Penulis Surat – Cerpen Achmad Sayuti Majid

leonid pasternak the passion of creation/photo: hercampus.com
leonid pasternak the passion of creation/photo: hercampus.com

NUSANTARANEWS.CO – Suatu sore, pak Kepla Desa mondar-madir keliling desa mencari warganya yang bisa menulis surat. Biasanya jika dalam keadaan genting dia akan meminta bantuan Kakek Warjo untuk menulisnya. Namun, dua bulan yang lalu sang kakek sakit parah dan tak mampu lagi menulis surat.

Warga desa tak bisa menulis juga membaca, desa mereka berada di pedalaman dan akses hanya bisa dilalui dengan jalan kaki menapak jalan tikus yang berliku, lagi terjal yang melingkar di badan pegunungan dan hutan yang senyap.

Kepala Desa mulai kebingungan malamnya dan terpaksa membujuk Kakek Warjo yang sedang sekarat untuk menulis surat. Mulanya keluarga kakek tidak mengijinkan namun sang kakek mengiyakan maksud dari Kepala Desa tersebut. Kepala Desa pun mulai mendikte setiap kata.

“Kepada yang terhormat bapak penguasa, kami warga desa Jaya meminta kepada bapak penguasa agar memberikan kami dokter. sebab, kami warga desa Jaya banyak yang membutuhkan dokter,” Kepala Desa berhenti sejenak memberi kesempata agar kakek bisa menulis. “Untuk mengobati penulis surat kami, sebab dari dukun kini tak lagi mempan.” Kakek berdehem menghentikan suara Kepala Desa.

“Yang itu tak perlu,” kata kakek, serak. Kakek Warjo geleng kepala.

“Maafkan saya ya, saya harus jujur berkata demikian,” kata Kepala Desa menyela. Namun sang kakek memberi isyarat untuk segera melanjutkan “kami juga meminta kepada penguasa untuk menberikan desa kami guru agar bisa mengajarkan baca tulis supaya kami memiliki penullis surat, jika Kakek Warjo telah tiada.” Pak Kepala Desa menghentikan suaranya dengan sendu.

“Yang bagian terakhir itu juga tak perlu” sela Kakek Warjo.

Memang hanya Kakek Warjo satu-satunya penulis surat di desa Jaya sejak empat puluh tahun yang lalu. Kakek Warjo adalah veteran perang kemerdekaan. Tak terhitung telah ratusan bahkan ribuan surat desa Jaya telah Kakek Warjo tulis, mulai dari pengajuan jalan dan jembatan, rumah kumuh dan MCK (Mandi Cuci Kakus), agar warga tak buang hajat di sungai. Drainase dan air bersih, agar warga tak lagi menimbah air jauh-jauh dari sungai. sampai sekolah dan puskemas namun tak pernah menemukan hasil. Kakek Warjo pernah mendirikan sekolah sore untuk anak-anak desa, namun anak-anak itu seharian diajak berkebun oleh orang tua mereka hingga tak memiliki waktu luang untuk belajar di sekolah sore.

Semenjak kakek kembali dari papua dan menetap di desa tak pernah sekali pejabat pemerintah datang kecuali petugas sensus penduduk yang datang lima sampai sepuluh tahun sekali dan tim sukses jika ada pemilihan umum.

Aku sudah bilang padamu dan beberapa Kepala Desa sebelum kamu, bahwa sekolah itu penting! Namun kamu dan Kepala Desa sebelum kamu tak pernah memperdulikan aku, ini! Ini buktinya, kau kewalahan mencari tukang tulis surat.” Kakek menahan batuk yang hendak membokar dadanya.

Malam itu kakek berbicaa banyak hal kepada Kepala Desa, dan sang Kepala Desa tertunduk dan mendengarkan dengan saksama sesekali dia menganguk tanda mengerti. Nampaknya perkataan kakek malam itu adalah pesan terakhirnya, sebab keesokan paginya sang kakek pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Seantero warga kampug mengalami kesedihan yang sangat dalam, warga desa melepaskan sang kakek bak seorang pahlawan. Mereka mengenang jasa-jasaya sebagai penulis surat. Mengenang perkataan kakek tentang pentingnya sekolah sebagai pembebasan manusia dari belenggu kebodohan, nasehat terkait pentingnya jalan penghubung antara desa sebagai jalan kemakmuran dan tentang cintanya yang begitu besar pada desa ini.

Kini desa Jaya tak ada lagi penulis surat dan beberapa tetua desa bisa membca dan menullis namun hanya bisa dalam bentuk tulisan arab gundul, yang biasa dipakai dalam kitab-kitab peninggalan leluhur.

Takada salahnya kita mencoba menulis surat mengunakan, huruf arab gundul siapa tahu para penguasa tergugah.” Kata Kepala Desa dihadapan seorang tetua. Dan tetua itupun menyiapkan kertas dan bulu ayam serta tinta untuk menulis surat.

“Penguasa yang terhormat,” lanjut Kepala Desa mendikte. “Kami kini tak punya seorang penulis surat, telah ratusan bahkan ribuan surat kami layangkan kepadamu. Keluh kesah kami, rintihan kami bahkan tangisan kami tak pernah kau perdulikan kami tak tau mau meminta apa lagi, kami telah lama begantung pada kakek penulis surat namun kini dia telah tiada. Kami meminta dengan hati yang paling dalam agar sekiranya bapak penguasa datang ketempat kami untuk meliat dengan mata kepala bagaimana susahnya kami tanpa seorang penulis surat. Mohon maaf bila kami menggunkan huruf yang berbeda dari sebelumya, ttd Kepala Desa.”

Surat itu pun dilayangkan.berhari-hari Kepala Desa menunggu balasan namun hasilnya tetap sama seperti empat puluh tahun yang lalu dan Kepala Desa pun mulai geram dengan sikap penguaa yang tak pernah mengindahkan surat dari desanya dan dia memutuskan untuk datang langsung kekantor penguasa.

“Warga yang terormat,” Kepala Desa mengangkat suara dalam rapat “saya dan beberapa pengurus desa akan berangkat dan menemui penguasa sekiranya ada saran yang hendak kalian sampaikan akan saya bawa dan saya sampaikan,” demikian kata Kepala Desa. Seluruh warga menyampaikan kehendak mereka kepada Kepala Desa.

Kepala Desa dan tiga orang pengurusnya berangkat menuju kantor penguasa. Dalam perjalan selama dua hari berturut-turut mereka menyusuri hutan dan sampailah ditepi jalan raya mereka menumpang angkot seharian kemudian menumpang bis selama dua hari sampailah mereka di sebuah banguna berlantai tiga yang begitu megah.

“Ini kantor para penguasa.” kata Kepala Desa, sambil menunjuk gedung itu.

Mereka berjalan mengitari kantor itu mencari pintu masuk. Tangan mereka digesek pada pagar kantor, jari-jari mereka membentur trali besi yang pagar berbaris lurus, mendentangkan bunyi yang selaras. beberapa saat kemudian mereka bertemu pos satpam dan gerbang bertulisakan kantor pemerintahan. Kator itu begitu sibuk, mereka duduk diruang tunggu melihat satu persatu orangyang lalu lalang, menuggu antrian untuk bertemu dengan penguasa. Beberapa satpam menyeret tiga kardus besar berisi kertas, berjalan tepat di depan mereka.

“Apa itu, banyak sekali berkasnya?” tanya kepala desa penasaran.

“Ohh. Ini surat-surat, kami akan diperintahkan untuk membakar semuanya!” Jawab satpam, sambil menyeret kardus itu menjauh.

Kepala Desa menatap kosong, sekilas terbayang wajah Kakek Warjo dengan ribuan suratnya, terbayang betapa susahnya perjuangan menulis satu surat. Kemudian, kembali kosong.(nld)

Yogyakarta, 28 November 2016.

Achmad Sayuti Majid, asal Maluku Utara, saat ini sedang menempuh studi di kota Jogja.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version