Politik

Sistem Pemilu Terbuka Munculkan Diaspora Politik

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Indonesia Titi Anggraini/Foto Nusantaranews
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Indonesia Titi Anggraini/Foto Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Pemerinrah dan DPR bersepakat mulai tahun ini akan membahas Undang-Undang Pemilu serentak 2019. Masing masing partai politik mulai menunjukan sikapnya terkait rekayasa sistem kepemiluan di Indonesia. Salah satu isu yang hari ini mulai hangat diperbincangkan berkaitan metode pemberian suara sebagai salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan digunakan untuk Pemilu 2019 yang akan datang. Sepuluh fraksi di DPR berbeda pandangan terhadap hal tersebut.

PDIP, PKS, PKB, dan Golkar sudah mulai memberikan sinyal ingin merubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi sistem pemilu proporsional tertutup layaknya Pemilu 1999. Penguatan kelembagaan internal partai menjadi salah satu alasan dari pilihan sistem tersebut. Sementara PPP, PD, PAN, Nasdem, Gerindra, dan Hanura akan tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka karena, semakin terbangunnya hubungan representasi antara kandidat dan konsitituen yang semakin menguat.

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Indonesia Titi Anggraini, setiap sistem pemilu memang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sistem pemilu proposional tertutup sedikit banyak mampu memberi ruang institusionalisasi partai politik. Tetapi pertanyaannya institusionalisasi yang seperti apakah yang dimaksud? Mengingat praktik oligarki di internal partai politik masih belum bisa dihindari.

Mekanisme pencalonan misalnya, sambung Titi, jika pilihan sistem pemilu proposional tertutup tidak disertai elemen pendemokratisasian partai politik, maka akan sangat berpotensi meningkatkan oligarki di internal partai politik. Dari sinilah kemudian sistem pemilu proposional terbuka dengan menominasikan nama-nama calon anggota legislatif di dalam surat suara akan menjawab praktek oligarki tersebut dengan diberinya ruang bagi pemilih untuk memilih nama calon anggota legislatif sesuai kehendaknya.

“Semenjak pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009, sistem pemilu proposional terbuka memiliki berbagai perkembangan yang salah satunya membuka ruang “diaspora politik” bagi individu-individu yang memiliki kompetensi didalam atau diluar kader partai politik untuk ikut serta dicalonkan dalam pemilu,” jelas dia, Sabtu (30/7).

Baca Juga:  Jember Butuh Superteam Bukan Superman, Pepabri Dan Relawan Gotong Royong Dukung Gus Fawait ngeDjos

Sistem pemilu proposional terbuka, kata Titi, menitik beratkan pada peran kandidat untuk mebangun relasi secara langsung dengan konstituennya, maka partai politik perlu mempersiapkan kandidat yang tidak hanya ditinjau dari popularitas semata. Tetapi jauh dari pada itu, partai politik diminta untuk menyiapkan kandidat-kandidat yang memiliki kompetensi dari segi komunikasi politik, kedekatan dengan daerah, dan tentunya memiliki integritas, sebab melalui sistem pemilu proposional terbuka setiap calon yang ditawarkan dengan sangat mudah untuk dilacak rekam jejaknya.

“Situasi ini yang kemudian mendorong partai politik membuka ruang “diaspora politik” di tengah sistem pemilu proposional terbuka,” kata dia.

Pada sisi lain, semakin menguatnya hubungan representasi antara kandidat bahkan anggota legislatif dengan konsistuennya menjadi salah satu argumentasi mendasar yang perlu dipertimbangkan untuk tetap mempertahankan sistem pemilu proposional terbuka. Hal ini karena kandidat dihadapkan langsung dengan masyarakat dalam satu daerah pemilihan sejak proses pemilu di mulai yang tentunya berlanjut pasca keterpilihan.

“Sehingga fenomena broken linkage atau keterputusan hubungan antara wakil rakyat dengan rakyatnya, sedikit banyak bisa diantipasi melalui sistem pemilu proposional terbuka. Bahkan kedekatan ini semakin menguat dari segi representasi politik perempuan,” papar dia.

Masih kata Titi, melalui sistem pemilu proposional terbuka, ruang partisipasi calon anggota legislatif perempuan semakin terbuka lebar dari segi kuantitas maupun kualitas. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Puskapol UI, meskipun di tingkat DPR RI memiliki penurunan dari segi jumlah representasi perempuan. Di tingkat DPRD Kabupaten/Kota memiliki peningkatan yang cukup signifikan dari 12 persen pada Pemilu 2009 menjadi 14 persen pada Pemilu 2014.

Baca Juga:  Makan Siang Bareng Cagub Khofifah, Ribuan Buruh Kedawung Kompak Dukung Dua Periode

Berangkat dari hal tersebut Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu sudah melakukan kajian terkait dengan sistem pemilu. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu tetap mendorong diterapkannya sistem proporsional terbuka disertai perbaikan dan penguatan instrumen-instrumennya, dengan pertimbangan dan penguatan antara lain, pertama, meningkatkan keterkaitan hubungan antara caleg dengan pemilih. Kedua, proses rekrutmen caleg di internal partai politik masih bersifat tertutup, jika sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional tertutup maka tidak ada ruang bagi pemilih untuk menyeleksi secara langsung caleg yang diinginkannya, sementara dengan sistem proporsional terbuka pemilih dapat memutus oligarki partai tersebut.

Ketiga, bagi caleg perempuan sistem proporsional terbuka memberikan pembelajaran mengenai bagaimana cara berkompetisi dalam pemilu, jika sistem pemilu diubah maka apa yang selama ini sudah dipelajari oleh para caleg perempuan tersebut akan sia-sia. Keempat, partai politik dituntut untuk melakukan rekrutmen caleg secara demokratis sehingga meskipun sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional terbuka bukan caleg yang hanya memiliki popularitas yang tinggi dan memiliki modal besar yang dipilih menjadi caleg tetapi yang memang memiliki dukungan dari grassroot;

Berikutnya, sistem pemilu proposional daftar terbuka memang membawa banyak masalah, mulai dari tuduhan menyuburkan politik uang sampai menghasilkan anggota parlemen kualitas rendah. Namun mengubah sistem pemilu proposional daftar terbuka menjadi sistem proporsional daftar tertutup, bukan memperkuat dan menyuburkan kembali oligarki politik, tetapi juga membunuh partisipasi politik berkualitas yang mulai tumbuh di masyarakat. “Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalah penyempurnaan sistem pemilu proporsional daftar terbuka,” kata Titi.

Keenam, penyempurnaan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dilakukan dalam dua aspek, yakni sistem dan manajemen. Dalam sistem pemilu menyangkut pertama, variabel besaran daerah pemilihan perlu diperkecil menjadi 3-6 kursi agar calon dan pemilih lebih mudah saling mengenali dan saling bertanggungjawab. kedua, variabel metode pencalonan dipertegas, pemilih hanya memilih calon sebab memilih calon berarti memilih partai politik karena calon diajukan partai politik. “Kemudahan memilih ini akan membuat pemilih dan calon fokus dalam berkampanye,” imbuhnya.

Baca Juga:  Khofifah-Emil Nomor Urut 2, Golkar Sebut Simbol Kemenangan Pilgub Jawa Timur

Kemudian, dalam aspek manajemen, perbaikan dilakukan terutama dalam metode kampanye. Di sini undang-undang mengharuskan interaksi yang kuat antara pemilih dan calon sehingga mereka tidak hanya saling kenal tetapi juga saling bertanggung jawab, baik pada masa pemilu maupun pasca pemilu. Sistem pemilu proposional daftar terbuka, lanjut Titi, terbukti mampu meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Lebih dari itu sistem ini telah mendorong perempuan untuk berpolitik praktis di lapangan melalui berbagai kegiatan pemenangan pemilu. Pendewasaan politik perempuan yang dikondisikan oleh sistem pemilu proporsional daftar terbuka ini menjadi modal penting buat gerakan politik perempuan pada masa mendatang;

Ditambahkan dia, upaya menjamin perempuan masuk parlemen melalui pemilu, tidak cukup hanya bersandar pada ketentuan “keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar calon” dan “sedikitnya satu dari tiga calon adalah perempuan” tetapi juga harus ditambah ketentuan baru “sekurang-kurangnya 30 persen daerah pemilihan calon perempuan ditempatkan pada nomor urut 1”. Ketentuan ini penting dengan dua pertimbangan: pertama, pengalaman pemilu sebelumnya menunjukkan, calon terpilih 90 persen berasal dari calon nomor urut 1; kedua, dengan pengecilan besaran daerah pemilihan menjadi 3-6 kursi maka akan semakin banyak jumlah daerah pemilihan, sehingga calon perempuan bernomor urut 1 juga harus tersebar secara secara proposional sesuai prinsip minimal 30 persen perempuan. (Achmad)

Related Posts

1 of 2