-Pancasila-an, tegas ahli pendidikan ini.
Jadi diskusi ke-Pancasila-an ini, menurut Soeprapto bukanlah diskusi awal dan terakhir, tetapi perlu ditindak lanjuti – terutama untuk mendorong lembaga lain agar diskusi ini menjadi kegiatan yang berkelanjutan. (Agus Setiawan)