NUSANTARANEWS.CO – Setiap bulan Mei, entah kenapa kampungku selalu resah. Satu dua warga mulai menceracau, ngomyang dan dremimil, ngomong soal kerusuhan, tragedi, menyulut persoalan pada warga kampung yang biasanya tenang.
Apalagi Pak Tani Mulya yang lugu, yang tak neko-neko, yang siapapun percaya akan keluguan dan kejujurannya, ikut bersuara soal tragedi Mei itu berdasar atas penglihatan dan pendengaran yang tak disangka-sangkanya datang. Dan yang lain juga mulai merasa melihat dan mendengar hal sama.
Pak Amir, Ketua RT kami sesungguhnya sudah berkata semua tak perlu dibesar-besarkan toh mereka orang yang sudah mati, tetapi entah kenapa selalu ada warga yang tak puas, ingin marah, seperti berangasan, apalagi saat semua dihubungkan dengan politik. Ya politik!
Saya sebagai guru SD juga coba menahan diri, namun dari semua cerita yang mengaku melihat dan mendengar, hanya cerita dari Pak Tani Mulya yang saya percaya. Dia adalah teman saya sedari kecil. Jadi saya tahu betul sikap dan wataknya.
***
Untuk meredakan gejolak kampung yang memanas, Pak RW dan Pak RT akan mengumpulkan para warga, dan saya, yang dianggap salah satu pinisepuh diminta untuk bicara juga, semata agar situasi jadi ayem dan tentram.
Guna hal itu, saya menemui Pak Tani Mulya untuk mengetahui persisnya bagaimana dia mengetahui dan mendengar para arwah itu bicara. Seperti biasa saya memanggilnya dengan panggilan Pak lik, karena sebenarnya dia juga terbilang saudara karena buyut kami sama.
“Aku melihat sendiri, dan mendengar percakapan antara Wiji Thukul dan Soeharto.”
“Pak Harto?”
“Iya Pak Harto, presiden kita dulu.”
“Wiji, Wiji Thukul yang penyair itu?”
“Iya. Kamu orang sekolahan mesti lebih tahu ketimbang wong tani kayak aku.”
“Iya Lik, terus bagaimana Lik?”
“Mereka ngobrol ngalor ngidul, santai, seperti tak ada permusuhan seperti berita jaman di dunia dulu.”
“Iya tho Lik?”
“Bahkan mereka main catur bersama sambil ngopi yah sesekalilah mereka nyinggung para pemimpin kita.”
“Apa yang diomongkan, Lik?”
“Ya itu soal pemilu.”
“Wah jadi panas dong lik.”
“Panas kan di sini, mereka hanya cengengesan saja kok, ya buat lucu-lucuan, kenapa seh agama jadi persoalan memilih pemimpin, kenapa seh kebenaran itu jadi samar-samar dan tak jelas, kenapa seh media ini bilang begini media lain bilang begitu, ndak bingung kan masyarakat. Apalagi sekarang ada razia buku segala, tambah resah masyarakat.”
“Mereka bilang gitu, Lik.”
“Iya.”
“Hahaha.”
“Wah paman guru kok malah tertawa?”
Dia memanggilku memang dengan panggilan paman guru. Paman karena saudara satu buyut untuk panggilan anaknya pada saya, sedangkan guru adalah profesi keseharian.
“Iya, tentu saja saya tertawa wong pembicaraannya itu memang pantas ditertawakan, hahaha.”
Pak Tani Mulya juga ikut tergelak, “Hahaha.”
Saya sedikit kaget, namun demi kesantunan, dan tertawa itu memang menyenangkan saya kembali tertawa lagi, lebih keras, lebih kencang.
“Hahahahaha.”
Kami jadi tertawa berbarengan, terbahak-bahak, sampai istri saya menegur, “Pakne, ada apa tho?”
“Oh maaf, maklum ketemu sohib lama itu memang menyenangkan hingga sering kelupaan, hehehe.”
“Ooo kukira kesurupan berjamaah,” sahut istri cengengesan.
***
Sehari sebelum rembug warga, malam-malam tiba-tiba pintu rumah saya diketuk orang.
“Eh Lik, ada apa kok malam-malam?”
“Anu paman guru, saya melihat lagi, maaf, tadi saya ronda, lewat sini lihat lampu rumah paman guru masih nyala berarti belum tidur, saya beranikan mengetuk pintu.”
“Oya nggak apa-apa, Lik. Masuk Lik…”
“Nggih maturnuwun.”
Setelah Lik Tani Mulya duduk dengan tenang, dan meminum segelas air putih yang saya berikan, dia mulai bicara.
“Paman guru, sekarang mereka bicara soal pembakaran, toko-toko dibakar, bahkan juga menyinggung soal komunisme segala, soal balas dendam.”
“Siapa yang bicara itu, Lik?”
“Sosoknya seperti perempuan, tua, rambutnya panjang dan putih, wajahnya seperti gosong.”
“Terus?”
“Terus datang lelaki tua berpakaian putih, menunduk takzim, dan bicara soal maaf, lebih baik lupakan, iya lupakan, kembalilah ke Tuhanmu dengan damai.”
“Begitu ya… terus bagaimana perempuan tua itu?”
“Ia hanya menunduk, dan menangis.”
Lik Mulya diam, saya juga.
“Benar apa yang dikatakan pak tua itu…” sambungku pelan.
“Iya… aku rasa demikian,” kata Lik Mulya dengan tenang.
***
Pada rembug warga terjadi kealotan, dan dari perbincangan saya dengan Lik Tani Mulya, saya bilang soal perdamaian, ini penting bagi keselarasan dan perasaan ayem kita dalam bermasyarakat. Dalam keharmonisan, warga bisa bekerja dengan tenang, hidup bersosial jadi rukun dan enak. Dan sebagai tambahan saya mengusulkan, untuk dilaksanakan piknik.
Ya piknik untuk semua warga, selain demi kesenangan, secara tak langsung srawung di tempat santai akan melunturkan ketegangan antar warga.
Semua setuju, dan piknik dua hari satu malam itu mulai ada hasilnya, penglihatan dan pendengaran akan percakapan antar arwah tak sampai dibawa-bawa ke politik, tak sampai jadi ketegangan. Malah seperti Lik Mulya ceritakan semua berujung pada guyonan, pada humor yang mengasyikkan, dan juga kedamaian. []
___________________
*Han Gagas, alumni UGM Yogyakarta, menulis cerpen dan novel. Cerpennya dimuat pelbagai media massa nasional dan daerah seperti Kompas, Horison, Republika, Tabloid Nova, Seputar Indonesia, Suara Merdeka, dan Kedaulatan Rakyat.
Menerbitkan novel Tembang Tolak Bala (LKiS, 2011) dan kumpulan cerpen Catatan Orang Gila (Gramedia Pustaka Utama, 2014). Dalam buku Catatan Orang Gila ada novela kisah para pasien rumah sakit jiwa. Buku tersebut termasuk Kumpulan Cerpen Indonesia Terbaik (Goodreads).
Karya-karyanya dikaji dan diteliti dalam sejumlah skripsi, ada pula yang diapresiasi dalam musik dan film pendek. Anggota MHSI (Mental Health Support Indonesia): sebuah komunitas pengidap skizofrenia dan bipolar disorder yang berupaya memajukan kesehatan mental para anggotanya.