Lintas Nusa

Pengakuan Mahasiswa Papua Soal Freeport

NUSANTARANEWS.CO – Keberadaan Freeport di tanah Papua terus mengalami pro dan kontra. Dari generasi ke generasi, polemik perusahaan tambang Freeport berkepanjangan dan tak kunjung usai. Negara tidak mampu berbuat apa-apa atas keberadaan perusahaan yang telah berusia 49 tahun itu di tanah Papua sejak 1967 silam.

Kendati sudah tampak tidak mungkin bubar, sejumlah kalangan yang kontra terhadap keberadaan Freeport terus berjuang merongorong perusahaan super bonafit itu agar segera hengkang dan ditutup. Salah satunya ialah Abby Dauw, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Yogyakarta. Menurut Abby, selama ini Freeport telah melakukan sejumlah kerusakan di tanah kelahirannya tersebut.

Abby menuturkan, Freeort hanyalah tentang pengusiran masyarakat adat dari tanah mereka, perusakan lingkungan dan bahkan telah melakukan sejumlah tindakan pelanggaran HAM.

“Freeport hanyalah tentang pengusiran masyarakat adat dari tanah mereka, perusakan lingkungan, dan bahkan mengarah pada pelanggaran Hak Asasi Manusia,” jelas Abby dalam sebuah diskusi publik di Yogyakarta pada jumat 22 April 2016 lalu.

Baca Juga:  Sejahterakan Petani, Cawagub Lukman Janjikan Subsidi Pupuk dan Penguatan Bumdes

Ia menceritakan, sebetulnya masyarakat Papua selama ini tidak menggantungkan kehidupan kepada Freeport. Sebab, cerita Abby, perusahaan tambang tersebut selalu berusaha memecah-belah masyarakat.

“Masyarakat Papua sama sekali tidak menggantungkan kehidupan kepada Freeport, oleh karena itu kadang Freeport memberikan sedikit uang kepada sebagian orang untuk memecah belah, melunakkan hati supaya tidak melawan, dan menciptakan ketergantungan kepadanya. Sampai detik ini asas kemanfaatannya sangat sedikit dan cenderung merusak,” cerita Abby.

Salah satu mahasiswa perguruan tinggi di Yogyakarta itu mengatakan Aliansi Mahasiswa Papua khususnya di Jogja akan terus meneriakkan penutupan dan pembubaran Freeport.

“Oleh sebab itu sikap AMP jelas, yaitu tutup Freeport. Karena kami tidak akan mati jika Freeport pergi, malah kami bisa hidup tenang dengan hutan dan tanah kami,” seru Abby.

Abby sadar betul, perjuangannya merongrong Freeport bukanlah perkara mudah. Pasalnya, kata dia Freeport yang sudah demikian besar perusahaannya melibatkan para penguasa, termasuk militer sebagai petinggi. Para penguasa-penguasa itu, Abby menuturkan telah bersekongkol dengan sangat rapi menjaga keamanan Freeport agar tetap beroperasi sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Padahal, Abby mengingatkan bahwa para penguasa itu tak ubahnya penjajah atau kolonialisme-kapitalis.

Baca Juga:  Fraksi Demokrat DPRD Nunukan Dorong Penguatan UMKM

“Seringnya, keterlibatan pemerintah Indonesia dalam melindungi Freeport, dengan dalih keamanan dan menggunakan militer, menjadikan posisi tersebut jelas-jelas bentuk Kolonialisme-Kapitalis,” tandas Abby. (edd)

Related Posts

1 of 14