NUSANTARANEWS.CO – Waktu berubah, manusia ikut berubah pula di dalamnya. Demikian pepatah Latin Kuno yang mungkin masih dapat ditemukan aktualisasinya hari ini. Perubahan zaman memungkinkan masyarakat dengan alam pikir dan rasa, karsa dan cipta, serta kebutuhan dan tantangan yang mengalami perubahan, tentu diikuti oleh perubahan kebudayaan.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim telah mengalami fase perubahan di bidang kedudayaan. Perubahan ini merupakan manefestasi dari perkembangan daya cipta dan karsa masyarakatnya.
Mengutip Soekmono (1981) kebudayaan Indonesia dimaknai sebagai manifestasi dari segala gejolak dan hasrat yang muncul dalam akal pikiran masyarakat. Kemudian difungsikan untuk menciptakan hal baru dari ciptaan-ciptaan Tuhan yang ada di muka bumi. Tindakan itu demi memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani umat manusia. Maka dapat dipetakan menjadi dua segi hakikat kebudayaan; yakni segi kebendaan dan segi kerohanian. Dimana dua bagian ini tak dapat dilepaskan hubungannya satu sama lain.
Budayawan WS Rendra, seperti ditulis Ags R. Sarjono, menunjukkan bahwa manusia (baca: manusia, masyarakat) Indonesia pada mulanya adalah manusia yang berharga diri dan bermartabat. Martabat dan harga diri tersebut merupakan manifestasi dari budaya yang demokratis tempat daulat rakyat diakui. Bangsa yang semacam ini tumbuh dengan motivasi dan daya cipta yang tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh hasil-hasil mereka di berbagai bidang, termasuk seni dan tekhnologi. Bersamaan dengan ditindasnya hak dan daulat rakyat, bersamaan dengan makin mengerasnya daulat kekuasaan, makin runtuhlah daya cipta manusia Indonesia.
Rendra (Baca: Selalu Ada Masa Depan buat Indonesia) sendiri pernah mengatakan, di dalam kebudayaan ada yang disebut mesin budaya. Mesin budaya tersebut tidak pernah diperbarui bahkan sejak zaman Belanda. Mesin budaya menjadi penentu lahirnya produk budaya dan manusia Indonesia.
Cita-cita Indonesia sebagai suatu bangsa yang bermartabat tinggi dengan kebudayaan yang tinggi pula dalam arti modern, lahir dengan dicetuskannya Sumpah Pemuda di tahun 1928. Dengan lahirnya pengertian Indonesia dalam isi Sumpah Pemuda, lahirlah suatu pengertian kebangsaan yang satu yang mengatasi pengertian kesukuan atau kedaerahan. Di mana semuanya itu terikat pada pulau-pulau yang merupakan bagian kepulauan Indonesia. Inti dari produk budaya dalam masa ini adalah bahasa pemersatu yakni bahasa Indonesia. Persis seperti yang Rendra nyatakan bahwa bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuna juga produk budaya yang menjadi bahasa persatuan di Nusantara di zaman kuno.
Dalam konteks peran umat Islam dalam sejarah kebudyaan Indonesia, Rendra tidak menafikan betapa besar peran umat Islam dalam masa kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana diketahui, pancasila yang mendasi dasar berbangsa dan bernegara disebut-sebut sebagai hadiah terbesar umat Islam Indonesia terhadap bangsa dan negara. Oleh karena Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, hemat Rendra, sudah seharusnya umat Islam mampu menjadi penggerak kebudayaan Indonesia. Yaitu kebudayaan yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam orasinya (khutbah) kebudayaan di Masjid IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam peringatan Isra’ Mi’raj (Baca: Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis dan Refleksi Historis), 1996), Rendra mengungkapkan keadaan umat Islam ketika itu. Dengan topik “Keperihatinan Ummat Islam Dewasa ini,” Rendra memberikan gambaran-gambaran yang melingkupi potret ummat Islam di Indonesia.
Dalam paparannya, Rendra mengungkap tiga poin penting yang salah satunya adalah, ummat Islam tidak hadir secara fungsional dalam tata kehidupan masyarakat. Maksudnya eksistensi ummat Islam memang besar, akan tetapi mereka tidak mampu memfungsikan kebesarannya. Dengan kata lain peran ummat Islam dalam masyarakat sangat kecil, tidak sesuai dengan kuantitas dan mayoritas jumlah pemeluknya.
Inti orasi kebudayaan Rendra ialah bagaimana umat Islam kembali merenung dan introspeksi serta memikirkannya dengan serius. Sehingga ummat Islam mampu meletakkan dirinya pada proporsi dan posisi yang sebenarnya dalam keutuhan kebudayaan Indonesia. Di samping itu, ummat Islam di Indonesia harus hadir secara fungsional dalam tata kehidupan masyarakat; menjadi sahabat kemanusiaan, pemberi “rahmat” bagi dunia secara universal, tanpa meromantisir diri sebagai dewa-dewa yang tidak boleh dijamah dan dikritik.
Kebudayaan yang seharusnya berkembang menjadi kebudayaan Indonesia bagi Rendra harus mengacu pada kebudayaan yang berarti sebuah usaha menentang determinasi alam. Namun yang dianjurkan Rendra untuk ditentang bukanlah alam itu sendiri. Melainkan sikap budaya yang berkiblat kepada alam, yakni kebudayaan alamiah atau cara berfikir alamiah. Sifat utama cara berfikir alamiah adalah anti perubahan dan karenanya selalu konservatif. Dalam kebudayaan alamiah, kedudukan sosial setiap individu sudah ditentukan oleh alam.
Budayawan W.S. Rendra merupakan sosok pribadi yang dekat dengan alam, kebudayaan (tradisi kejawen), agama (Katolik dan kemudian Islam) dan masyarakat di lingkungannya dimana Rendra tinggal. Dilahirkan di Solo, 7 November 1935. Ibunya Raden Ajeng Catharina Ismadillah, dan Ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo. W.S. Rendra meninggal di Depok, Jawa Barat, pada tanggal 6 Agustus 2009 dalam usia 73 tahun.
Sebagai Anggramanggala (baca: dramawan sejati), Rendra pernah mementaskan Kasidah Barzanji yang berisi tentang cinta dan kerinduan terhadap Nabi Muhammad SAW. Serta ajaran-ajaran sang Rosul. Begitu pula sebagai penyair, Rendra sejak menjadi muallah tidak jarang menyuarakan ajaran-ajaran Islam di dalam puisi-puisinya. Seperti Doa untuk Anak Cucu, Doa di Jakarta, dan lain sebagainya.
Akhirnya, semoga petualangan abadimu, mas Willy, lurus di jalan lurus menujur surga Allah yang maha Esa. Sebab, karya-karya dan pemikiranmu, senantiasa hidup di dalam alam pemikiran bangsa Indonesia.
Penulis: Achmad Sulaiman, jurnalis dan editor nusantaranews.co