Politik

Pengamat Cium Adanya Indikasi Ketidakharmonisan Antara KPU dan Bawaslu

KPU vs Bawaslu (Ilustrasi)
KPU vs Bawaslu (Ilustrasi)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Peraturan yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait larangan kepada eks napi korupsi mencalonkan diri di legislatif, menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago disebut sebagai indikasi adanya disharmoni (ketidakharmonisan) antara dua lembaga. Yakni antara KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu).

“Indikasi disharmoni antar lembaga. Aturan KPU ini menguatkan indikasi bahwa KPU terkesan arogan dan menciptakan konflik dengan lembaga lain, terutama Bawaslu,” ungkap Pangi Syarwi Chaniago, Selasa (18/9/2018) dalam keterangan tertulisnya.

Dirinya menjelaskan, selama ini KPU dan Bawaslu adalah mitra, saling menguatkan, saling mengisi dan mendukung.

“Realitas sekarang, fenomena yang amat langkah yaitu dihadap hadapkan serta dibenturkan antara institusi KPU dan Bawaslu, sebelumnya ini ganjil terjadi,” terang dia.

Baca Juga:
Larang Eks Koruptor Jadi Caleg, KPU Melampaui Kewenangannya
Loloskan Eks Koruptor Sebagai Caleg, Pengamat: Putusan MA Tidak Salah

Pangi mengungkapkan, semestinya semua lembaga terkait penyelenggara dan pengawas pemilu melakukan koordinasi, terintegrasi satu sama lain, hal-hal substansial demi kesuksesan pemilu berkualitas bukan malah ingin gagah-gagahan.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Gelar Paripurna Laporan LKPJ Bupati TA 2023

Soal Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, Pangi menegaskan itu bukan domainnya KPU, melainkan kewenangan lembaga lain.

Sebelumnya, pada Jumat 14 September 2018, Mahkamah Agung memutuskan telah membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan Komisi Pemilhan Umum (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten Kota.

Dengan putusan tersebut, maka mantan narapidana kasus korupsi diperbolehkan untuk mendaftarkan diri sebagai calon legislatif. Alasannya, menurut Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi, pertimbangan putusan tersebut karena PKPU Nomor 20 tahun 2018 bertentangan dengan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

“Itu bertentangan dengan UU Pemilu UU Pemilu kan membolehkan dengan persyaratan tertentu tapi kalau PKPU kan menutup sama sekali,” ujarnya.

Editor: Romadhon

Related Posts

1 of 3,053