NUSANTARANEWS.CO – Rusia dan China sepakat mengajukan roadmap untuk menyelesaikan krisis Korea Utara melalui jalur diplomatik. Namun, dalam skenario ini tampaknya harus memanggil Amerika Serikat ke meja perundingan.
Menurut analis politik Konstantin Asmolov, mengajak berunding AS jauh lebih sulit ketimbang mengajak Korea Utara (DPRK). Bagi Rusia dan China, roadmap yang mereka ajukan untuk menghadapi krisis Korea Utara terlalu naif jika ditolak dan diabaikan.
Untuk itu, Dubes Rusia untuk PBB, Vasily Nebenzya menegaskan Rusia akan mendesak PBB untuk mempertimbangkan roadmap yang diajukan kedua negara tersebut.
Di sisi lain, Beijing juga keberatan dengan sanksi ganda berupa pembekuan ekonomi kepada Korea Utara. Juru bicara Kemenlu China, Geng Shuang menilai semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian krisis di Semenanjung Korea mempertimbangkan kembali inisiatif pembekuan ekonomi terhadap Pyongyang. Ia juga meminta Washington dan Seoul menangguhkan latihan militer gabungan yang belakangan mulai gencar dilakukan, termasuk Jepang.
Asmolov memuji kemajuan diplomatik Rusia dan China dalam menyusun resolusi Dewan Keamanan PBB untuk membantu proses penyelesaian masalah rudal nuklir Korea Utara. Dia juga menegaskan, Rusia dan China tentu tak akan membiarkan sanksi DK PBB berubah menjadi blokade ekonomi total terhadap Pyongyang.
“Tidak akan ada sanksi embargo pasokan energi juga soal tenaga kerja. Namun, ada sanksi yang sudah cukup keras yakni larangan ekspor tekstil yang disuplai oleh Korea Utara ke Eropa, ini merupakan barang ekspor besar,” kata Asmolov.
Karenanya, Asmolov mendesak Korea Utara (DPRK) juga harus mendengar aspirasi masyarakat internasional dan mengurangi program nuklirnya.
“China tidak akan pernah membiarkan perang dan kekacauan pecah di Semenanjung Korea,” tegas Shuang.
Amerika, Korea Selatan dan Jepang sudah terlanjur berang atas tindakan Korea Utara yang tercatat sedikitnya sudah enam kali melakukan uji coba rudal balistik dan senjata nuklir. Bahkan, sebelum uji coba bom hidrogen, Pyongyang menembakkan sebuah rudal yang meluncur di atas langit Jepang Utara, tepatnya di atas Pulau Hokkaido. Korea Utara juga sempat merencanakan peluncuran rudal balistik dengan target Guam. Peluncuran rudal ini lantas memicu kemarahan besar-besaran AS, Korea Selatan dan Jepang.
“Tentu, membujuk Korea Utara adalah tugas yang jauh lebih sederhana daripada membujuk Washington,” kata Asmolov.
Menurutnya, kesulitan membujuk Washington terkait erat dengan kondisi politik dalam negeri AS. “Trump yang posisinya agak tidak stabil di kancah politik dalam negerinya, membuat dirinya punya banyak ruang untuk melakukan manuver,” ungkapnya.
“Sanksi itu sebetulnya masuk akal. Namun, sanksi ketat tidak akan membantu penyelesaian masalah nuklir DPRK (Korea Utara), malah hanya akan memperburuk situasi dan berpotensi menimbulkan perang terbuka antara DPRK dan AS. Perlu konsesus berasama untuk mempertimbangkan roadmap ini dalam menyikapi rencana sanksi pembekuan, dan pada saat bersamaan masyarakat internasional harus juga ikut mendorong serta membujuk AS agar mau duduk di meja perundingan,” kata Direktur Pusat Studi Asia Timur Laut Universitas Jilin, Dianjun.
Persekutuan Rusia dan China dalam menyikapi sanksi terhadap Korea Utara membuat permasalahan krisis di Semenanjung Korea semakin menemui titik terangnya siapa yang punya kepentingan besar di balik program nuklir Pyongyang. (ed/sputnik)
(Editor: Eriec Dieda)