Berita UtamaOpini

Pemerintahan Jokowi Masih Jalankan Ekonomi Kolonial (2)

Oleh: Salamuddin Daeng

NUSANTARANEWS.CO – Keheranan terhadap ekonomi Indonesia pernah dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengaku heran dengan keadaan ekonomi dalam masa pemerintahannya. SBY heran dan mempertanyakan pertumbuhan ekonomi yang cukup besar yang diraih, namun pada saat yang sama kemiskinan justru meningkat. Mangapa hal itu bisa terjadi?

Para ahli ekonomi menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagai pertumbuhan yang tidak berkualitas. Pertumbuhan semacam ini hanya menghasilkan angka-angka di atas kertas yang besar namun masyarakat pada kenyataannya tidak merasakan manfaatnya.

Penulis pernah memaparkan dalam buku Makro Ekonomi Minus, Sebuah Tinjauan Kritis Tentang Penanaman Modal di Indonesia (2010) menyimpulkan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terperangkap dalam ekonomi model kolonial dengan ciri-ciri; pertama, ekonomi Indonesia ditopang oleh investasi asing, yang menguasai tanah dalam skala yang sangat luas. Sebagaimana penguasaan Kolonial atas tanah tanah pribumi kala itu.

Kedua, kekayaan alam Indonesia dalam bentuk bahan mentah diekspor ke luar negeri untuk kepentingan industrialisasi di negara-negara maju. Ketiga, hasil keuntungan investasi dikirim ke pusat pusat keuangan di negara negara maju dan tidak ada yang ditempatkan pada bank maupun lembaga keuangan nasional. Keempat, keuangan negara/pemerintah ditopang oleh utang yang besar sehingga anggaran pajak habis untuk membayar bunga dan cicilan utang, kelima konsumsi masyarakat dotopang oleh kredit dan utang dengan bunga yang sangat tinggi.

Struktur ekonomi yang demikian menjadi penyebab mengapa investasi semakin besar, utang semakin besar, justru semakin memperburuk keadaan ekonomi dan sosal. Inflasi tinggi namun daya beli masyarakat justru tidak bergerak. Keadaan inilah yang sekarang menjadi pukulan keras bagi perekonomian pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Baca Juga:  Bidik 55 Persen Suara di Sumenep, Cagub Luluk Temui Alumni Annuqayah

Defisit Anggaran yang Besar

Untuk memahami mengapa PDRB tinggi dan sumbangan keuangan besar yang diberikan oleh Kutai Kartanegara, tidak memberi dampak kepada ekonomi regional dan nasional? Ada baiknya terlebih dahulu kita memahami keadaan ekonomi nasional Indonesia dewasa ini.

Sejak awal pemerintahan Jokowi–JK situasi ekonomi sudah meburuk. Hal ini ditandai oleh defisit neraca eksternal Indonesia yang mengkhawatirkan. Keadaan defisit neraca-neraca eksternal Indonesia dalam tahun 2016 lebih buruk dibandingkan dengan tahun 2015.

Menurut data Bank Indonesia (BI), defisit neraca transaksi berjalan Indonesia meningkat drastis. Semester I 2016 neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit -9,440 miliar dolar meningkat 12 % dari periode yang sama tahun 2015. Lebih parah lagi adalah defisit pendapatan primer Indonesia yang mencapai -15,180 miliar US dolar atau mengalami peningkatan 8 % dibandingkan peride yang sama tahun 2015.

Defisit transaksi berjalan dan defisit pendapatan primer tersebut adalah akibat dari besarnya aliran keuantungan perusahaan asing ke luar negeri dan pembayaran bunga dan cicilan utang baik pemerintah dan swasta. Berdasarkan data BI, utang luar negeri pemerintah hingga semester I 2016 mencapai Rp2142,40 triliun dan utang luar negeri swasta mencapai Rp2228,74 triliun. Dengan demikian, total utang luar negeri mencapai Rp4371,15 triliun.

Akibatnya terjadi defisit neraca pendapatan primer dapat mencapai -30,361 miliar US dolar, atau senilai Rp409,88 triliun. Ini adalah nilai terbesar yang harus rakyat Indonesia bayarkan kepada orang orang asing akibat kesalahan pengelolaan ekonomi negara. Nilai tersebut setiap tahun tidak tergantikan.

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Kondisi diatas bermakna keuangan Indonesia, terkuras untuk membayar bunga dan cicilan utang ke luar negeri dan keuantungan investasi asing. Negara ini menjadi sasaran pengerukan lembaga keuangan internasional dan negara lain untuk mengeruk uang melalui utang dan investasi asing.

Itulah mengapa negara kehilangan kemampuan mendistribusikan pendapatan dan kekayaan kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Hal itu juga berarti bahwa seluruh subangan yang diberikan Kutai Kartanegara terhadap perekonomian Indonesia, habis untuk melunasi kewajiban kepada asing. Maka wajar daerah ini tidak mendapatkan kembali sebagaimana yang wajar.

Lebih jauh lagi kondisi defisit ini menjadi tantangan terkait haluan pemerintahan Jokowi yang menyandarkan ekonomi pada utang luar negeri dan investasi asing untuk merealisasikan ambisinya dalam proyek infrastruktur. Strategi tersebut sudah pasti akan semakin menambah beban neraca eksternal Indonesia. Seluruh infrastruktur yang mereka bangun akan dibayar dengan keringat rakyat dengan sewa yang sudah pasti akan meningkat dari waktu ke waktu. Bangsa dan rakyat Indonesia akan menjadi obyek penjarahan dari lembaga keuangan internasional dan negara negara maju.

Ketidakpercayaan Jokowi-JK pada APBNP

Baru baru ini masyarakat Indonesia heboh oleh UU pengampunan pajak (tax amnesty) yang diberlakukan oleh Pemerintah Jokowi – JK. Pemberlakukan UU ini adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak pemerintah keadaan ekonomi yang lesu akibat menurunnya harga komoditas baik itu minyak, tambang, hasil perkebunan dan lain sebagainya. UU tax amnesty secara sederhana dapat dinamakan sebagai UU untuk memberlakukan pajak terhadap harta kekayaan, tanah, rumah, tabungan, deposito dan kekayaan lainnya.  Masalah yang hendak kita diskusikan di sini adalah bukan tax amnesty tapi konsekuensi dari ketidakpercayaan pemerintah terhadap apa yang telah direncanakan dalam APBNP 2016.

Baca Juga:  Temui Buruh Pabrik Rokok Grendel, Inilah Janji Cagub Risma Untuk Buruh

Salah satu buktinya adalah rencana pemotongan anggaran yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pemerintah hendak memangkas anggaran APBN senilai Rp130 triliun, karena tidak yakin penerimaan tax amnesty dapat mencapai Rp. 165 Triliun sebagaimana yang direncanakan. Akibatnya anggaran bagi daerah akan menajdi sasaran utama yang akan dipotong oleh pemerintah, termasuk juga anggaran bagi Kutai Kartanegara. Meski selama ini Kutai Kartanegara tidak mendapatkan anggaran yang setimpal dengan sumbangannya terhadap perekonomian nasional, namun secara umum, anggaran yang dimiliki relative besar dibandingkan daerah daerah lainnya.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) realisasi anggaran Kutai Kartanegara tahun 2014 mencapai Rp6,443 triliun. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk daerah ini maka anggaran tersebut jika dibagi rata maka masing masing warga kutai bisa mendapatkan Rp9,43 juta/ tahun atau Rp785 ribu/bulan. Meski demikian nilai tersebut belum sebanding dengan PDRB perkapita yang sangat besar mencapai Rp17 juta/bulan. Anggaran ini juga tidak sebanding dengan kebutuhan daerah ini dalam mengatasi kemiskinan dan pembangunan infrastruktur.

*Salamuddin Daeng, Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Related Posts

1 of 425