Penerapan Pancasila Sebagai Philosofische Grondslag Dalam Melawan Covid-19
Sebagai negara yang terlahir dari rahim perjuangan, ibu pertiwi memiliki berjuta-juta nilai positif yang lahir kembali ke dalam darah manusia-manusia yang hidup di negeri yang konon katanya sebagai Negeri ‘Gemah Ripah Loh Jinawi.’
Oleh: Pang Muhammad Jannisyarief
“Aku tidak mengatakan bahwa, aku menciptakan Pancasila, apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam buku kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.”-Sukarno
Indonesia adalah sebuah negara yang terletak di bumi bagian selatan, tepatnya berada di Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan dan sumber daya alamnya yang melimpah, juga sebagai negara yang terkenal akan kentalnya nilai-nilai sosio-historis yang terkandung di dalamnya.
Indonesia adalah negara yang resmi lahir ke dunia pada 17 Agustus 1945 melalui perjuangan dari seluruh komponen bangsa Indonesia. Namun, dua bulan sebelum Sukarno dan Hatta mewakili rakyat Indonesia untuk menyampaikan proklamasi, ada sebuah peristiwa yang menjadi landasan dari tindakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang masih hadir hingga saat ini. Peristiwa yang tak pernah terlupakan dan tak boleh terlupakan tersebut adalah perumusan Pancasila. Perumusan yang melahirkan lima sila sebagai cerminan arah bangsa Indonesia dalam bergerak dan bertindak ini telah menjadi tonggak awal dari lahirnya negeri yang kita cintai.
Dalam sidang BPUPK yang berlangsung selama dua hari tersebut, lahirlah rumusan Pancasila sebagai “Philosophische Grondslag.” Rumusan tersebut tidak berarti Pancasila sebagai agama baru di Indonesia ataupun rumusan ideologi bagi bangsa Indonesia. Ketika di dalam sidang BPUPK, Sukarno sempat bertanya tentang apa “Philosophische Grondslag” dari Indonesia. Kemudian Sukarno menjawab pertanyaannya dan menjelaskan makna dari “Philosophische Grondslag” adalah sebuah fundamental, filosofis, pikiran yang ada di lubuk hati yang paling dalam untuk di atasnya didirikan sebuah gedung yang bernama Indonesia merdeka yang kekal dan abadi.
Dapat kita pahami makna “Philosophische Grondslag” ini sebagai landasan falsafah dan arah bangsa Indonesia bergerak kedepannya. Setelah sekian lamanya bangsa Indonesia hidup dalam cengkraman penjajahan kolonialisme yang tidak beradab yang dilakukan bangsa lain ke Indonesia, akhirnya Indonesia dapat terbebas dari hal tersebut. Indonesia dapat merdeka bukan karena kegagahan Sukarno ataupun kecerdasan dari Muhammad Hatta saja, namun karena bersatunya seluruh komponen bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan yang memang harus dihapuskan dari muka bumi ini.
Dalam tulisan ini, penulis akan menyampaikan gagasan dan argumentasi tentang penerapan kelima sila di dalam Pancasila dalam kaitannya bahu-membahu melawan Covid-19, makna sosio-historis yang kental di dalam kelima sila tersebut mendorong bangsa Indonesia untuk bersatu padu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila agar Covid-19 terhempas dari bumi pertiwi. Semoga tulisan bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan solusi yang konstruktif bagi pemerintah untuk melawan Covid-19.
Sudah dijelaskan di atas bahwa Indonesia lahir dari rahim perjuangan atas ketidakadilan yang dilakukan bangsa luar vis-à-vis Indonesia. Indonesia menjadi negara yang merdeka juga diakibatkan karena adanya sebuah momentum persatuan yang membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat dan mandiri tanpa perlu mendapat kemerdekaan dari bangsa lain.
Sudah 75 tahun sejak Indonesia merdeka, saat ini negara Indonesia dihadapkan pada permasalahan yang rumit, yaitu Pandemi Covid-19. Virus yang pertama kali diduga berkembang di salah satu pasar di Wuhan, Tiongkok ini telah membuat semua negara menjadi gagap dalam menghadapi serangan Coronavirus baru. Tatanan kesehatan di dunia cukup kesulitan dalam membendung Pandemi Covid-19. Selain itu, ancaman krisis ekonomi juga berpotensi hadir sebagai efek domino dari adanya pandemi Covid-19.
Indonesia pertama kali mengumumkan pasien positif Covid-19 pada 2 Maret lalu. Presiden Jokowi mengumumkan dua pasien positif setelah kontak dengan WNA asal Jepang di sebuah tempat. Tak berlangsung lama, Presiden Jokowi menetapkan Pandemi Covid-19 sebagai darurat kesehatan di Indonesia.
Selain itu, sebagai langkah untuk penghentian infeksi virus yang lebih menjalar lagi, Presiden Jokowi sebagai policy maker membuat paket kebijakan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan melalui Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam produk hukum yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi ini bergantung kepada masing-masing kepala daerah provinsi ingin menggunakan PSBB atau tidak. Namun, tupoksi pencegahan yang secara luas dan sentral tetap dipegang oleh Presiden Jokowi dan para pembantunya dalam pemerintahan untuk merumuskan dan melakukan kebijakan yang dibuat.
Presiden Jokowi telah menolak opsi lockdown seperti yang banyak dilakukan oleh negara lain. Presiden Jokowi berpandangan bahwa Indonesia sebagai negara berkembang dengan pendapatan kapita masyarakatnya Rp. 59,1 juta pada tahun 2019 – tidak elok jika menerapkan opsi lockdown yang akan berdampak terhadap terhentinya sirkulasi ekonomi di masyarakat kelas menengah dan bawah.
Untuk masyarakat kelas atas memang tidak menjadi masalah yang berat karena mereka memiliki tabungan dan deposito yang cukup untuk menghidupi keluarga mereka selama beberapa bulan. Namun, untuk untuk masyarakat kelas bawah ini menjadi masalah yang besar karena kegiatan ekonomi terhenti dan mereka tidak memiliki tabungan yang memadai untuk berdiam diri di rumah saja. Jangankan untuk makan selama sebulan, untuk makan esok hari saja mereka harus putar otak untuk mendapatkannya. Oleh karena itu, Presiden Jokowi memilih opsi PSBB karena masih ada beberapa sektor ekonomi yang masih dapat berjalan, tetapi dengan persyaratan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Dalam melawan virus ini, diperlukan bahu-membahu antar komponen bangsa dalam menghentikan penyebaran virus agar tidak menyebar lebih luas. Mengharapkan pemerintah saja dalam menghentikan virus ini menjadi tidak relevan ketika kita melihat situasi yang terjadi pada saat ini. Virus ini dapat menginfeksi secara cepat melalui droplet, sehingga cukup rentan bagi setiap orang dapat terkena virus dan menyebarkannya ke keluarga atau orang lain.
Pengimplementasian Pancasila sebagai nilai filsafat dari sosio-historis menjadi hal yang wajib dilakukan oleh setiap komponen bangsa. Dari sila pertama tentang “Ketuhanan Yang Maha Esa” kita dapat mengetahui beberapa pandangan dan hal yang harus kita lakukan sebagai masyarakat madani. Sebagai negara yang masyarakatnya memiliki keragaman beragama atau multikultural tentunya pengejawantahan dari sila pertama perlu diimplementasikan dengan nyata. Semua agama sepakat bahwa kita diwajibkan untuk menaati peraturan yang berada di agama masing-masing seperti beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Pandemi Covid-19 ini masyarakat telah menunjukkan bagaimana sesungguhnya perwujudan dari agama itu sendiri.
Di setiap agama yang ada di Indonesia juga sepakat bahwa keselamatan dari manusia menjadi prioritas utama. Dalam konteks ini masyarakat beragama di Indonesia telah menjalankan hal tersebut dengan melakukan ibadah di rumah dalam beberapa bulan belakangan. Seperti yang kita ketahui, di dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 berisi bahwa setiap masyarakat Indonesia memiliki hak untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agamanya. Namun, menghadapi Pandemi Covid-19 ini, setiap daerah yang menerapkan PSBB dilarang menggelar kegiatan keagamaan yang sifatnya mengumpulkan massa dalam jumlah yang banyak seperti Shalat Jum’at maupun ibadah dari agama yang lainnya. Sehingga, masyarakat Indonesia menaati perintah tersebut karena di dalam ajaran masing-masing agama juga tentunya mengedepankan aspek keselamatan orang banyak.
Tidak beribadah di tempat ibadah bukan mengindikasikan bahwa umat beragama di Indonesia tidak patuh terhadap masing-masing Tuhannya, justru hal tersebut menjadi pengejawantahan bahwa masyarakat beragama di Indonesia mampu menjalankan agamanya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang ada. Pandemi Covid-19 ini menuntut masyarakat untuk tidak saling berdekatan, sehingga opsi beribadah di rumah saja menjadi opsi yang terbaik dalam beberapa bulan belakangan. Perwujudan hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia telah menjalankan nilai yang terkandung di sila pertama.
Kemudian pada sila kedua berisi tentang “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Makna sila ini juga dapat berarti setiap manusia memiliki derajat yang sama di hadapan hukum sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2. Selain itu, kesadaran dari masing-masing perilaku dan sikap masyarakat dalam hidup bersama sesuai dengan memperlakukan sesuatu sebagaimana mestinya. Dalam menghadapi Pandemi Covid-19 ini, sinergisitas menjadi hal fundamental yang tak dapat ditawar kembali. Masyarakat paham bahwa UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3 telah menjelaskan Indonesia adalah negara hukum. Semua kegiatan yang masyarakat Indonesia lakukan tak lepas dari yang namanya hukum yang berlaku.
Dalam Pandemi Covid-19 ini, masyarakat Indonesia telah berusaha keras menjalankan protokol kesehatan yang dibuat oleh pemerintah. Produk hukum berupa PSBB juga telah dijalankan oleh masyarakat Indonesia. Walaupun ada beberapa orang yang melanggar, itu merupakan hal yang wajar karena di setiap produk hukum yang dikeluarkan, tentu masih banyak yang melanggar.
Walaupun demikian, kita tidak bisa mewajarkan hal tersebut. Kita harus tetap memberi nasihat vis-à-vis orang yang melanggar. Tetapi, kita tidak bisa mengatakan bahwa semua orang Indonesia itu melanggar peraturan hanya karena masih fluktuatifnya angka pasien positif. Sehingga, kita tidak bisa menggeneralisasi masyarakat Indonesia ke dalam suatu lingkup stigma negatif. Masyarakat Indonesia telah berusaha keras untuk berdiam di rumah dalam beberapa bulan terakhir dan mematuhi anjuran yang diberikan oleh pemerintah. Baik bekerja dari rumah ataupun belajar dari rumah juga sudah dijalankan. Bagi yang memiliki kepentingan keluar rumahpun, mereka mematuhi protokol kesehatan. Pengimplementasian dari Philosofische Grondslag jelas dijalankan oleh masyarakat. Philosofische Grondslag telah merasuki ke dalam sendi-sendi tubuh masyarakat, sehingga masyarakat dapat menjalankan tugasnya sebagai masyarakat madani dengan sebaik-baiknya. Patuh terhadap hukum merupakan contoh pengimplementasian Pancasila sila kedua terutama di masa krisis seperti saat ini.
Selanjutnya, Pancasila juga telah mengatur tentang adanya nilai bahu-membahu yang perlu dilakukan oleh setiap komponen masyarakat. Nilai tersebut terkandung dalam sila ketiga yang berisi “Persatuan Indonesia.” Nilai sosio-historis akan bersatunya masyarakat Indonesia mengingatkan kita dengan apa yang terjadi puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, saat para pahlawan pejuang merah putih menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuk negeri yang dicintainya ini. Mereka bersatu padu melawan musuh yang terlihat dan musuh yang menggunakan senjata yang lengkap. Namun, mereka berhasil memenangkan pertarungan dan berhasil merebut negeri yang kaya ini dari cengkraman penjajahan kolonialisme yang tak beradab.
Oleh karena itu, di masa pandemi ini, masyarakat harus dapat bergotong-royong dalam menjalankan tupoksinya sebagai masyarakat madani dalam melawan musuh yang tak terlihat. Pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus saling bahu-membahu mengusir virus tersebut dari bumi pertiwi. Persatuan Indonesia menjadi cerminan positif vis-à-vis tindakan yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia dapat menang jika bersatu. Nilai Philosofische Grondslag sebagai nilai filsafat bangsa dan negara harus dapat merasuk ke dalam setiap darah yang mengalir ditubuh manusia yang hidup di Indonesia. Nilai dan makna filosofis persatuan Indonesia harus secara nyata dilakukan oleh pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat.
Jika pemerintah sebagai infrastruktur politik yang menjalankan policy making harus secara jelas dan berkomitmen dalam menetapkan political will kebijakan yang dilakukan. Political will yang dilakukan harus berorientasi terhadap kepentingan bangsa. Tenaga kesehatan telah berjuang di garda terdepan dalam memutus mata rantai virus yang mengejamkan ini dengan berbulan-bulan mengabdikan diri di pusat kesehatan atau rumah sakit dan meninggalkan keluarga mereka di rumah. Masyarakat sebagai komponen paling penting dalam memutus mata rantai virus ini juga patut diapresiasi karena banyak yang sudah bersatu dengan berdiam diri di rumah saja bagi yang tidak memiliki kepentingan mendesak untuk keluar. Selain itu, dengan bersatu padu, Indonesia dapat secara mangkus dan sangkil dalam menyelesaikan Pandemi Covid-19.
Jika kita merefleksikan terhadap negara-negara di dunia lain dalam kaitan terhadap percepatan penanganan Covid-19, banyak negara yang berhasil menghalau serangan virus ini karena adanya sinergisitas antar komponen bangsa mereka. Pemerintah bekerja sesuai tupoksi dalam membuat kebijakan, tenaga kesehatan berjuang di garda terdepan untuk menyembuhkan pasien, dan masyarakat melakukan hal yang terlihat sepele namun bermakna besar yaitu dengan berdiam di rumah saja bagi yang tidak mendesak untuk keluar. Masyarakat dapat menahan egonya untuk keluar rumah dengan memperhatikan anjuran dari pemerintah. Bagi masyarakat yang mendesakpun, mereka tetap mematuhi protokol kesehatan pemerintah dengan menggunakan masker dan berjaga jarak dari orang lain. Dengan demikian, pengejawantahan Philosofische Grondslag sila ketiga terjadi akibat adanya sinergisitas antar seluruh komponen bangsa Indonesia.
Dalam pengimplementasian sila keempat “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Hal yang menjadi pokok bahasan utama adalah tentang bagaimana Indonesia sebagai negara yang telah memilih sebagai negara demokrasi menyelesaikan permasalahan yang ada. Sistem Sosio-demokrasi yang dicetuskan oleh Bung Karno yang berisi bahwa keseimbangan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi harus benar-benar terjadi. Dalam relevansinya terhadap permasalahan di Pandemi Covid-19 ini adalah pemerintah harus dapat menjamin bahwa demokrasi politik seperti kebebasan berpendapat yang juga tercantum di dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 harus dapat terlaksana tanpa adanya hambatan.
Kebebasan bersuara juga dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia. Masyarakat Indonesia diberi kebebasan untuk mengontrol jalannya pemerintahan ketika wakil rakyat sedang tertidur lelap di senayan sana. Check and Balances sebagai hal yang dibutuhkan oleh pemerintah dapat dijalankan dengan baik oleh masyarakat ketika kehadiran wakil rakyat di negeri ini hanya ibarat sebuah patung “ada tetapi hanya sebagai sebuah hiasan”.
Namun, yang harus diperhatikan adalah polarisasi yang terus terjadi di sosial media tentang kritik-kritik terhadap negara harus benar ditujukan terhadap kritik yang konstruktif. Kritik yang sifatnya membangun menjadi pondasi awal dari terbentuknya negara bermazhab demokrasi yang madani. Kritik yang bersifat makar tidak dibenarkan dalam negara demokrasi manapun, karena segala kebijakan yang dibuat merupakan refleksi dari tujuan dan keinginan masyarakat Indonesia. Philosofische Grondslag tentang demokrasi yang sesuai jalur harus dapat diimpelentasikan.
Dalam konteks ini, polarisasi yang terjadi akibat Pemilihan Presiden 2019 lalu sudah seharusnya “tutup buku” dan membuka lembaran baru dalam bahu-membahu menghadapi krisis Covid-19 ini. Tidak ada lagi Cebong vs Kadrun, tidak ada lagi yang namanya pendukung 01 dan 02, yang ada hanya pendukung Pancasila yang bermartabat dan berkualitas.
Terakhir adalah nilai Pancasila di sila kelima tentang “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Masyarakat Indonesia.” Aspek yang paling fundamental dalam hal ini adalah pemerintah harus menjamin masyarakatnya dapat hidup dengan layak di masa krisis pandemi ini. UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 berisi tentang negara harus mengembangkan sebuah jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Di masa Pandemi ini tentunya banyak masyarakat yang kesulitan akibat aktivitas ekonomi terhenti. Namun, pemerintah harus dapat menjamin bahwa bantuan sosial yang berisi bahan-bahan pokok tersalurkan dengan baik. Prof Guy Peters seorang ilmuwan politik dari Amerika Serikat di dalam bukunya yang berjudul Advanced Introducion to Public Policy menjelaskan bahwa skala prioritas negara di dalam kondisi mendesak harus dikonsiderasikan secara matang-matang.
Relokasi anggaran proyek yang sekiranya tidak mendesak sebaiknya dialihkan ke anggaran Covid-19. Terlebih lagi di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Dalam hal ini berarti negara memiliki kewajiban dalam menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dalam masa krisis pandemi Covid-19.
Pemerintah tentu sudah bekerja secara maksimal, namun masih banyak hal yang perlu dilakukan. Seperti misalnya lebih menggencarkan lagi untuk melakukan swab test terhadap masyarakat. Terutama masyarakat yang kurang mampu, jangankan untuk melakukan tes yang berharga Rp. 2.000.000 tersebut, untuk makan esok hari saja mereka kebingungan jika tidak mendapat bantuan oleh negara.
Skala prioritas harus menjadi hal yang fundamental dalam menyelesaikan krisis ini. Melakukan tes secara massive dapat menjadi solusi bagi pemerintah untuk melakukan tracking terhadap jumlah real pasien yang positif Covid-19. Ketika pemerintah telah berhasil mengetahui jumlah keseluruhan dari pasien yang terinfeksi positif virus, pemerintah juga akan lebih mudah dalam melakukan karantina terhadap mereka agar penyebaran tidak menjadi lebih luas. Sehingga penerapan Philosofische Grondslag dalam sila kelima dapat benar terwujud.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya. Indonesia tidak hanya kaya akan sumber daya alam yang melimpah dari Sabang ke Merauke, tetapi juga kaya akan nilai sosio-historis yang terkandung di dalamnya. Bangsa yang telah berjuang selama 350 tahun melawan penjajahan ini tentu memiliki spirit yang kuat dalam menghadapi masa krisis Pandemi Covid-19.
Pengejawantahan dari penerapan Pancasila memang menjadi hal yang fundamental dalam menghadapi musuh yang tak berwujud ini. Berbeda dengan melakukan perlawanan vis-à-vis penjajah, berjuang melawan pandemi Covid-19 menjadi cukup sulit karena tidak kasat mata. Masyarakat Indonesia perlu memperhatikan kaidah protokol kesehatan yang pemerintah berikan agar penularan virus dapat dihentikan.
Nilai-nilai Philosofische Grondslag yang telah merasuki sendi-sendi tubuh masyarakat Indonesia harus terwujud sebagai acuan yang terimplementasi dalam masyarakat Indonesia selama Pandemi Covid-19. Seluruh komponen bangsa yang terkandung di negeri ibu pertiwi harus bersatu padu melawan musuh yang tak berwujud ini. Political will dari pemerintah harus secara konsisten dijalankan. Diskursus mengenai pergantian kebijakan harus selaras dengan kebutuhan yang mendesak dari masyarakat. Skala prioritas harus benar-benar tepat sasaran dalam dijalankan agar kebutuhan masyarakat secara luas dapat terpenuhi dan dapat membebaskan Indonesia dari Covid-19.
Sehingga kita mengetahui bahwa hanya dengan bahu-membahu Indonesia dapat menang melawan Covid-19. Negara-negara lain telah mencontohkan dengan bersatu mereka dapat menang melawan krisis ini. Seluruh komponen bangsa harus bergerak sesuai tupoksinya untuk memutus mata rantai penyebaran. Pemerintah sebagai policy making harus dapat mengkonsiderasikan kebijakan yang ingin dikeluarkan agar tidak membuat gaduh di grassroot. Tenaga kesehatan terus berjuang di pintu utama dalam memutus mata rantai penyebaran harus diapresiasi sebagai langkah pengejawantahan dari Philosofische Grondslag yang menjadi landasan falsafah bangsa Indonesia bergerak. Peran yang sangat penting dari masyarakat adalah untuk menjalankan sesuai dengan protokol pemerintah. Agar terciptanya sebuah sinergisitas antar komponen bangsa dalam bahu-membahu melawan Covid-19 sesuai dengan nilai Pancasila sebagai Philosofische Grondslag. Semangat Indonesia! Kita bisa![]