Ekonomi

Pengamat: Pemerintah Tinjau Ulang Kontrak PPA, Dunia Usaha Terancam

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta — Kebijakan pemerintah yang meminta PT PLN (Persero) untuk meninjau ulang seluruh kontrak yang sudah menandatangani kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dinilai bakal menimbulkan kekhawatiran dunia usaha. Peninjauan itu dinilai dapat berdampak luas ke mana-mana termasuk mengancam pembangkit milik usaha kecil dan menengah (UKM).

Salah satunya, evaluasi dapat berdampak ke pembangkit-pembangkit kecil, milik pelaku usaha kecil dan lokal. “Yang besar saja bisa dievaluasi, apalagi cuma yang kecil,” ujar Pengamat Energi Listrik Fabby Tumiwa seperti dikutip dari siaran persnya, Jakarta, Rabu (22/11).

Fabby mengatakan, peninjauan ini memberikan kesan yang buruk terhadap masa depan investasi kelistrikan di Tanah Air. Pasalnya, peninjauan atau evaluasi ini juga akan berdampak pada pelaku usaha kelistrikan yang kecil. “Yang gede saja bisa digituin, apalagi yang kecil,” cetusnya.

Diketahui, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyurati Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Kementerian ESDM pun meminta agar PLN meninjau kembali kontrak jual beli PLTU berskala besar yang berlokasi di Jawa. Peninjauan kontrak jual-beli pembangkit listrik ini hanya untuk proyek yang belum masuk tahap konstruksi atau belum mendapatkan Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU) dari Kementerian Keuangan. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy Noorsaman Sommeng berdalih imbauan tinjauan ulang itu dimaksudkan agar tarif tenaga listrik semakin terjangkau bagi masyarakat dan kompetitif bagi industri.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Sementara itu, menurut Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI), peninjauan tersebut akan memunculkan masalah baru. Sebab, dengan evaluasi ini kesucian kontrak terondai, risiko kredit bagi debitor energi, utamanya listrik akan meningkat.

Selanjutnya, APLSI juga menilai evaluasi itu berpotensi  memunculkan ketidakpastian baru bagi pelaku usaha di sektor perlistrikan. Ketidakpastian itu membuat risiko kredit untuk pembangkit listrik menjadi meningkat. Sebab, regulasi berubah-ubah. Return of investment-nya menjadi tidak jelas. Tentu lembaga keuangan akan buat perhitungan dengan menaikkan cost of fund bagi debitur pembangkit listrik di program ini.

Padahal, awalnya lembaga keuangan sangat optimistis dengan pembiayaan di power plant utamanya program 35 ribu MW. Namun kemudian, apetite-nya menurun seiring dengan munculnya berbagai regulasi yang kerap berubah dan meningkatkan risiko kredit.  Sehingga ke depan kenaikkan cost of fund akan berdampak pada harga jual listrik yang tiba ke konsumen.

“Ujung-ujungnya konsumen yang kena,” kata perwakilan APLSI, Rizka Armadhana.

Baca Juga:  Hotipah Keluarga Miskin Desa Guluk-guluk Tak Pernah Mendapatkan Bantuan dari Pemerintah

Sebagaimana diketahui, PLN siap mengevaluasi sejumlah PPA yang dibangun di Pulau Jawa dan belum memasuki tahap konstruksi atau belum mendapatkan surat jaminan Kelayakan Usaha (SKJU) dari Kementerian Keuangan. Ada dua pembangkit yang sudah dalam tahap evaluasi yakni ke PLTU Jawa 3 berkapasitas 1.200 Megawatt (MW) dan PLTU Cirebon Expansion 2 dengan kapasitas 1.000 MW. PLN melobi agar IPP pembangun pembangkit menjual listriknya dengan harga di bawah US$ 6 sen per kWh. (red)

Editor: Eriec Dieda

ARTIKEL TERKAIT:

Related Posts

1 of 27