Pengakuan – Cerpen Sabaruddin Firdaus

Pintu Sakral (2007), 200 x 300 cm (2 panel), acrylic on canvas, karya I Nyoman Erawan (Bali)

Pintu Sakral (2007), 200 x 300 cm (2 panel), acrylic on canvas, karya I Nyoman Erawan (Bali)

NUSANTARANEWS.CO – Selama ayah kami masih hidup, ekonomi keluarga kami sangat baik. Tak tertandingi di seluruh kecamatan Lenteng. Kekayaan ayahku selalu memenuhi kebutuhan kami, membeli mobil mewah, pakaian mewah, dan membangu rumah mewah.

Waktu itu, rumah kami bagai istana. Dan, kami pun hidup sangat jauh dari kemelaratan. Tak ada tetangga yang berani mengganggu keluarga kami, bahkan mereka sangat menghormati kami. Ketika  ada yang mau mencuri barang-barang berharga  di rumah kami, tentu saja gagal, tidak akan mampu melewati pintu demi pintu yang terbuat dari baja, harus memakai kode tertentu jika membukanya.

Namun, bertahun-tahun kemudian ayahku mengalami kebangkrutan dan dijerat hutang. Rumah kami disita oleh bank. Semua kebun Pisang  di pegunungan Lenteng, dan cabe rawit di belakang rumah jadi rata dengan tanah. Ayahku mengalami kegalauan besar dan nyaris bunuh diri.

Itulah rencana buruk Matsuri, bahwa dia berjanji akan membuat perusahaan kebun ayahku terkenal diseluruh penjuru dunia. Ayahku percaya penuh. Terpukau. Tapi yang datang malah malapetaka. Dia menggerogoti seluruh kekayaan ayahku dengan secara halus. Dan tanpa sepengetahuan kami dia pergi ke luar negeri bersama Rahmatun, perempuan sinden itu. Sementara, yang tersisa dari kekayaan ayahku hanyalah bangunan kecil yang disewakan kepada Imron bersama keluarganya. Rumah itu tepat di sebelah barat dari rumah kami yang disita oleh bank, dan rumah itu adalah awal mula kehidupan kami. Ada banyak hal yang telah kuresapi dan kupelajari di rumah itu: Kehidupan yang sederhana, persaudaraan yang sangat kuat, dan saling tolong-menolong. Setelah kaya, kami tak mengenal hidup seperti itu lagi. Mungkin itulah alasan tuhan mengambil kekayaan kami.

***

Ketika usiaku mencapai 38 tahun, rumah yang kami tempati sekarang, sudah kehilangan seseorang yang paling kuhormati, kusayangi, dan orang yang bijaksana. Tepat hari senin sore ibuku selesai dikuburkan, dan yang menghuni rumah ini kini tinggal berdua, aku dan istriku. Di tahun yang sama aku jadi DPRD di kabupaten Sumenep. Aku tak menduga kebahagiaan ini akan terjadi. Barangkali adalah takdir. Sebenarnya aku heran, orang bodoh sepertiku ini diberi kepercayaan oleh masyarakat. Bahkan aku tak punya pengalaman sama sekali di dunia politik. Jika seandainya suatu hari banyak wilayah-wilayah pedesaan semakin memburuk atau orang-orang sering kali mengeluh, jangan salahkan aku, salah kalian sendiri, kalianlah orang yang bodoh, memberikan kepercayaan pada orang salah!

Setahun kemudian, di bulan April, aku terjepit. Istriku harus dioprasi, hutang ayahku terhadap bank harus dilunasi di akhir bulan, dan anakku akan berhenti sekolah jika tidak dibelikan mobil. Aku menominalkan semua keuangang hampir delapan ratus juta. Sementara tabunganku hanya seratus lima puluh juta. Bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak delapan ratus juta? Di kantor, aku berpikir keras dan mondar-mandir mencari jalan keluarnya. Namun, jam di dinding berdetak meneror kehusyukanku. Lalu pikiranku jadi pecah, berhamburan ke mana-mana.

Orang-orang di kantor bertanya-tanya melihat tingkah lakuku. Kemudian Bagus menghamipiriku, “Kau ini kenapa?” tanyanya.

“Aku harus bicara padamu empat mata. Demi kebaikan keluargaku.” kataku dengan suara gemetar.

“Kebaikan keluarga gimana maksudmu?” tanyanya lagi.

“Aku tak mau membicarakan di sini, tapi di rumahmu. Jam 19:00 aku akan ke rumahmu.” Bagus mengangguk dan tak bisa melanjutkan pertanyaan lagi karena dihambat oleh dering telpon. Setelah selesai dia berbicara dengan telponnya, dia berkata, “Kutunggu kedatanganmu, aku harus pergi sekarang, ada urusan.”

Aku harus melakukan kebohongan, pikirku. Sangat mudah melakukan yang menarik itu. Di rumah Bagus nanti aku harus menangis agar Bagus merasa sangat kasihan, sehingga dia menolongku meski jalan satu-satunya memakai uang negara. Kuyakin Bagus akan membantuku asalkan diberi jaminan.

Azan isyak terdengar sayup-sayup dari kejahuan, memecah sunyi, mengubur Maghrib. Segera aku pergi ke rumah Bagus. Kebetulan sekarang hujan tak turun. Tapi mendung semakin tebal menutupi cahaya bulan. Semoga Bagus mau membantuku, pikirku sambil melangkahkan kaki. Dari balik pohon Asam dan Nangka, rumah Bagus sudah terlihat, dan kulihat Bagus telah menunungguku. Dia duduk bermalas-malasan di kursi mewahnya. Kemudian dia tersenyum ringan seperti biasanya.

Suasana rumah Bagus tidak seperti empat tahun lalu, kini dinding-dindingnya penuh jajaran lukisan Vincent Van Gohg dan Monet, dan ruang tamu yang dulunya sempit, sekarang bertambah lebar dan menyenangkan. Ada satu lukisan yang paling kusuka di ruang tamu ini. Ketika aku memandang lukisan itu, seperti menyaksikan sabana raya yang agung.

“Ilyas, tumben jalan kaki, mana motormu?” Tiba-tiba konsentrasiku bubar dan lukisan itu tak mengairahkan lagi.

“Oh. Aku tak bisa mengendarai motor sekarang, aku tak tenang. Aku takut menabrak pohon Asam atau pohon Nangka,” jawabku.

“Apa yang sedang terjadi. Kenapa kau begitu murung, seolah-olah kau menanggung beban negara ini, seolah-olah kau sangat sulit dan rumit untuk dipecahkan. Tenangkan dirimu. Jangan suka menutupi diri.” Suara lirih itu sudah jadi ciri khas dari pribadi yang tak pernah marah. Berhati dingin, penuh kesabaran.

Kemudian, sambil mengunyah roti dan menyeruput teh aku menceritakan semuanya. Bagus diam. Mendengar semua ceritaku dengan seksama dan haru. Ruang tamu jadi sunyi beberapa detik, “Apakah ini yang membuat kau gelisah dan panik? Istrimu kena penyakit apa?” tanyanya.

“Ya. Bisakah kau membantuku, Gus? Kangker payudara,” suaraku telah bercampur tangis.

“Dengan senang hati, Yas. Tapi apa yang harus kubantu, dan berapa uang kau butuhkan?”

“Delapan ratus juta!”

“Haaaa. Delapan ratus juta? Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu, Yas. Tabunganku tidak cukup. Adanya hanya Dua Ratus Juta!”

“Aku sudah menduga, kau tak mungkin punya uang sebanyak itu. Sangat sulit menemukan uang sebanyak delapan ratus juta, kecuali pengusaha besar. Aku punya rencana, Gus. Mungkin rencana ini adalah rencana yang paling dibenci oleh siapapun.”

“Apa rencana itu, Yas?”

“Bagaimana jika kita menyelinapkan uang negara. Namun, suatu saat akan kukembalikan, Gus. Ini sudah jalan terakhir. Masalah ini harus kuselesaikan paling lambat tanggal 30.”

“Menyelinapkan uang Negara? Apakah kau menyadari kalau tindakan seperti itu dosa besar. Masyarakat di kabupaten ini masih banyak yang miskin dan sengsara. Pikirkan dengan matang rencana bodohmu, Yas! Terus terang, aku tak bisa melakukannya.”

Mendengar lontaran pembicaraan Bagus, aku ingin melarikan diri, tidak melihat wajah Bagus sepanjang hidup. Untuk apa melihatnya lagi. Untuk apa? Wajahku memerah, air mataku mengalir deras, dan tubuh gemetaran.

“Gus, aku tak mungkin mengumpulkan uang sebanyak delapan ratus juga dalam waktu yang sangat dekat,” kataku lirih dan patah-patah, “jika tanggal 30 masih belum kuselesaikan, rumahku akan disita, barang-barangku juga disita, dan istriku akan mati. Entahlah, aku tak tahu bagaimana hidupku nanti.”

Bagus telah mempertimbangkan apa yang sudah kukatakan. Sesekali dia melihat lukisannya, lalu makan roti, atau mehirup udara dalam-dalam dan mengeluarkan perlahan.

“Baiklah. Namun, kau harus merahasiakan ini. Tidak boleh ada orang yang mengetahuinya. Semoga masalahmu cepat teratasi, Yas.”

***

Tanggal 1 Mei, masalahku sudah selesai semuanya. Hari demi hari berlalu begitu saja. Di suatu malam aku bermimpi yang aneh, dan mengundang kegelisahan yang menakutkan. Begini, “Kau seharusnya mati. Orang sepertimu sudah tidak layak hidup. Pembohong. Kelakuanmu memang pantas diganjar Neraka-Jahanam. Berapa uang rakyat kau makan. Itu bukan hakmu. Mana janjimu? Lihat, orang-orang disekitarmu hidupnya sudah menyedihkan. Itu semua karena ulahmu, panjang tanganmu, koruptor!!!” Aku membenci mimpi itu kerena kerap kali mengganggu tidurku dan pekerjaanku. Rasanya ingin muntah dan mau bunuh diri.

Satu Desember yang akan datang usia kebohonganku sudah genap empat tahun. Dan aku harus berhenti dari DPRD. Aku akan mencari pekerjaan lain yang lebih sederhana, misalkan tukang becak atau kuli bangunan. Kini aku sudah mempunyai keberanian yang kuat, dan aku tidak takut pada yang akan terjadi di kemudian hari. Akan kuterima jika hidupku terus berada dalam kondisi buruk dan tidak beruntung. Hal itu sudah jadi balasanku sebagai manusia bejat.

Pertama kali yang harus mendengar cerita ini adalah istriku, karena dia yang paling dekat denganku. Dialah satu-satunya penghibur malam-malamku, terus memberi kehangatan bagi jiwaku. Apa yang akan terjadi setelah mendengar ceritaku? Entahlah, aku tak ingin menghiraukannya. Semoga penyakitnya tidak kambuh lagi, dan yang kuharapkan tidak terjadi apa-apa.

Jika istriku menangis sejadi-jadinya atau tidak mau lagi tidur satu ranjang denganku, akan kuhibur dia dengan puisi-puisi Pablo Neruda dan Aslan Abidin, karena syair-syair dari kedua penyair itu mampu melumpuhkan semua hati para perempuan, apalagi istriku yang gampang dirayu.

Nah, setelah selesai kuceritakan, aku ingin meminta bantuannya; bagaimana caranya memecahkan masalah ini tanpa ada pihak yang dirugikan, seperti ketika aku menceritakan kepada semua orang dan menulis kobohonganku di media massa. Kuyakin istriku mau membantuku dan memberikan dukungan penuh, dan tak mungkin dia melihat suaminya menanggung penderitaan sendirian.

Mumpung masih tanggal 15 Mei, aku harus memikirkan bagaimana langkah awal yang akan kukerjakan. Seluruh catatan kebohonganku dalam catatan harianku masih utuh, tidak ada corat-coret diantara kalimat-kalimatnya, tetap sama seperti ketika aku menuliskannya. Mungkin saja aku berpura-pura membaca buku dan menulis, lalu menunjukkannya kepada istriku. Tapi aku ragu kalau tindakan demikian terlalu ceroboh dan tidak bertanggung jawab. Kuharap nanti istriku setelah mendengar ceritaku akan baik-baik saja dan tidak melahirkan kebencian dan shock sedikit pun. Bagaimana caranya? Tunggulah sampai aku mendapatkan kelakuan yang benar-benar pas.

***

Di antara tanggal 15 Mei sampai tanggal 1 Desember, waktu yang kucup lama, aku memenjarakan diri dalam kamar. Mengunci pintu. Orang kantor pasti akan meneleponku. Tapi tak aktif. Telponku sengaja kunon-aktifkan, agar orang kantor tidak cerewet menanyakan keberadaanku, dan orang kantor tidak mungkin menelepon istriku, kerena nomer telponnya hanya aku yang tahu.

Di suatu malam ketika angin di luar mengancam, istriku merasakan begitu sangat kedinginan dan ketakutan, dia menggedor-gedor pintu seperti orang kesurupan. Lalu dia melontarkan kalimat-kalimat yang membuat aku luluh begitu saja, “buka pintunya atau aku tidur di bawah kolong jembatan di luar sana! Kenapa kau sekarang berkelakuan aneh, membingungkan dan tidak seperti biasanya. Ceritalah, sayangku! Jangan suka memendam sesuatu tanpa sepengetahuan istrimu. Tidak baik. Berbagilah, dan ceritakanlah, istrimu ada dalam kondusi apa pun!”

Bagaimana pun juga kondisiku sekarang, di sisi lain, aku merasakan suatu kebahagiaan tiada taranya. Aku menyadarinya, barangkali aku termasuk orang yang beruntung; diselamatkan dari lingkaran Iblis yang tak kenal belas kasih itu. Barangkali Tuhan tak ingin diriku menyerupai Iblis. Betapa beruntungnya diriku. Selama empat tahun itu, kuperjelas, bahwa bukan diriku sebenarnya yang melakukan tindakan keji itu, melainkan Iblis.

Iblis telah berhasil masuk ke dalam hatiku dan menjadi raja di sana, dan memperalat diriku untuk memenuhi kepuasa-kepuasan nafsunya di dunia kerena kelak diganjar Neraka-Jahanam. Tapi saat ini, Iblis sudah mengalami semacam kebosanan di dalam hatiku kereka aku sering membangkangnya. Kemudia Iblis itu keluar dari hatiku dan mencari hati lain yang sekira memuaskan dan lebih kejam ketimbang diriku. Maka tak heran jika seorang manusia lebih-lebih DPRD banyak yang rakus, merampas hak orang lain.

Tepat pada jam 23:15 tanggal 30 November, suasana dalam rumah kurasakan ada keganjalan-keganjalan yang bermunculan dari setiap pojok kamar. Pandanganku sedikit demi sedikit kian gelap. Istriku yang biasanya membaca ayat-ayat suci di kamar sebelah tidak terdengar lagi suaranya. Aku berkaca-kaca. Kepalaku memberat. Sejenak aku duduk di meja kerjaku. Setelah itu aku mendatanginya. Aku tak menduga ini akan terjadi, dan aku tak bisa menyangkalnya. Kematian istriku merupakan rencana tuhan yang paling baik. Tapi bagaimana dengan rencanaku. Bahwa aku sudah berjanji kalau istrikulah yang harus pertama kali mendengar certitaku. (Beringharjo, 08-21, November, 2015)

*Sabaruddin Firdaus, penghusyuk sastra dan pengelola kopi. Tinggal di Yogyakarta.

Exit mobile version